Minggu, 06 Juli 2014

99 Cahaya di Langit Eropa oleh Hanum Salsabiela

Pertama kali aku ingin membaca buku itu karena tulisan "best seller" di cover depannya. Entah kenapa kalau udah ada tulisan "best seller" seperti ada jaminan bahwa buku itu pasti bagus untuk dibaca, yah walaupun  sebenarnya nggak semua begitu tapi paling tidak itu menjadi salah satu tolak ukur. Kemudian alasan kedua adalah karena buku itu juga sudah difilmkan ke layar lebar. Itu semakin menambah rasa keingintahuanku untuk membacanya dan tentunya juga didukung oleh sinopsis di belakang buku yang memang menarik. Buku ini diberi judul "99 cahaya di langit Eropa". Sesuai dengan judulnya, buku ini adalah buku yang menceritakan perjalanan spiritual penulis dalam menapaki jejak Islam di Eropa. Sebuah perjalanan mencari cahaya Islam di seluruh penjuru Eropa. Di dalam buku ini, aku mendapatkan banyak sekali informasi yang belum pernah aku ketahui sebelumnya tentang pasang-surut Islam, dan cerita itu mengalir dari bangunan-bangunan peninggalan dari masa ke masa yang menjadi saksi bisu kemajuan dan kemunduran Islam. Diceritakan bagaimana dulu pengaruh Islam di Eropa saat Islam mencapai puncak kejayaan hingga saat ini kemunduran Islam yang hanya menyisakan kenangan-kenangan pada bangunan-bangunan tersebut. Cerita ini adalah kisah perjalanan penulis yaitu Hanum Salsabiela Rais bersama suaminya, Rangga Almahendra. Hanum yang mengikuti suaminya yang sedang menempuh pendidikan Doktoral di Wina, Austria, mencoba mencari potongan demi potongan keterkaitan antara Eropa dan Islam pada masa lalu. Mungkin banyak yang tidak pernah menduga bahwa Eropa yang mayoritas beragam Katolik juga banyak warganya yang Atheis, akan tetapi dulunya pernah bersinggungan dengan Islam, berkaitan erat. Informasi-informasi itu diramu dengan apik oleh penulis sehingga menghasilkan tulisan yang sangat menarik, cerita sejarah yang biasanya membosankan dibuat dengan bahasa yang lebih menarik sehingga lebih mudah dipahami dan enak dibaca. Informasi apa saja yang saya dapatkan? 

Tahukah kalian bahwa roti croissant yang ada di Austria berbentuk bulan sabit? Roti itu dibuat berbentuk bulan sabit sebagai simbol kekalahan Turki terhadap Austria pada masa pemerintahan Turki Ottoman. Di Wina, agama mayoritas yang dianut masyarakat adalah Kristen Katolik, maka jangan heran jika kalian ke sana maka akan sangat susah menemukan mesjid, karena berbeda dengan di Indonesia yang sangat mudah menemukan mesjid, di Wina mesjid hanya ada satu-satu dengan letaknya yang berjauhan antara satu dan lainnya. Kebanyakan warga muslim di sana jika ingin shalat hanya di ruang-ruang atau langgar kecil. Saat tiba waktu shalat pun sangat susah menemukan suara muadzin yang mengumandangkan azan, sangat berbeda dengan di sini. Di situlah tantangan masyarakat muslim di sana. Mungkin bagi kita yang hidup di negara dengan jumlah populasi muslim terbesar melakukan ibadah bukanlah hal yang sulit tapi bagi muslim di sana yang menjadi minoritas sangat susah sekali bagi mereka melakukan ibadah seperti kita. Karena tidak semua orang bertoleransi pada agama kita. Misal, seperti Rangga yang pernah ditegur oleh atasannya karena beribadah salat di ruangannya. Karena mereka melarang membawa-bawa agama dalam lingkungan kampus, kampus harus netral dari isu-isu agama. Aneh bukan? Tapi itulah tantangan yang harus dihadapi oleh warga muslim sehari-harinya di sana. 

Di sini juga diceritakan tentang Cordoba di Spanyol, di sana ada sebuah bangunan yang dulunya mesjid tetapi kini telah diubah menjadi sebuah gereja, namanya Mezquita. Mesjid ini diubah menjadi gereja karena kekalahan kekhalifahan Islam di Granada, akhirnya pemerintahan diambil alih oleh Isabella dan Ferdinand. Dalam kurun waktu 10 tahun setelah Granada takluk, Isabella dan Ferdinand memerintahkan pembaptisan massal pada seluruh penduduk baik Islam maupun Yahudi. Sejak saat itu penggunaan bahasa arab dilarang keras, tradisi-tradisi yang berbau arab dihilangkan dan yang paling agresif adalah pembentukan kepolisian untuk mengawasi muslim dan Yahudi yang sudah "terpaksa" berpindah agama. Makanya tak heran jika kalian pergi di jalan-jalan terutama pasar-pasar Spanyol, para penjual daging babi gantung ada dimana-mana. Petugas kepolisian bertugas memastikan tidak ada warga Spanyol yang memeluk Islam atau Yahudi secara diam-diam. Mereka memaksa setiap warga untuk berjualan babi dan mendemonstrasikan memakan babi di depan mereka. 

