Jumat, 20 April 2012

Critical review : Pembagian Kekuasaan



Di masa sekarang ini, penemuan dan hasil olah pikir para filsuf politik telah melahirkan suatu konsep mengenai teori pembagian kekuasaan. Seorang bangsawan Kerajaan Inggris, Lord Acton menyatakan bahwa “Power tend to corrupt, absolut power corrupt absolutely”. Setiap kekuasaan mempunyai kecenderungan untuk menyeleweng dan menindas, kekuasaan yang tidak terbatas akan dapat menimbulkan penyelewengan yang maha dahsyat. Oleh karena itu kekuasaan negara perlu dipisahkan. Pentingnya pemisahan kekuasaan inilah yang kemudian melahirkan teori pemisahan kekuasaan di Eropa. Dengan adanya pemisahan kekuasaan tersebut diharapkan setiap potensi kesewenang-wenangan suatu kekuasaan tidak akan menjadikan tiran baik terhadap rakyat, maupun dalam hubungannya dengan poros-poros kekuasaan lainnya.Kekuasaan memang merupakan suatu kata yang banyak diburu dan dirindukan banyak orang. Begitu memikat dan menariknya pesona kekuasaan hingga setiap orang sangat berambisi untuk meraihnya. Berbagai upaya dilakukan untuk memenuhi ambisi tersebut termasuk menghalalkan segala cara. Kekuasaan menjadi tujuan bukan alat untuk mencapai tujuan. Maka tidak heran jika dunia perpolitikan kita selalu dipenuhi para penggila kekuasaan.
 Sejak era reformasi bergulir perilaku para elite negeri ini juga tidak banyak berubah. Mereka berteriak untuk kepentingan rakyat, namun sebenarnya demi memenuhi ambisi pribadi. Dengan alasan persatuan dan keutuhan bangsa, maka para politisi mengembangkan kebiasaan politik dagang sapi. Kebiasaan ini sering memakai istilah koalisi atau aliansi.
Melihat kenyataan ini maka dikembangkannya tradisi oposisi sebagai penyeimbang kekuatan institusi kepresidenan. Selama masa Orde Baru boleh dikatakan praktis tidak ada oposisi karena yang berkuasa hanyalah presiden yang dibantu mesin politiknya. Perbedaan pendapat dibungkam dengan jargon musyawarah untuk mufakat. Setiap orang yang mencoba mengkritik pemerintahan Soeharto akan diproses dengan senjata pamungkas UU Subversif.
 Ketika era reformasi bergulir, budaya oposisi juga dinafikan bahkan cenderung ditabukan. Para elite malah sibuk melakukan politik dagang sapi. Hampir semua partai besar yang memperoleh suara cukup signifikan dalam Pemilu 1999 mempunyai wakil di kabinet. Anggota DPR juga hanya kritis pada menteri yang berbeda partainya namun kompromi pada rekan separtai.
Maka tidak heran jika batasan antara partai yang memerintah (rulling party) dan partai oposisi (opposition party) menjadi kabur. Padahal seharusnya dalam suatu pemerintahan yang baik perlu ada perimbangan kekuatan karena kekuatan yang mutlak (absolutely power) cenderung untuk disalahgunakan. Partai oposisi dirasa perlu, karena dalam kenyataan politik ada yang berkuasa dan ada yang berada diluar kekuasaan. Nah, yang berada diluar kekuasaan inilah yang bertugas mengontrol, atau memberikan alternatif kebijakan kepada mereka yang berkuasa, sehingga rakyat mempunyai pilihan-pilihan kebijakan.
Sesuai dengan pendapat Lord Acton di atas mengenai kecenderungan kekuasaan absolut untuk menyalahgunakan kekuasaannya, maka adalah John Locke, seseorang yang dianggap oleh para ilmuwan politik modern sebagai penggagas teori pembagian kekuasaan (Separation of power theory) yang dirumuskan dalam sebuah karya monumental, yang berjudul Two Treties on Civil Governments (1690) dengan konsepnya Trias Politika. Tujuan John Locke menulis buku ini, berkaitan dengan kritiknya terhadap kekuasaan absolut dari Raja-raja Stuart di Inggris, serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang pada 1688 yang telah dimenangkan parlemen Inggris. Konsep Trias politika oleh John Locke, menjelaskan mengenai tiga macam kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (Rulemaking Function), kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application function), termasuk di dalamnya adalah kekuasaan untuk mengadili (rule adjudication function), dan kekuasaan federatif ialah kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dengan hubungannya bersama negara lain (hubungan luar negeri). Setelah John Locke baru beberapa puluh tahun kemudian filsuf Prancis, Montesquieu mengembangkan konsep pemikiran John Locke ini dalam buku L’Esprit des Lois (The Spirit of Law) pada 1748. Dalam buku tersebut, Mostesquieu menuangkan idenya mengenai suatu sistem pemerintahan yang menjamin hak-hak warga negaranya, termasuk terjaminnya kebebasan dari sifat despostis raja-raja bourbon. Sama seperti John Locke, dalam teori pembagian kekuasaannya, Montesquieu menguraikan pembagian kekuasaan dalam tiga bentuk, yaitu : kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengadili atas pelanggaran undang-undang. Berbeda dengan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, Montesquieu menganggap kekuasaan yudikatif sebagai bahan pengadilan yang berdiri sendiri. Hal ini terjadi karena Mostesquieu sebagai seorang hakim ketika itu, menyadari bahwa kekuasaan eksekutif jauh berbeda dengan kekuasaan yudikatif. Dan sebaliknya pula, bahwa hubungan luar negeri yang oleh John Locke dipisahkan dalam kekuasaan federatif, maka oleh Montesquieu dimasukkan kedalam kekuasaan eksekutif.