Dan kalian tahu agama apa yang paling besar dipeluk di Eropa ini? Bukan katolik dan kristen, tetapi ateisme dan sekulerisme. Ketidakpercayaan mereka terhadap tuhan karena melihat banyaknya orang-orang yang berselisih karena agama, perang agama, dan semacamnya, hal itu membuat mereka semakin tidak percaya akan tuhan. Hmmmmmm 😔😣

Tahukah kalian apa perbedaan Islam yang dulu mencapai masa kejayaan dengan Islam yang sekarang mengalami kemunduran? Bedanya adalah Islam dulu menggabungkan antara agama dan sains (pengetahuan). Bisa dilihat kan dahulu banyak sekali orang-orang Islam yang hebat dalam ilmu pengetahuan, sebut saja Ibnu sina, Ibnu Rushd, dan banyak lagi. Dulu, Islam disebarkan dengan cara yang sangat indah, dengan berperilaku mulia dan lewat ilmu pengetahuan.
Seribu tahun Islam bersinar, lalu pelan-pelan memudar. Kenapa?
Penulis mengatakan bahwa karena sebagian umat Islam sudah mulai melupakan apa yang telah diperdengarkan Jibril kepada Muhammad saw. pertama kali. Karena kita terlalu sibuk bercumbu dengan kata jihad yang salah dimaknai dengan pedang, bukan dengan perantara kalam (pengetahuan).

Coba lihat sekarang apa yang terjadi pada Islam? Islam selalu saja dikaitkan dengan kekerasan, teroris, poligami, dan banyak stigma-stigma negatif lainnya yang sengaja dibangun untuk memperburuk citra Islam. Coba kita lihat di Indonesia, perilaku orang-orang Islam saat ini bagaimana? Tidak menampilkan budi pekerti yang baik, seakan-akan memang seperti itulah Islam. Padahal Islam yang sebenarnya adalah mengajarkan hal-hal terpuji, mengajarkan berbuat baik, berlaku santun, berbudi pekerti. Itulah yang dilakukan masyarakat Islam Turki di Austria saat ini, mereka menyebarkan Islam dengan cara yang indah, dengan senyuman, dengan menebar kebaikan, maka tak heran jika sekarang jumlah muslim di Austria berangsur-angsur jumlahnya semakin banyak walaupun masih menjadi minoritas. Tetapi itulah sebenarnya yang harus kita lakukan "menjadi agen muslim yang baik". 

Mengajak itu tidak perlu dengan kekerasan, pemaksaan, tapi dilakukan dengan mencontohkan perilaku-perilaku yang baik dan positif. Tularkan nilai-nilai keislaman ke seluruh dunia agar mereka tahu betapa indahnya Islam. Dalam buku itu, Hanum menceritakan tentang temannnya, Fatma, seorang wanita Turki yang tinggal di Wina, dia selalu mengatakan bahwa dia ingin menjadi agen muslim yang baik. Bahkan suatu waktu saat mereka duduk di sebuah cafe, ada sekelompok turis yang mengobrol sambil mengejek-ejek Muslim Turki. Fatma mendengarnya tetap tenang walaupun dalam hati ia marah, kemudian yang dia lakukan setelah itu bukan melabrak dan menasehati para turis itu tetapi dia justru membayari semua makanan para turis itu dan menuliskan pesan pada mereka di secarik kertas dan menitipkannya pada pelayan, tulisannya begini, "Hi, I am Fatma, a muslim from Turkey". Lalu dia juga menulis alamat emailnya di situ. 

Dan beberapa waktu setelah kejadian itu, salah seorang dari mereka mengirim email ke alamat yang ditulis Fatma, emailnya begini,  "Hi Fatma, nice to know you. Thanks for the treat in Kahlenberg cafe. We're really looking forward to treat you back someday. Hope to see you soon. It took me quite sometime to send out this e-mail to you because I had no idea how to express my regret, Are you a muslim? Thank God, I think we could be penfriends and I'll tell the world that my best penfriend is a Muslim? Write me back. Paul.
PS: I do hate croissant anyway, because... I love kebab most!

You see? Kebaikan justru membuat mereka (non muslim) tersentuh, bukan diskusi agama yang tak kunjung selesai, bukan jihad yang salah kaprah, bukan ceramah, tapi akhlak yang baik. Karena akhlak tidak berbicara tapi maknanya jauh lebih besar daripada sekedar berbicara.

Ada juga perjalanan penulis di Istanbul, Turki. Jika di Spanyol ada Mezquita, mesjid yang diubah menjadi gereja, maka di Turki ada Hagia Sophia. Hagia Sophia adalah Katedral Byzantium terbesar di Eropa yang kemudian menjadi mesjid. Ini bukti jatuhnya Konstantinopel ke tangan Dinasti Ottoman.

Selama ini setiap ada yang menyebut kata Belanda pasti langsung kita kaitkan dengan kincir angin dan bunga tulip. Tapi tahukah kalian bahwa ternyata Tulip sudah lebih dahulu menjadi ikon pariwisata di Turki. Tulip itu adalah bunga asli Anatolia Turki dan sebagian Asia Tengah. Tulip menjadi semakin populer saat Ottoman melancarkan invasi ke negara-negara Eropa. Termasuk ketika kapal-kapal Ottoman berlabuh di Belanda. Tidak ada satu pun yang melirik tulip untuk dikembangkan kecuali Belanda. Di Belanda lah kemudian bunga-bunga itu dikembangkan menjadi lebih menarik dalam berbagai warna karena peran teknologi. Nah, itu aja sedikit gambaran yang bisa aku bagikan, yang pasti buku ini sangat menarik dan sangat bagus untuk dibaca.

Selasa, 01 Juli 2014

Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karangan Tere Liye


Kemarin sore aku mulai membaca buku karangan Tere Liye yang lain. Ini adalah buku ketiganya yang aku baca setelah "Hafalan shalat Delisa" dan "Sunset bersama Rosie". Judul bukunya ini yaitu "Daun yang jatuh tak pernah membenci angin". Membaca judul ini awalnya membuat aku sangat tertarik dan juga penasaran akan seperti apa isinya. Apalagi aku juga sering membaca penggalan kalimat yang ada dalam novel ini yang ditulis beberapa orang di media sosialnya. 

Kalimatnya begini :
"Orang yang memendam perasaan sering kali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta"

Ya, memang terkadang saat kita menyukai seseorang, kita selalu mencari pembenaran bahwa dia juga menyukai kita, mengumpulkan kejadian-kejadian dan memaksakannya menjadi seperti yang kita inginkan. Walaupun itu hanya ilusi tapi kita membuatnya menjadi begitu nyata hingga akhirnya kita harus menelan pil pahit bahwa ternyata itu benar-benar hanya sebuah ilusi, sebuah kebohongan yang menjerat diri sendiri. Ketika jatuh cinta, kita tidak lagi bisa membedakan mana simpul yang nyata dan yang dusta. Kadang simpul yang nyata terlihat seperti dusta dan terkadang pula simpul yang dusta terlihat seperti benar-benar nyata.

Dan ada satu lagi kalimat yang paling aku sukai :
"Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun... Daun yang tidak pernah membenci angin meski harus terengggutkan dari tangkai pohonnya"

Hal itu semakin membuat aku penasaran. Hanya dalam beberapa jam saja novel ini selesai aku baca, hebat bukan? Yap, namanya juga penasaran, nggak heran aku bisa membacanya secepat itu. Apalagi jalan cerita dan bahasanya enak dibaca, dan ketika membacanya, aku seperti ikut tersedot dalam buku ini, seperti sedang menyaksikan kejadian ini dengan mata kepalaku sendiri. 

Pertama aku tidak mengerti makna dari kalimat "Daun yang jatuh tak pernah membenci angin" tapi setiap halaman demi halaman buku ini aku buka hingga sampailah pada halaman terakhirnya, aku baru mengerti makna dari kalimat itu. Mungkin juga maknanya menjadi berbeda dengan apa yang dipahami penulis ataupun pembaca yang lain, namun manusia memang begitu kan, selalu punya pandangan dan pendapat yang berbeda dengan manusia lainnya. Karena itulah yang membuat hidup ini menjadi lebih indah. Tidak monoton hanya hitam dan putih, tapi juga ada banyak warna lain seperti merah, kuning, hijau, biru, nila, ungu, dan jingga.

Cerita ini menceritakan tentang dua orang kakak beradik yang setiap harinya mengamen dari satu kendaraan umum ke kendaraan umum lainnya, bermain dengan pekatnya matahari dan debu jalanan setiap hari. Mereka tinggal bersama ibunya di sebuah rumah kardus di bantaran kali. Karena tak punya cukup uang untuk membayar sewa kontrakan, rumah kardus menjadi pilihan terbaik untuk mereka. Kedua kakak beradik itu pun terpaksa berhenti mengenyam pendidikan karena ketiadaan biaya. Jangankan untuk sekolah bahkan untuk makan sehari-haripun susah. Mereka mengamen ke sana kemari hingga larut malam tanpa mengenakan alas kaki. Bagaimana mungkin mereka bisa memakai alas kaki jika untuk makan pun mereka tak punya. Hingga suatu hari saat sedang mengamen di bus, tidak sengaja kaki sang kakak terinjak paku payung yang ada di dalam bus hingga mengalirlah darah segar dari kakinya yang tidak beralaskan itu. Di saat semua penumpang bus bersikap acuh dan tak peduli, muncullah tangan seorang pria berusia dua puluhan mengulurkan sebuah sapu tangan. Dan sejak hari itu pria itu benar-benar menjadi malaikat bagi keluarga mereka. Bagaimana tidak, pria itu sangat banyak membantu mereka dan menjadi bagian terpenting dalam hidup kakak beradik itu. Mulai dari membelikan sepatu untuk mereka supaya bisa berlari ke sana kemari dengan nyaman, membiayai mereka untuk kembali bersekolah, memberi uang setiap bulan pada ibu mereka untuk kebutuhan sehari-hari. Singkat kata, pria itu telah membantu mengatasi kesulitan hidup mereka. Mereka yang tadinya hanya bisa tinggal di rumah kardus tanpa listrik kini sudah bisa menyewa sebuah kontrakan sederhana, bisa bersekolah dan belajar dengan baik. Mereka juga anak-anak yang cerdas. Setiap hari pria itu selalu mengunjungi mereka. Hingga suatu hari musibah menghampiri mereka, ibu yang mereka sayangi ternyata mengidap kanker stadium IV dan meninggal beberapa hari kemudian. Dari anak-anak yang riang mereka kembali menjadi anak yang pemurung. Namun hal itu tidak berlangsung lama karena pria itu selalu bisa membuat mereka kembali ceria dengan caranya sendiri. Menariknya adalah sang kakak yang bernama Tania ternyata diam-diam mulai menyukai malaikat penolong mereka, menyukai pria itu yang bernama Danar. Hingga semakin ia dewasa rasa cinta itu semakin mekar. Apalagi sejak Danar mengenalkan kekasihnya, Tania begitu dimakan cemburu. Sepeninggal ibunya, Tania mendapatkan beasiswa melanjutkan SMP di Singapura. Hingga bertahun-tahun setelahnya, ia juga mendapatkan beasiswa melanjutkan sampai ke jenjang kuliah di Singapura. Dan ia pun bekerja di sana. Dia anak yang amat berprestasi. Namun perasaan cintanya pada Danar sudah terlampau dalam, dia tidak pernah mau membuka hatinya untuk lawan jenis seumurnya. Dia tidak peduli dengan perbedaan usia 14 tahun antara dia dan Danar. Dia tidak peduli semuanya karena yang dia tahu bahwa dia mencintai Danar sepenuh hati.
Endingnya bagaimana? Jangan bayangkan jika buku ini akan berakhir happy ending seperti buku-buku novel kebanyakan. Mungkin ini juga yang membuat aku menyukai buku-buku karangan Tere Liye. Karena dia tidak pernah menjanjikan akhir cerita yang bahagia, akhir cerita yang diinginkan semua orang dimana pemeran utama pria dan wanita bersatu. Dia hanya menyuguhkan berdasarkan realita yang sering terjadi bahwa cinta tak selalu harus memiliki. Mungkin dari kalimatku itu kalian tahu bahwa mereka pada akhirnya tidak bersama walaupun setiap potongan teka-teki hidup Tania perlahan-lahan terjawab, ternyata Danar juga diam-diam menyukainya. Namun sampai akhir cerita ini penulis tidak mengatakan mengapa Danar kemudian memilih menikahi Ratna, wanita yang tidak dia cintai. 