Menurut Montesqueiu, ketiga jenis kekuasaan itu haruslah terpisah satu sama lain baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) penyelenggaraan kegiatan. Kebebasan badan yudikatif adalah poin yang ditekankan oleh Montesquieu, karena di sinilah letak kemerdekaan individu dan hak asasi manusia itu dijamin dan dipertaruhkan. Kekuasaan legislatif menurutnya adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan undang-undang, sedangkan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Montesquieu menguraikan teorinya tentang ‘Trias Politica’ itu berdasarkan atas pengalamannya di Inggris, dimana sistem ‘Parlementer’ telah mulai berkembang sejak tahun 1688, yaitu sejak ‘Glorious-Revolution’ di Inggris. Keadaan di Perancis yang masih serba ‘autokratis’ dan absolut adalah sangat berbeda.

Raja Perancis memusatkan segala kekuasaan negara dalam dirinya. Raja membuat undang-undang, menjalankan, dan turut campur dalam penangkapan-penangkapan. Dengan ‘lettres des cachet’, yaitu surat buta biasa, Raja dapat menangkapi orang dan mempersalahkannya. Hakim yang bebas tak ada sama sekali. Rakyat hidup gelisah seperti pada jaman Kenpetai. Keadaan di Perancis perlu diubah menurut Montesquieu. Kekuasaan raja harus dibatasi sebagai kepala eksekutif saja, dan tak boleh campur tangan urusan-urusan lainnya.
Teori Montesquieu ini menjadi dasar dari ‘Konstitusi Amerika’ yang melepaskan diri dari ikatan penjajahan Inggris pada tahun 1778. Di Amerika lah ajaran Montesquieu itu dilaksanakan. Presiden USA sebagai kepala eksekutif memegang kedaulatan sendiri yang terpisah dari kedaulatan-kedaulatan legislatif dan yuridis.
Dalam teori pemisahan kekuasaan trias politica, masing-masing organ atau kekuasaan negara harus dipisah, karena memusatkan lebih dari satu fungsi pada satu orang atau organ pemerintah akan membahayakan kebebasan individu. Sebagian besar negara-negara didunia telah mengadopsi teori ini, namun tentu saja dengan corak dan modifikasi yang berbeda satu sama lain, disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik masing-masing negara. Modifikasi ini antara lain terlihat dengan adanya ajaran pembagian kekuasaan dan ajaran check and balances. 
Meskipun konsep tiga kekuasaan kedalam eksekutif, legislatif dan yudikatif tersebut dimunculkan ratusan tahun yang lalu, namun esensi dan fungsi pembagian kekuasaan itu masih tetap relevan hingga kini. Memang tidak semua negara didunia yang mengadopsi pembagian atau pemisahan kekuasaan negara sebagaimana trias politika mencaplok konsep tersebut secara mentah-mentah. Namun paling tidak, sebagian besar negara-negara di dunia tersebut mempunyai lembaga-lembaga negara yang mirip dengan lembaga-lembaga seperti yang ada dalam teori trias politika . Agaknya diseluruh dunia, dari zaman kezaman gagasan pemencaran kekuasaan kekuasaan ini dituruti . Namun demikian Amerika Serikat-lah yang paling sungguh-sungguh untuk melaksanakan teori pemisahan kekuasaan seperti dikemukakan oleh Montesqueiu. Sebagai negara hukum sekaligus negara demokratis, Indonesia juga sedikit banyak terpengaruh dengan ajaran trias politika. Namun sebagaimana diuraikan diatas, bahwa penerapan ajaran trias politika di berbagai negara memiliki corak yang berbeda satu sama lain, begitu pun di Indonesia. Gagasan-gagasan trias politika tampak sekali dalam batang tubuh (pasal-pasal) UUD 45. Apa yang melatari hal tersebut?, karena sejak semula Founding Fathers Indonesia telah mengkonstruksikan bahwa bangunan negara yang hendak didirikan di Nusantara ini adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Sementara itu dalam negara hukum, pemencaran kekuasaan politik negara adalah keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Prinsip-prinsip negara hukum menghendaki adanya pembatasan kekuasaan dalam negara melalui hukum. Karena pada prinsipnya yang memerintah bukanlah manusia, melainkan hukumlah yang memimpin.
Menurut pandangan saya, teori trias politika juga  tidaklah begitu sempurna, terdapat kelemahan yang Montesquieu sendiri tidak memberikan jalan keluarnya. Pemisahan kekuasaan secara mutlak tidak menjamin bahwa masing-masing poros kekuasaan tidak akan melampaui batas-batas kewenangannya. Kekuasaan yang berjalan tanpa pengawasan kemungkinan juga akan menghadirkan penyelewengan-penyelewengan. Artinya jika masing-masing lembaga terpisah secara mutlak, tidak ada hubungan saling mengawasi satu sama lain, maka kecenderungan juga akan menimbulkan bencana bagi demokrasi.
Artinya pemisahan kekuasaan itu perlu, agar tidak terjadi kekuasaan absolut yang dipegang oleh satu orang. Namun, meskipun terpisah juga harus saling terkait agar dalam pelaksanaannya tetap bisa saling mengawasi. Sehingga proses demokrasi bisa tetap berjalan dengan semestinya.