Hanya saja penulis sempat menuliskan begini:
"Bagi pria, dan itu sama saja dengan kebanyakan wanita, menikah tidak selalu harus dengan seseorang yang kau cintai. Menikah adalah pilihan rasional. Berkeluarga untuk lelaki postmodern seperti dia tidak semata-mata urusan cinta-mencintai..."

Aku juga tak begitu mengerti apa maksudnya tapi mungkin kurang lebih adalah bahwa orang dewasa memiliki pemikiran yang jauh lebih luas daripada remaja. Orang dewasa tidak seimpulsif para remaja yang ketika dia menyukai seseorang maka harus buru-buru diungkapkan. Orang dewasa walau secinta apapun dia pada seseorang tetapi tetap berpikir rasional, tidak melulu mengedepankan perasaan. Bisa jadi dalam cerita ini, Danar memilih menikah dengan wanita lain karena tahu akan perbedaan usianya dan Tania yang terpaut jauh, mungkin juga ia takut jika ia mengutarakan perasaannya yang sebenarnya pada Tania akan membuat Tania serba salah atau menganggap harus membayar utang budi, atau bisa jadi karena ia melihat Tania tumbuh menjadi gadis yang cantik, pintar, dan dewasa sehingga dia tidak mau merusak kebahagiaan gadis itu dengan perasaannya. Mungkin ia ingin Tania bisa berpasangan dengan orang yang lebih baik darinya di kemudian hari. Atau mungkin ada ratusan bahkan ribuan alasan lain yang membuatnya bersikap demikian. Namun itulah orang dewasa dengan sejuta pemikirannya yang pelik dan sulit dimengerti. Namun lagi-lagi Tere Liye bisa membimbing dan mengajarkanku bahwa cinta tidak melulu harus memiliki. Dan untuk bahagia maka menikahlah dengan orang yang benar-benar mencintaimu, jangan menikah dengan orang yang tidak mencintai kita (para wanita) karena walau diluar kehidupan pernikahan tampak bahagia dan nyata namun sebenarnya hanya sebuah kamuflase yang mengelabui banyak orang. Karena pernikahan sekali seumur hidup, bukan masa pacaran singkat yang apabila sudah bosan maka dengan mudah bisa berkata putus dan meninggalkan. Maka pikirlah sedewasa dan sebijak mungkin sebelum memutuskan menikah karena pernikahan ideal bukan seperti pernikahan para selebriti kita yang baru setahun dua tahun menikah lalu bercerai. Menikah tak semudah itu, teman. Karena bukan hanya menyatukan dua hati, dua perbedaan, atau mungkin dua budaya, tapi juga menyatukan dua keluarga, menyatukan dua orang yang tadinya "aku, kamu" menjadi "kita atau kami". Pernikahan adalah berharap mendapat sakinah, mawaddah, dan warahmah. Aib suami menjadi aib istri jadi tidak seenaknya mengumbar aib suami sendiri pada orang lain. Kekurangan suami juga kekurangan istri. Jangan hanya mencintai kelebihannya tapi cintai juga kekurangannya. Pupuklah cinta itu agar mekar setiap hari, jangan hanya mekar setahun, lalu layu berpuluh tahun kemudian. Buku ini mengajarkan banyak hal bahwa ketika mencintai seseorang bersikaplah seperti daun, tidak peduli seberapa kencang angin meluruhkannya, ia merelakan dirinya luruh ke bumi, tak melawan, mengikhlaskannya, penerimaan yang indah.