Senin, 09 April 2012

Pemilukada Aceh

Hari ini pemilukada dilaksanakan di kota Aceh ku tercinta. Sejak kemarin, tempat-tempat yang digunakan sebagai tempat pemilihan sudah disusun rapi.  Undangan pun sudah beberapa hari lalu disebarkan, meskipun masih ada warga yang tidak mendapatkan undangan.Tadi aku datang ke TPS di SMA negeri 5 Banda Aceh Darussalam sekitar jam 10 pagi. Dan tak lupa membawa undangan. Begitu masuk ke TPS 1, tak perlu mengantri langsung bisa nyoblos. Alhamdulillah prosesnya dipermudah dan tidak berbelit-belit J Namun, menurutku, ada kelemahan dalam pemilukada kali ini, yaitu bagi masyarakat yang sudah mendapat undangan tidak perlu memperlihatkan KTP lagi.  
Seperti dirumahku saja, tersisa satu undangan milik abangku. Karena dia sudah pindah ke Calang, jadi dia memilih disana, namun disini dia tetap terdaftar dan mendapatkan undangan. Bisa saja kan undangan itu digunakan oleh orang lain yang belum cukup umur, lalu ke TPS dan mencoblos. Toh tidak ada bukti bahwa undangan tersebut bukan milik dia. Nah menurutku itu  adalah salah satu kelemahan dari KIP tahun ini. Dan hari ini untuk yang pertama kalinya, aku bisa memilih dan ikut berpartisipasi di dalam pelaksanaan pemilukada. Untuk itu, aku mengikuti jalannya debat kandidat baik untuk pemilihan calon walikota maupun calon gubernur. Agar tak salah pilih nantinya. Memang kepintaran dalam berbicara/berdebat bukanlah sebuah tolak ukur pasti bahwa kedepannya calon kandidat mampu membangun Aceh dengan baik, namun itu bisa menjadi satu nilai plus bagi setiap calon. Karena kriteria calon pemimpin yang baik juga beragam. Salah satunya adalah kemampuannya dalam berkomunikasi dan mempengaruhi audiens. Namun selain itu, yang menjadi penilaian ku pada saat debat kandidat berlangsung adalah kecerdasan emosional dari para calon. Karena itulah unsur yang paling penting dalam memilih calon pemimpin. Bagaimana seorang pemimpin tidak hanya mampu berkomunikasi, tapi juga mampu menghargai pendapat lawan, mampu bersikap bijak, bertutur kata sopan, menahan emosi, dan banyak lainnya. Namun, pada saat acara debat kandidat calon walikota kemarin, aku merasa sedikit kecewa dengan calon yang aku jagokan. Tidak seperti yang aku harapkan. Calon jagoanku justru tidak bisa menghargai pendapat orang lain. Menurutku terkesan sombong. Dan hal itu mengurungkan niatku untuk memilihnya. Seharusnya, ketika kita berbicara, terlebih jika didepan umum, kita haruslah bisa menjaga citra diri dengan baik. Aku pernah mendengar kalimat “berpikirlah dulu sebelum berkata”. Jika yang kita lakukan justru sebaliknya, maka hasilnya tidak akan baik. Kata-kata yang keluar tanpa dipikirkan dan disaring terlebih dahulu, seringkali bisa menyakiti orang lain atau memancing konflik. Begitu pula ketika debat kandidat calon gubernur yang ditayangkan di Metro beberapa hari yang lalu. Itu juga membuka mata dan pikiranku untuk memilih yang sesuai dengan nuraniku. Bukan paksaan atau bujukan dari orang lain. Tapi memang pilihanku sendiri. Yang lucunya dalam acara debat kandidat calon gubernur malam itu adalah ada beberapa calon yang menjawab pertanyaan dari panelis “tidak kena sasaran”. Kalau bahasa sehari-harinya, “ditanya apa, dijawabnya apa = nggak nyambung”.
Dan itu membuat aku yang menonton merasa malu. Bisa dibayangkan itu ditayangkan di TV nasional yang disaksikan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Apa yang di pikirkan orang luar jika mereka menjawab pertanyaan seperti itu.
Namun, di akhir acara ada adegan yang menarik perhatianku. Yaitu saat Pasangan calon Irwandi-Muhyan bersalaman dan berpelukan dengan pasangan calon Zaini-Muzakkir. Semoga kemesraan itu menjadi langkah baru bagi Aceh yang damai dan sejahtera. Dan aku berharap siapapun calon yang terpilih nantinya mampu mengemban amanah dengan baik dan membawa Aceh ke kejayaan, kemakmuran, dan kesejahteraan.

Kamis, 05 April 2012

Konteks dalam Komunikasi Lintas Budaya


Pengertian Konteks dan Peranannya dalam Komunikasi Lintas Budaya
Di dalam proses komunikasi terdapat perbedaan dalam cara berkomunikasi antara
orang yang satu dengan yang lainnya. Misalnya, perbedaan ketika berkomunikasi dengan teman tentu akan berbeda ketika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua ataupun dengan orang yang lebih muda. Hal inilah yang dinamakan dengan konteks dalam komunikasi. Perbedaan cara berkomunikasi itu adalah hal yang sangat wajar dikarenakan situasi psikologis dan sosial. Bisa dikatakan bahwa konteks adalah sebuah wadah yang membatasi tindakan berkomunikasi yang dipengaruhi oleh situasi psikologis dan sosial. Dengan mengetahui konteks, maka akan mempermudah kita dalam berkomunikasi dengan orang lain.

Pendekatan-Pendekatan Tentang Konteks dalam Komunikasi Lintas Budaya
Dalam komunikasi lintas budaya, ada empat pendekatan tentang konteks, yaitu :
Pendekatan Situasional terhadap Konteks
Salah satu cara untuk menentukan dan membedakan konteks, dapat diidentifikasikan melalui pengaruh karakteristik komunikasi terhadap komunikasi. Beberapa pengarang telah menyusun karakteristik komunikasi berdasarkan : jumlah komunikator, derajat proksimitas fisik, jumlah saluran sensoris yang mungkin dapat digunakan komunikator, dan kecepatan reaksi umpan balik (Miller, dalam Sarah Trenholm). Menurut Miller, dimensi-dimensi ini berkaitan satu sama lain, namun yang  paling penting adalah faktor jumlah komunikator, karena inilah yang menjadi kunci dimensi situasional tersebut. Ini berarti dengan menambah jumlah orangg maka berubah pula situasi komunikasinya. Menyusul Miller adalah Swanson dan Delia yang menempatkan urutan kepentingan pada kemampuan para interaktor untuk mengadaptasi pesan-pesan sesuai dengan kebutuhan orang lain, situasi formalitas dan dari pesan komunikasi, serta tujuan komunikasi yang bersifat khusus.
Ada lima konteks dalam pendekatan ini, antara lain:
Komunikasi Antarpribadi
Komunikasi lintas budaya juga termasuk dalam konteks komunikasi antarpribadi, karena dalam komunikasi lintas budaya itu melibatkan paling sedikit dua atau tiga orang yang berbeda kebudayaan, lalu jarak fisik di antara mereka sangat dekat satu sama lain; sementara itu dalam komunikasi tatap muka atau bermedia, umpan baliknya berlangsung cepat, adaptasi pesan bersifat khusus, dan tujuan komunikasi bersifat tidak berstruktur. Dalam kenyataannya proses komunikasi lintas budaya yang dilakukan oleh dua atau tiga orang yang berbeda kebudayaan itu dipengaruhi oleh faktor-faktor personal maupun kelompok budaya. Faktor-faktor personal yang mempengaruhi komunikasi antarpribadi antara lain, faktor kognitif, seperti konsep diri, persepsi, sikap, orientasi diri (self orientation), dan self esteem.

Komunikasi Kelompok
Komunikasi kelompok merupakan komunikasi di antara sejumlah orang.  Di dalam komunikasi kelompok juga terjadi proses interaksi antar budaya dari para anggota kelompok yang berbeda latar belakang kebudayaan. Termasuk dalam pengertian konteks komunikasi kelompok adalah operasi komunikasi antar budaya di kalangan in group maupun antara anggota sebuah in group dengan out group, atau bahkan antara pelbagai kelompok (intergroup communication). Perasaan-perasaan terikat pada kelompok yang kerap kali dimanifestasikan dengan merendahkan kelompok lain yang dikenal dengan etnosentrisme dan rasisme. Akibatnya adalah terbentuknya jaringan komunikasi antara anggota kelompok (networks of communication).
Ada beberapa kategori peranan setiap orang dalam membentuk jaringan antar pribadi, yaitu :
1.      Nodes, yang menjelaskan peranan atau kedudukan serta fungsi komunikasi setiap individu dalam kelompok.
2.      Links, yang menjelaskan kaitan antara nodes dan karakteristik hubungan tersebut sebagai akibat dari fungsi mereka sebagai saluran komunikasi.
3.      Cliques, yang menjelaskan subkelompok dalam jaringan dan pembagian tugas dalam klik dan struktur mereka dalam kaitan dengan arus komunikasi.
4.      Network, menjelaskan tentang satuan jaringan dan relasi antara karakteristik sistem (ukuran atau struktur) dan kaitannya dengan arus komunikasi.

Komunikasi Organisasi
Praktek komunikasi organisasi melibatkan di dalamnya komunikasi antar pribadi atau komunikasi kelompok yang bersifat impersonal (komunikasi yang berstruktur) yang dilakukan oleh pribadi atau kelompok kerja dalam satu organisasi. Jalur komunikasi organisasi adalah jalur vertikal (atas-bawah, bawah-atas), horizontal (antara unit atau satuan kerja yang sama derajat), dan diagonal (komunikasi lintas unit atau satuan kerja). Organisasi merupakan wadah yeng mempekerjakan karyawan yang berasal dari pelbagai latar belakang pendidikan, pengetahuan, ketrampilan, pengalaman, dan kebudayaan yang berbeda.

Komunikasi Publik
Dalam komunikasi  publik, jumlah orang yang terlibat dalam komunikasi semakin banyak, umpan balik mulai lamban dan tertunda, adaptasi pesan masih bersifat khusus dengan tema tertentu, dan tujuan komunikasi mulai terstruktur. Komunikasi publik merupakan komunikasi yang dilakukan oleh seorang kepada sejumlah orang yang berbeda latar belakang kebudayaan di dalam situasi pertemuan (rapat, seminar, lokakarya, simposium). Komunikasi publik mengutamakan pengalihan pesan yang tersusun secara baik misalnya tertulis maupun lisan (karena itu aspek penggunaan simbol verbal dan non verbal yang patut dipahami oleh peserta yang berbeda kebudayaan) yang dimulai dengan proses satu arah kemudian dibuka dialog antara pembicara dengan audiens.