Minggu, 29 Juni 2014

Sunset Bersama Rosie Karya Tere Liye


Alhamdulillah, dua hari ini aku telah selesai membaca novel "Sunset Bersama Rosie" karangan Tere Liye. Akhir-akhir ini aku jadi keranjingan membaca buku lagi. Setelah beberapa tahun belakangan agak malas karena lebih sering menonton film baik Barat maupun Korea, dan lain-lain. Sebenarnya keinginan untuk membaca buku lagi bisa dibilang karena dorongan seringnya membuka fanpage fb nya Tere Liye. Dalam fanpage itu, dia selalu menuliskan kalimat-kalimat penuh inspiratif, kalimat-kalimat  pemuas dahaga, penyejuk kehidupan yang sarat makna, dia selalu punya cara menceritakan kisah-kisah dengan cara dan sudut pandang yang berbeda sehingga memberi pemahaman dan pengertian yang juga berbeda tentang hidup, tentang perasaan, dan tentang cinta. Dalam novel "Sunset Bersama Rosie" itu Tere Liye mengajak para pembaca terhanyut dalam alur cerita yang menarik, bahasa yang mudah dimengerti, dan memainkan emosi para pembaca sehingga ketika kita membaca buku itu, kita juga seakan ikut terhanyut dalam tiap adegan dalam cerita tersebut. Buku itu menceritakan tentang makna sebuah kesempatan. Tentang seorang pria bernama Tegar, yang sudah memendam perasaan cintanya selama dua puluh tahun pada gadis pujaan hatinya. Suatu ketika saat ia ingin memberanikan diri mengungkapkan perasaannya itu, dia pun mengajak pujaan hatinya, Rosie, mendaki Gunung Rinjani, Lombok. Tidak hanya pergi berdua, untuk mengurangi ketegangan apabila perasaannya ditolak, lelaki itupun mengajak sahabatnya, Nathan, ikut pergi menemani. Namun malang benar nasib lelaki itu, ternyata sahabatnya, Nathan_yang baru mengenal pujaan hatinya dua bulan belakangan_ juga menyukai Rosie. Dan hebatnya, sahabatnya telah lebih dulu menyatakan cinta pada gadis pujaannya itu dan mendapat respon positif dari gadis itu, yang merupakan sahabatnya dari kecil, sejak 20 tahun silam. Menyaksikan hal itu, Tegar yang baru sampai di puncaknya kembali turun terburu-buru tanpa sepengetahuan mereka. Ia pun menghilang pergi dan menjauh dari kehidupan mereka. Rasanya sungguh tidak adil, cintanya yang ia pendam selama 20 tahun pada sahabatnya itu kalah dengan waktu 2 bulannya Nathan mengenal Rosie. Hanya karena ia yang terlalu lama membiarkan kesempatan itu tak kunjung datang.
Selama kurang lebih enam tahun ia hidup dalam kebencian pada mereka, malam-malam penuh gelisah yang harus terus dilaluinya, ia juga bekerja selama 18 jam sehari di perusahaan untuk pelampiasan agar melupakan semua kejadian buruk itu. Dan hanya waktu yang mampu mengatasi pengalaman pahit itu, hanya dengan berdamailah maka ia bisa melewatinya. Hingga suatu ketika mereka datang lagi, gadis pujaan hatinya dan suaminya yang tak lain adalah sahabatnya dulu. Mereka datang mengunjungi apartemennya, tidak hanya itu, tetapi mereka juga membawa dua buah cinta mereka yang ceria dan riang. Dua malaikat kecil itulah yang sedikit demi sedikit mencairkan luka hatinya itu, kebenciannya pada mereka perlahan memudar karena kehadiran dua malaikat itu yang riang dan ceria. Cerita ini berlatar belakang di kota Lombok, tepatnya di Gili Trawangan. Di sini juga diselipkan kejadian bom Bali yang merenggut nyawa sahabatnya, Nathan. Kematian sahabatnya itu membuatnya meninggalkan acara pertunangannya dan meninggalkan kehidupannya yang super sibuk di Jakarta. Dia mulai menetap di Gili Trawangan dan mengurus resor milik keluarga Rosie dan juga mengurus anak-anak mereka. Sedangkan Rosie yang terlalu terluka karena ditinggal pergi Nathan mengalami depresi berat. Selama kurang lebih dua tahun harus menjalani rehabilitasi mental dan tinggal di shelter di Bali. Praktis, Tegar yang mengambil peran sebagai paman, om, ayah, ibu untuk mereka hingga ikatannya dengan anak-anak itu begitu kuat. Membaca novel ini, aku seperti ikut merasakan juga perasaan anak-anak itu yang kehilangan ayah mereka karena bom sialan itu. Bom yang mengatasnamakan jihad. Sungguh, Islam tidak mengajarkan hal keji seperti itu. Apalagi membunuh orang yang tidak bersalah. Dan jujur aku sedih sekali ketika bom dan teroris itu selalu dikaitkan dengan islam. Dari sini harusnya mereka belajar bahwa tidak seharusnya mereka melakukan perbuatan keji_membunuh orang asing dengan bom_dengan alasan jihad, apakah pernah terpikir bagaimana perasaan keluarga mereka yang ditinggalkan? Pernah merasakan bagaimana dampaknya pada masyarakat Bali saat itu? Turis-turis asing kembali ke kampung halamannya dan enggan ke Bali, pemasukan devisa berkurang, pemasukan warga setempat dari tempat-tempat wisata yang biasanya ramai dikunjungi turis jadi berkurang. Bisakah dihitung berapa banyak kerugian yang mereka dapatkan hanya karena alasan "jihad islam" yang salah kaprah. Belum lagi yang paling parah, luka trauma dan gangguan psikis yang mereka terima pasca kejadian itu. 
Baiklah, aku tidak ingin mengurai lebih jauh biarlah hati nurani yang menjawabnya sendiri.
Pada akhirnya cerita-cerita itu mengungkap misteri yang selama ini tersimpan. Kesempatan yang ia yakini tidak pernah ada untuknya sebenarnya bukannya tidak pernah ada tetapi justru dia yang tidak pernah memberi kesempatan itu ada. Di sini kita akan belajar pemahaman dan pengertian yang berbeda tentang makna kesempatan dan kehidupan. Tere liye selalu mampu memberikan motivasi dalam kalimat-kalimat yang dirangkainya. Rangkaian kalimatnya pun menggunakan bahasa yang indah dan enak dibaca serta mudah dipahami. Masih banyak lagi buku-buku karangannya yang lain seperti "Daun yang jatuh tak pernah membenci angin", "berjuta rasanya", "negeri para bedebah", "negeri diujung tanduk" dan banyak lainnya. Aku akan membaca semuanya, ditunggu ya cerita-ceritaku selanjutnya.

Beberapa kalimat yang aku suka dari novel ini, yaitu:

Selamat pagi.
Bagiku waktu selalu pagi. Diantara potongan dua puluh empat jam sehari, bagiku pagi adalah waktu paling indah. Ketika janji-janji baru muncul seiring embun menggelayut di ujung dedaunan. Ketika harapan-harapan baru merekah bersama kabut yang mengambang di persawahan hingga nun jauh di kaki pegunungan. Pagi, berarti satu hari yang melelahkan telah terlampaui lagi. Pagi, berarti satu malam dengan mimpi-mimpi yang menyesakkan terlewati lagi; malam-malam panjang, gerakan tubuh resah, kerinduan dan helaan napas tertahan.