Komunikasi Massa
Dalam komunikasi massa, jumlah orang yang terlibat dalam komunikasi massa sangat banyak (bisa ratusan, ribuan, bahkan jutaan manusia) yang disebut massa. Sifat umpan balik komunikasi massa berlangsung lamban yang disebut umpan balik tertunda (delayed feedback), adaptasi pesan bersifat sangat umum, tujuan komunikasi mulai sangat berstruktur. Komunikasi massa adalah proses komunikasi dengan massa yang dilakukan melalui media, yakni media massa seperti surat kabar, majalah, buku, radio, televisi, dan lain-lain. Seluruh proses komunikasi massa melibatkan – sangat tinggi – didalamnya pelbagai aspek perbedaan latar belakang budaya, mulai dari pengelola (organisasi media), saluran atau media massa, pesan-pesan, hingga kepada khalayak sasaran maupun dampak.
Khalayak dalam komunikasi massa merupakan orang atau sekelompok orang yang berbeda latar belakang budaya dan tersebar secara geografis di aneka ruang yang luas mulai dari lokal, regional, nasional maupun internasional. Dampak dari kehadiran lembaga, pesan, maupun media yang berasal dari latar belakang kebudayaan yang berbeda sangat besar terhadap perubahan sikap khalayak. Jadi pemahaman terhadap konsep komunikasi antar budaya sangat membantu untuk menganalisis konteks komunikasi massa. Karena itu maka salah satu kunci untuk menentukan komunikasi lintas budaya yang efektif adalah pengakuan terhadap faktor-faktor pembeda yang mempengaruhi sebuah konteks komunikasi, misalnya peserta komunikasi, apakah  itu etnik, ras, kelompok, kategori yang memiliki kebudayaan tersendiri. Perbedaan-perbedaan itu meliputi nilai, norma, kepercayaan, bahasa, sikap, dan persepsi, yang semuanya itu sangat menentukan pola-pola komunikasi lintas budaya.
Pendekatan Fungsional
Kalau pendekatan situasi menekankan pada faktor situasi interaksi, maka pendekatan ini lebih menekankan pada faktor fungsional yang menghambat komunikasi. Dengan demikian, konteks komunikasi ditentukan oleh fungsi komunikasi. Anda dipersilahkan melihat relasi antara pasangan suami isteri yang berbeda kebudayaan namun sudah menikah 10 tahun. Mereka telah berhasil mempertahankan fungsi-fungsi keluarga (reproduksi, perlindungan, ekonomi) melalui cara-cara mereka berkomunikasi selama masa perkawinan itu. Bandingkan relasi suami isteri itu dengan seorang pembicara yang berpidato di depan audiens dalam sebuah seminar.
Perbedaan antara dua contoh komunikasi itu terletak pada fungsi yang digambarkan oleh situasi. Situasi pertama menunjukkan sebuah proses komunikasi lintas budaya yang lebih mendalam lantaran dua pihak telah mengembangkan relasi, pertukaran informasi dan mengembangkan komunikasi persuasif selama kurun waktu 10 tahun. Kalau dibandingkan dengan situasi kedua yang proses komunikasinya baru pada tahap interaksi yang mengarah ke tahap relasi bagi pertukaran informasi. Aspek fungsi tersebut harus dipertimbangkan ketika kita menjelaskan  komunikasi, karena komunikasi antar pribadi, antar kelompok sangat bervariasi, dan variasi itu terletak dalam hal  maksud, tujuan serta harapan dari sebuah tindakan komunikasi.  Mengacu pada konteks situasional maka meskipun mungkin dua orang yang bertatap muka merupakan bagian yang sama dari konteks antar pribadi namun mempunyai tujuan dan maksud (fungsi) komunikasi yang berbeda. Suami dengan isteri melakukan komunikasi antarpribadi tanpa batas jarak (proksimitas) fisik, sebaliknya komunikasi tatap muka antara seorang salesman dengan calon pembeli, antara dosen dengan mahasiswa, atasan dengan bawahan, kyai dengan jamaah, antara anda dengan tetangga, semua jenis komunikasi itu berbeda karena berkomunikasi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan yang berbeda-beda pula.
Dalam pendekatan fungsional taksonomi konteks komunikasi sangat ditentukan oleh tiga kemungkinan fungsi, yaitu : (1) pengembangan dan pemeliharaan relasi; (2) pertukaran informasi; dan pengaruh sosial dan  psikologis (persuasi). Konsep yang sama dalam pelbagai ilmu sosial dikonstruk dengan : (1) fungsi therapeutic; dimana salah satu pihak merasa bahwa pengalaman kognitif dan emosional dia tumbuh akibat dari interaksi antarpribadi; (2) komunikasi yang ritualistic sebagai pendorong fungsi menciptakan solidaritas budaya dan identifikasi budaya; dan (3) fungsi puitis dan estetika yakni untuk memenuhi kualitas pesan komunikasi.

Pendekatan Pengembangan Kognitif
Menurut Dance dan Larson, ada tiga dasar konteks atau tingkatan komunikasi yaitu intrapersonal, interpersonal, dan the person to person. Setiap  dasar konteks itu mempunyai jenis pemrosesan kognitif yang berbeda-beda. Pada tingkatan pertama, yakni komunikasi intrapersonal, pengirim dan penerima itu identik atau sama, hanya ada satu orang. Pesan-pesan yang bersumber dari diri sendiri dikirimkan melalui media self yang mengikuti proses yang dia lakukan sendiri, yaitu internalisasi simbol vokal untuk maksud dan tujuan menyelesaikan urusan pribadi atau bagi penyesuaian sosial.
Pada tingkatan kedua, yakni  komunikasi antarpribadi, komunikasi yang terjadi antara dua orang dan kemudian memusatkan perhatian pada karakteristik yang unik dari dua pihak masing-masing. Pada tingkat ini dua orang yang berkomunikasi akan terlibat dalam partisipasi pertukaran pesan, saling memberi dan menerima, saling merasa bahwa saya adalah bagian dari Anda dan Anda adalah bagian dari saya, saya mengakui Anda dan Anda mengakui saya, jadi keunikan dalam perbedaan tetap dihargai.
Pada tingkatan ketiga, komunikasi antara satu orang “kepada” orang lain, yang dimaksudkan sebagai komunikasi yang simultan antara satu orang dengan sejumlah orang. Ketika seorang berbicara dengan sejumlah orang lain maka dia mengkonsentrasikan diri pada kesamaan-kesamaan dan bukan pada perbedaan, tingkatan ini banyak dilakukan dalam percakapan. Disini individu harus mampu mengabstraksikan karakteristik bersama dan berbicara untuk menarik kesimpulan tentang orang lain dan menjadikan mereka ke dalam kelompok yang satu. Baik Dance maupun Larson menekankan bahwa hubungan interkoneksi pada tiap tingkatan. Bahwa pengalaman dan kemampuan setiap orang pada setiap tingkatan/level komunikasi mempengaruhi komunikasi pada setiap level berikutnya.

Pendekatan Gaya
Pendekatan ini diperkenalkan oleh Bormann yang merasa yakin bahwa suatu komunitas retorikal tetap eksis karena para anggotanya mempunyai seperangkat aturan tertentu, adat istiadat dan perjanjian yang membiarkan mereka untuk berada dalam satu diskursus yang sama. Diskursus yang mereka pertahankan yaitu gaya baru dalam sebuah retorika akan berkembang ketika sebuah norma tua, adat istiadat, dan seperangkat aturan  komunikasi telah menjadi sangat pekat merekat para anggotanya. Jadi sebuah standar komunikasi akan selalu mengikuti konteks isu yang ada dalam masyarakat.

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa di dalam proses komunikasi terdapat perbedaan dalam cara berkomunikasi antara orang yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan cara berkomunikasi itu adalah hal yang sangat wajar dikarenakan situasi psikologis dan sosial. Bisa dikatakan bahwa konteks adalah sebuah wadah yang membatasi tindakan berkomunikasi yang dipengaruhi oleh situasi psikologis dan sosial. Dalam komunikasi lintas budaya, ada empat pendekatan tentang konteks, yaitu pendekatan situasional terhadap konteks, pendekatan fungsional, pendekatan pengembangan kognitif, dan pendekatan gaya. Di dalam pendekatan situasional terdapat lima konteks yaitu komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, komunikasi publik, dan komunikasi massa.
Jadi, dalam berkomunikasi dengan orang lain, terdapat perbedaan ketika kita berkomunikasi dengan orang yang satu dan orang yang lainnya, atau antara berkomunikasi dengan orang yang lebih tua tentu akan berbeda dengan berkomunikasi dengan orang yang lebih muda. Karena setiap orang berkomunikasi sesuai dengan konteks dimana dia berada dan dengan siapa dia berhadapan.

Sistem Komunikasi Libertarian

1.      Sistem Komunikasi Libertarianisme
Sistem berasal dari bahasa Yunani, sistema, yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian (Shrode dan Voich, dalam Nurudin, 2004). Serupa dengan pendapat Shrode dan Voich, Littlejohn(1999) mengartikan sistem sebagai seperangkat hal-hal yang saling mempengaruhi dalam suatu lingkungan dan membentuk suatu keseluruhan (sebuah pola yang lebih besar yang berbeda dari setiap bagian-bagiannya).
Kemudian Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama, sama di sini maksudnya adalah sama makna. Untuk memahami pengertian komunikasi sehingga dapat dilancarkan secara efektif, para peminat komunikasi sering kali mengutip paradigma yang dikemukakan oleh Harold Lasswell dalam karyanya, The Structure and Function of Communication in Society. Lasswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk untuk menjelaskan komunikasi ialah dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?
Sistem komunikasi adalah sekumpulan unsur-unsur atau orang-orang yang mempunyai pedoman dan media yang melakukan suatu kegiatan mengelola, menyimpan, mengeluarkan ide, gagasan, simbol, dan lambang yang menjadikan pesan dalam membuat keputusan untuk mencapai suatu kesepakatan dan saling pengertian satu sama lain dengan mengolah pesan itu menjadi sumber informasi. Jadi sistem komunikasi liberatarian adalah sistem komunikasi yang mengatur atau yang mengkaji tentang kebebasan, dalam lingkup lebih sempitnya bisa dikataan sistem pers.