Senin, 06 Januari 2014

Opini-Setitik Asa Generasi Muda

"Setitik Asa Generasi Muda" (Serambi Indonesia, 27 Oktober 2012)


Oleh Cut Liza Novita Sari

SUMPAH Pemuda merupakan satu tonggak sejarah dan bukti bahwa pada 28 Oktober 1928 Bangsa Indonesia dilahirkan. Proses kelahiran Bangsa Indonesia ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun hidup tertindas di bawah kekuasaan kaum kolonialis pada saat itu. Kondisi ketertindasan inilah yang kemudian mendorong para pemuda pada saat itu untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan martabat bangsa. Tekad inilah yang kemudian menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Hari sumpah pemuda diperingati setiap tahunnya pada 28 Oktober demi mengenang semangat juang para pemuda terdahulu yang dengan gagah berani memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Semangat yang berkobar melawan penjajah, sebuah pengakuan dari pemuda-pemudi Indonesia yang mengikrarkan bahwa satu tanah, satu bangsa, dan satu bahasa. Kini, setiap tahun kita memperingati Hari Sumpah Pemuda sebagai refleksi bahwasanya meskipun berbeda-beda suku, bahasa, ras, dan agama, tapi kita tetap satu, hidup di bawah payung yang sama, yaitu Negara Republik Indonesia. 

Sejak kemerdekaan penjajah sudah tidak ada lagi di negeri kita, tapi masih ada “penjajah-penjajah pribumi” yang harus kita lawan. Penjajah itu ialah mereka-mereka yang melakukan praktik korupsi kolusi dan nepotisme (KKN). Mereka adalah musuh yang harus kita berantas bersama. Praktik KKN yang terus terjadi telah merugikan negara hingga berdampak pada semakin suburnya persoalan kemiskinan yang dihadapi negara ini.

 Korupsi merajalela
Kita bisa melihat realita yang terjadi belakangan ini, bagaimana korupsi merajalela di negara kita. Bagaimana hukum begitu lemah dan tunduk pada penguasa. Negara kita adalah negara hukum. Tapi jika hukum tak bisa lagi menjadi pondasi yang kuat, apa mungkin rakyat bisa sejahtera? Ibarat sebuah rumah, hukum adalah pondasi, negara Indonesia adalah rumah, dan kita adalah penghuninya. Jika Pondasinya sudah tidak kuat, apakah rumah itu masih bisa berdiri kokoh? Apalagi jika terjangan angin dan badai kian kencang, maka rumah itu perlahan-lahan akan roboh dan hancur.

Bercermin dari sejarah masa lalu, kita bisa melihat bagaimana perjuangan para pemuda dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Meskipun mereka berasal dari berbagai daerah dan suku yang berbeda, mereka bisa menyatukan perbedaan-perbedaan itu demi mencapai cita-cita yang sama. Memaknai Hari Sumpah Pemuda adalah dengan mengingat kembali sejarah masa lalu untuk menumbuhkan kembali semangat perjuangan para generasi muda saat ini.

Ironisnya, masih banyak generasi muda kita yang lupa bahkan apatis dengan sejarah bangsa ini. Bagaimana kita bisa memaknai hari sumpah pemuda, jika sejarah yang melatarbelakangi hal itu terjadi pun kita tidak tahu. Mengenang sejarah merupakan salah satu langkah kecil dalam memaknai hari sumpah pemuda, juga dengan menumbuhkan semangat dan jiwa kebangsaan, serta keinginan bersatu yang tinggi. Seperti kata Bung Karno dalam setiap pidatonya, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” yang akhirnya dikenal istilah “Jasmerah”.

Realita yang kita hadapi kini adalah semangat para pemuda kian terkikis zaman. Persatuan dan kesatuan yang dulunya menjadi ruh perjuangan pemuda, sekarang telah berganti menjadi semangat individualis, primordialisme, dan etnosentrisme. Sebagai contoh, kini tawuran antar pemuda sesama anak bangsa semakin sering terjadi dan penyampaian aspirasi dilakukan secara anarkis yang mengganggu ketenangan dan ketertiban ditengah-tengah masyarakat.

Semangat primordialisme pun kian menguat, hingga tanpa sadar telah membangun sekat-sekat keberagaman dalam kehidupan berbangsa. Jika semangat kedaerahan itu terlalu berlebihan, maka dapat mengancam persatuan nasional dan menimbulkan perilaku etnosentrisme. Seperti yang dikatakan Matsumoto (1996) bahwa “Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri”. 

Sehingga terkadang etnosentrisme ini memunculkan sikap prasangka dan stereotype negatif terhadap etnis atau kelompok lain. Hal ini tentu saja akan berdampak pada menipisnya rasa persatuan dan saling memiliki dengan yang berbeda budaya. Tidak hanya itu, generasi muda juga mulai sering membuang-buang waktu dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak produktif, seperti duduk berjam-jam di warung kopi dan ketergantungan pada game online.

Memaknai hari sumpah pemuda dapat kita lakukan dengan banyak cara, seperti generasi muda yang menjalankan fungsinya untuk mengawasi kinerja pemerintah dan kebijakan-kebijakan yang diambil. Ketika hukum begitu lemah dan tak berkutik pada para penguasa, maka generasi muda harus menjadi pengawas dan penegak ketimpangan itu. Generasi muda tidak hanya berdiam diri dan menjadi penonton terhadap ketidakadilan dan praktik KKN yang terus terjadi.

 Harus lebih peka

Di samping itu, generasi muda juga berperan sebagai penyampai aspirasi masyarakat. Saat para wakil rakyat terbuai dengan jabatan dan kekuasaannya, maka di sinilah peran generasi muda, khususnya mahasiswa untuk bertindak sebagai penyampai aspirasi. Generasi muda harus lebih peka dan sensitif dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat saat ini. Lebih kreatif dan solutif dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi. 

Sebagai generasi muda kita harus ikut berkontribusi untuk membangun negara, seperti aktif di kegiatan-kegiatan yang berdampak positif di kampus dan masyarakat, serta mengembangkan potensi diri (skill) yang nantinya dapat berguna di masa mendatang. Selain itu, untuk menjalankan peran kita sebagai generasi muda, kita harus bisa menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada menjadi satu kesatuan yang utuh. 

Negara kita membutuhkan peran pemuda-pemudi untuk menumbuhkan kembali semangat sumpah pemuda dan nasionalisme yang kian memudar mengingat tantangan ke depan semakin berat dan kompleks. Momentum Sumpah Pemuda ini untuk mengingatkan kita kembali bahwa tidak boleh ada golongan yang merasa ditindas, dianaktirikan, atau diabaikan. Sumpah Pemuda harus melahirkan keadilan bagi seluruh warga negara tanpa ada diskriminasi.

Saya berharap dengan adanya Hari Sumpah Pemuda ini menjadi cermin bagi kita semua untuk berkaca seperti apa bangsa kita saat ini. Ke depannya, semoga pemuda-pemudi Indonesia dapat terus menjaga semangat persatuan dan jiwa nasionalisme untuk mewujudkan cita-cita bersama menuju Indonesia yang maju, adil, dan sejahtera.

* Cut Liza Novita Sari, Mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Email: azaazaliza92@yahoo.com

Editor : hasyim


Slide Powerpoint-Resensi-Tugas Kelompok

Resensi Film-Tugas Individu-Antara Keinginan dan Kenyataan

RESENSI FILM BATAS
Judul : Batas
Produser : Marcella Zalianty
Sutradara : Rudi Soedjarwo
Penulis :Slamet Rahardjo
Pemain : Marcella Zalianty, Arifin Putra, Piet Pagau, Jajang C Noer, Ardina Rasti, Otiq Pakis, Norman Akyuwen, Marcell Domits, Alifyandra, Tetty Liz Indriati.



Batas merupakan film yang menceritakan tentang seorang perempuan yang bernama Jaleswari, yang begitu ambisius dan totalitas dalam bekerja. Dia berani ditugaskan ke daerah pelosok Kalimantan yang terisolir dengan kondisi yang sedang hamil. Hal ini juga dilakukan untuk pelariannya melupakan kematian suami yang dicintainya, hingga ia berani mengambil segala resiko yang mungkin akan terjadi selama ia berada dalam daerah penugasan. Misinya yaitu untuk mencari tahu apa yang menjadi kendala sehingga program Corporate Social Responsibillity (CSR) di bidang pendidikan yang dilakukan oleh perusahaan tempatnya bekerja tidak berjalan dengan baik dan maksimal di Borneo, daerah perbatasan di pedalaman Kalimantan. Semua guru yang telah dikirim ke daerah perbatasan tersebut oleh perusahaannya, kembali lagi ke Jakarta dan hal ini berpengaruh terhadap proyek yang sedang dia jalankan. Hanya Adeus yang bertahan menjadi guru di sana, itupun karena dia adalah pemuda asli daerah itu. Untuk itulah, Jaleswari ditugaskan ke daerah tersebut untuk terjun langsung melihat sendiri apa yang terjadi sehingga program CSR perusahaannya tidak berjalan lancar. Kehidupan di pedalaman Kalimantan yang terisolir sangat jauh berbeda dengan kehidupannya di  Jakarta yang serba modern. Selain itu, masyarakat di sana juga memiliki cara pandang yang berbeda dalam memaknai arti garis perbatasan. Masyarakat Borneo lebih mementingkan anak-anaknya untuk bekerja daripada memperoleh pendidikan. Dengan segala kekurangan yang mereka miliki, mereka dihadapkan oleh sebuah perasaan apakah harus tetap tinggal di daerah kelahiran ataukah melewati batas perbatasan Indonesia-Malaysia untuk merasakan surga yang ditawarkan negara tetangga, ideologi bangsa pun diuji. Apalagi dengan batas teritori yang hanya ditandai dengan plang kecil, tanpa adanya pengawasan atau  monitor dari pemerintah, sehingga sangat mudah bagi mereka untuk keluar masuk perbatasan. Selama di sana, Jaleswari mengerti bahwa sistem pendidikan yang diinginkan perusahaannya tidak sesuai dengan keinginan masyarakat setempat.  Dia juga mengalami konflik batin saat berhadapan pada masalah kemanusiaan yang terjadi di daerah itu ataukah hanya terfokus pada misi awalnya yang ditugaskan oleh perusahaan. Persoalannya adalah masyarakat di sana lebih memilih bekerja daripada harus mengenyam pendidikan. Apalagi di sana ada Otik, salah seorang warga Borneo yang menginginkan warga di desa itu tetap bodoh, agar ia bisa dengan leluasa menjual perempuan-perempuan di tempat itu ke negara tetangga. Namun kehadiran Jaleswari yang penuh semangat dan optimistis telah membakar semangat anak-anak di sana, khususnya Borneo, untuk belajar. Tidak hanya itu, ia juga menularkan semangatnya pada Adeus, juga pada Panglima Galiong Bengker (Kepala Suku Dayak) untuk membuat warganya berpendidikan. Film ini juga mengajarkan tentang ideologi, bahwa realitanya banyak masyarakat Indonesia yang hidup di daerah perbatasan,  kemudian tergiur untuk hidup merantau ke negara sebelah yang lebih menjanjikan. Persoalannya adalah seberapa kuatkah kita untuk bertahan antara keinginan dan kenyataan. Selain itu film ini juga menampilkan sebuah daerah di pedalaman Kalimantan yang masih begitu kuat dengan nilai-nilai tradisional dan adat-istiadat yang kental, jauh dari peradaban dan kemajuan, dengan keterbatasan sarana dan prasarana, khususnya sarana pendidikan. Sebuah gambaran masyarakat dengan kondisi pendidikan yang sangat rendah. Para orangtua terkesan seperti membiarkan anak-anaknya tumbuh tanpa pendidikan, menganggap bahwa bekerja lebih penting daripada belajar, sebuah pemikiran yang sangat berbeda dari masyarakat kota. Tentunya mengubah cara pandang masyarakat yang seperti itu bukanlah hal yang mudah, butuh proses yang tidak sebentar dan tentunya dibutuhkan kesabaran dan pemahaman. Karena untuk bisa memahami orang lain maka harus dipahami dahulu cara berpikir orang tersebut. Padahal banyak anak di sana yang sebenarnya memiliki semangat untuk belajar dan bercita-cita tinggi, seperti Borneo misalnya, yang bercita-cita ingin menjadi presiden. Namun dengan kondisi daerah yang demikian, mereka tidak memiliki pilihan selain melakukan apa yang diharapkan orangtuanya. Terakhir adalah, film Batas ini memiliki makna batas yang beragam. Batas berarti sejauh mana batas seorang Jaleswari dalam mengenal lingkungan yang baru ia tinggali dan beradaptasi dengan segala perbedaannya, kemudian juga ada Adeus yang harus berhadapan dengan batas kemampuan dirinya dalam menghadapi masalah yang datang dari Otik, antara ingin memperjuangkan keinginan anak-anak untuk belajar ataukah menyerah pada tekanan-tekanan yang diberikan Otik untuk menghentikan langkahnya tersebut. Batas berarti  masyarakat yang hidup di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia. Batas berarti hidup dalam keterbatasan pendidikan, sarana-prasarana maupun fasilitas. Batas berarti keterbatasan untuk memilih antara keinginan atau kenyataan.  Dan batas berarti betapa budaya dan adat istiadat menjadi batas dalam menjalani hidup. Secara keseluruhan, batas menggambarkan bagaimana sekelompok orang yang berusaha untuk keluar dari batas kenyamanan diri mereka ketika dihadapkan pada sebuah tantangan maupun permasalahan supaya bisa terselesaikan dengan segera. 