Libertarianisme
Sistem komunikasi libertarian bersandar pada sistem filsafat liberalism yang bermula di Inggris dengan tokoh-tokoh antara lain John Locke dan John Stuar Mill yang menekankan pentingnya kebebasan manusia untuk berpendapat sehingga dapat diperoleh kebenaran atau gagasan yang unggul.
Paham libertarian ini lalu menyebar ke negara-negara lain, Amerika Serikat dan negara-negara lain di Eropa, sejalan dengan perkembangan paham demokrasi. Sistem komunikasi libertarian mengajarkan bahwa individu harus diberi kebebasan untuk menyatakan gagamsannya di pasar ide, agar bisa diperoleh kebenaran. Dalam bidang pers, pers harus dibebaskan dari campur tangan pemerintah, bahkan pers berfungsi mengawasi pemerintah. Meskipun demikian, dalam praktiknya, seperti terlihat di Amerika Serikat misalnya, paham libertarian ini menimbulkan berbagai interpretasi dan tidak menjamin kebebasan yang bersifat mutlak.
Menurut teori ini, manusia pada dasarnya mempunyai hak-haknya secara alamiah untuk mengejar dan mengembangkan potensinya apabila diberikan iklim kebebasan menyatakan pendapat. Hal ini tidak mungkin berlaku apabila terdapat kontrol dari pemerintah. Menurut paham liberalisme, manusia pada hakekatnya dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan oleh ratio atau akalnya. Kebahagiaan dan kesejahteraan individu merupakan tujuan dari manusia, masyarakat, dan negara. Manusia sebagai makhluk yang menggunakan akalnya untuk mengatur dunia sekelilingnya dan dapat mengambil keputusan-keputusan yang sesuai dengan kepentingannya. Oleh karena kemampuan yang dimilikinya ini, maka manusia merupakan unsur utama dari dunia peradaban dan sekaligus sebagai penggeraknya. Kedudukan istimewa yang diberikan kepada individu dalam masyarakat libertarian ini, mengakibatkan timbulnya anggapan bahwa fungsi dari masyarakat ialah untuk memajukan kepentingan anggota-anggotanya secara individual. Mengenai hakekat kebenaran dan pengetahuan, paham leberal memandang sebagai tidak berasal dari kelompok kecil orang-orang yang berkuasa atau merupakan monopoli mereka, akan tetapi harus ditemukan sendiri oleh manusia dengan manfaatkan akalnya.
Mengenai kebebasan pers, teori libertarian beranggapan bahwa pers harus mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk membantu manusia dalam usahanya mencari kebenaran. Untuk mencari kebenaran, manusia memerlukan kebebasan untuk memperoleh informasi dan pikiran-pikiran yang hanya dapat secara efektif diterima ketika itu, apabila disampaikan melalui pers.
Sistem politik Indonesia, terutama pada tahun 1950 - 1959 dengan berlakunya UUDS, pernah menerapkan teori pers liberal. Peraturan perundangan tentang pers masih mengacu pada KUHP warisan kolonial. Realitas kehidupan pers benar-benar menggambarkan penerapan teori pers liberal. Pers pada masa ini cenderung tidak lagi dipergunakan untuk perjuangan negara, namun dipergunakan sebagai terompet partai. Banyak surat kabar yang beredar merupakan organ dari partai politik pada sistem politik waktu itu (baca Tribuana Said, 1988, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila, CV Haji Masagung, Jakarta). Merdeka dan Indonesia Raya merupakan surat kabar yang masih bisa disebut sebagai surat kabar yang netral (memperjuangkan kepentingan bangsa).
2.      Dampak positif dan negatif komunikasi libertarian
Pada sistem pers libertarian lebih menekankan pada individu dimana masyarakat dibebaskan untuk berekspresi, berpendapat dan bahkan untuk mengkritik pemerintahan. Tidak selamanya yang namanya bebas itu menguntungkan. Ada pula dampak negatif yang ditimbulkan dari kebebasan tersebut, diantaranya negara akan susah dikendalikan karena akan banyak dari masyarakat yang melakukan kritik terhadap pemerintah bahkan akan sering terjadi konflik antar masyarakat akibat terjadinya salah persepsi dan akan sulit dikontrol oleh pemerintah. Kebebasan media yang berlebihan ada kalanya membatasi kebebasan individu lain. Dengan adanya kebebasan media ini menjadikan seorang individu (terutama public figure) kehilangan area pribadinya, karena semua yang dilakukannya diekspos oleh media.
Tapi sisi positif nya pada sistem liberal, media massa pers bukan alat pemerintah lagi melainkan sebagai alat untuk menyajikan fakta, alasan, dan pendapat rakyat untuk mengawasi pemerintah yaitu bisa sebagai melayani kebutuhan pendidikan politik masyarakat, memberi penerangan kepada masyarakat, memberi hiburan kepada masyarakat, melindungi hak warga masyarakat. Sistem ini menjamin kebebasan bereksresi yang tinggi bagi tiap individu. Negara didalamnya hanya memberikan sarana bagi pengembangan kemampuan yang dimiliki oleh individu. Sehingga informasi yang ditampilkan lebih beragam. Selain itu, masyarakat juga lebih “melek” dengan keadaan negaranya serta perkembangan yang ada. Karena semua informasi dapat diakses nya melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik.