Kritik-Tugas Individu-Batas Tak Berarti Terbatas

Jaleswari suatu ketika ditugaskan oleh pimpinan perusahannya untuk menyelidiki penyebab gagalnya kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan mereka di sebuah daerah terpencil di perbatasan Kalimantan.  Dengan durasi tayangan yang hampir mencapai dua jam, Batas mencoba menceritakan mengenai banyak hal. Sejak awal, film ini diceritakan dengan begitu kompleks, dengan berbagai kasus, mulai dari menceritakan sosok Jaleswari dengan semangat dan optimistisnya, kemudian juga ada cerita daerah perbatasan Kalimantan yaitu wilayah Entikong, yang begitu terisolir dengan kualitas pendidikan yang begitu memprihatinkan, kemudian juga pemikiran masyarakat di sana bahwasanya anak-anak lebih baik bekerja daripada belajar. Lalu ada Otik, seorang warga Borneo yang menginginkan warga-warga  di sana agar tetap bodoh dan apatis terhadap pendidikan, supaya memuluskan jalannya untuk bisa memperjualbelikan para wanita di wilayah itu ke negara tetangga.  Juga ada Adeus, satu-satunya guru di Desa itu yang merasa  tertekan dengan ancaman dari Otik yang melarangnya untuk mengajar anak-anak di desa tersebut. Ada masalah Kepala Adat Dayak dan mantan istrinya yang hubungannya sudah tidak rukun lagi sejak kematian anaknya, dan terakhir tentang misteri kejadian yang dialami Ubuh, wanita misterius yang ditemukan warga setempat di Hutan dengan luka traumatiknya yang luar biasa. Film ini menceritakan banyak sisi dan begitu kompleks. Dan untuk menceritakan rangkaian konflik tersebut dengan lancar tentunya bukanlah hal yang mudah. Beberapa kali “Batas” terlihat seperti kehilangan fokus dalam penceritaannya. Dari satu cerita beralih ke cerita yang lain, dan perlahan-lahan setiap misteri dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dibenak penonton yang melihat film ini mulai terbuka dan terjawab. Walaupun saya merasa ada sedikit kebingungan dalam memaknai beberapa adegan dikarenakan ceritanya yang memuat beberapa sudut pandang, sehingga ada beberapa plot yang seakan tidak terselesaikan dengan baik. Walaupun begitu, sutradara film ini, Rudi Soedjarwo, mampu menghadirkan susunan cerita yang kuat dan menarik dengan menampilkan balutan gambar-gambar dengan panorama alam Entikong yang indah, adegan para tokoh yang begitu menjiwai setiap peran yang dimainkannya, mampu membuat penonton terhibur dan hanyut ke dalam alur cerita tersebut. Keunggulan dari film ini adalah walaupun cerita ini bukan berdasarkan kisah nyata, namun konflik yang dimunculkan dalam film ini merupakan fenomena atau realita yang kerap terjadi di wilayah perbatasan Kalimantan. Tentang nilai dan adat istiadatnya, sistem pendidikannnya, daerah yang terisolir dan jauh dari peradaban dan sentuhan kemajuan, serta tentang ideologi bangsa yang sering terkalahkan dengan realita bahwa masyarakat di wilayah perbatasan tersebut ingin hidup lebih baik dengan merantau ke negara tetangga yang lebih mampu menawarkan apa yang tidak mampu ditawarkan negaranya sendiri.