3.      Teori Pers dan Sistem komunikasi Libertarian
Pers dalam sistem liberal terbentuk sebagai akibat dari timbulnya revolusi industri
dan perusahaan-perusahaan besar. Menurut teori ini, secara alamiah manusia memiliki hak untuk mengejar kebenaran dan mengembangkan potensinya apabila diberikan kebebasan untuk menyataka pendapat. Hal ini tidak akan mungkin tercapai apabila terdapat control dari pemerintah atau penguasa seperti yang terdapat di sistem otoritarian. Menurut paham libertarian, pada hakikatnya manusia dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan oleh rasio atau akalnya.
Teori libertarian pers mengatakan bahwa pers harus mendukung fungsi membantu menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah sekaligus sebagai media yang memberikan informasi, menghibur, dan mencari keuntungan. Di bawah teori liberal, pers bersifat swasta dan siapa pun yang mempunyai uang cukup untuk dapat menerbitkan media. Dalam sistem ini, pers bukan instrumen atau alat pemerintah/penguasa, melainkan sebuah alat untuk meyajikan buktidan argument-argumen yang akan menjadi landasan bagi orang banyak untuk mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap terhadap kebijaksanaannya. Dengan demikian, pers seharusnya bebas dari pengawasan dan pengaruh pemerintah. Dalam sistem ini, masyarakat dapat menyampaikan pendapatnya sebebas mungkin asal tidak melanggar norma yang berlaku. Pers bukan merupakan perpanjangan tangan pemerintah/penguasa. Pers berdiri dengan cara masing-masing untuk mengutarakan pendapat masyarakat. Dalam hubungannya dengan kebebasan pers, teori libertarian beranggapan bahwa pers harus mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk membantu manusia dalam usahanya mencari kebenaran. Manusia memerlukan kebebasan untuk memperoleh informasi dan pikiran-pikiran yang hanya dapat secara efektif diterima ketika itu apabila disampaikan melalui pers. Pihak yang berhak menggunakan media massa dalam teori libertarian adalah siapapun yang mempunyai sarana ekonomi. Tujuan dan fungsi media massa menurut paham liberalisme adalah memberi penerangan, menghibur, sekaligus menjual, namun yang terutama adalah menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah serta mengecek atau mengontrol pemerintah. Hakikat kebenaran dan pengetahuan dianggap bukanlah berasal dari sekelompok kecil orang atau penguasa, melainkan harus ditemukan sendiri oleh manusia dengan mempergunakan akalnya. Mengenai kebebasan pers, dalam teori ini pers dianggap harus memiliki kebebasan yang seluas-luasnya untuk dapat membantu manusia dalam usahanya mencari kebenaran. Untuk mencapai kebenaran, manusia memerlukan kebebasan. Dalam masyarakat liberal, kebebasan pers menjadi sebuah hal utama yang sangat penting karena dari kebebasan pers dapat dilihat kebebasan manusia.

Senin, 02 April 2012

Kelebihan dan Kekurangan Iklan Pond's Flawless white

Iklan merupakan suatu tampilan yang akan selalu hadir di dalam kehidupan kita setiap harinya. Iklan selalu beredar di sekeliling kita dan selalu dapat kita temukan dimanapun kita berada. Pada masa kini, iklan digunakan tidak hanya bertujuan untuk menawarkan suatu produk, akan tetapi iklan berusaha membentuk sistem nilai, gaya hidup maupun selera budaya tertentu. Iklan tidak hanya memvisualisasikan kualitas dan atribut dari suatu produk tetapi juga membuat  bagaimana sifat atau ciri produk tersebut memiliki arti sesuatu bagi konsumen. Dengan kata lain, iklan mencoba mendefinisikan image tertentu ketika orang menggunakan produk tersebut. 
Kulit putih, lembab, bercahaya, bebas flek hitam, dan bekas jerawat, merupakan dambaan setiap wanita. Beberapa produk kecantikan menawarkan keajaibannya dalam waktu singkat, misalnya 7 hari atau 2 minggu. Salah satu dari sekian banyak produk kecantikan tersebut adalah pond’s. Pond’s merupakan salah satu produk keluaran unilever. Alasan peluncuran pond’s adalah kepercayaan bahwa semua wanita itu cantik dan cantik itu tidak mengenal batas usia. Oleh sebab itu, pond’s menghadirkan rangkaian produk perawatan kecantikan yang inovatif dan lengkap bagi wanita dalam segala usia. Rangkaian produk perawatan pond’s dibedakan menjadi 3 kategori, yaitu pengendalian minyak, pemutih kulit, dan penghambat penuaan dini. Ketiga kategori tersebut dikelompokkan dalam lima paket, yaitu salah satunya adalah pond’s flawless white yang membuat kulit tampak putih mulus serta mengurangi noda hitam dan bekas jerawat hanya dalam tujuh hari.
A.                Kelebihan
Berdasarkan pengamatan dari iklan diatas, dapat saya simpulkan beberapa kelebihan dari iklan pond’s flawless white. Pertama, kekuatan tag line yang digunakan dalam iklan tersebut yaitu “putih dalam 7 hari”. Kekuatan tag line tersebut mampu menghipnotis konsumen terutama para wanita yang berkulit gelap. Hal itu mampu meningkatkan optimisme masyarakat untuk menggunakan produk pond’s. Apalagi kebanyakan masyarakat Indonesia sangat mudah terbujuk dengan hal-hal yang instan. Selain itu juga mengingat bahwa negara kita merupakan negara tropis yang mayoritas penduduknya berkulit sawo matang. Tentunya tag line seperti itu mampu menarik minat konsumen. Kedua, pada gambar iklan diatas juga disebutkan “7 days challenge or your money back”. Ini juga menjadi suatu strategi yang digunakan produsen dalam memasarkan produk tersebut. Artinya buktikan tantangan dalam 7 hari atau uang akan kembali. Di sini konsumen benar-benar diyakinkan untuk membeli produk tersebut, sampai-sampai ada kata-kata “or your money back”. Itu merupakan penekanan yang menyatakan bahwa produk tersebut memang mampu memutihkan hanya dalam waktu 7 hari. Jika kita melihat pada tayangan iklannya sendiri, juga diperlihatkan bagaimana seorang wanita yang tadinya berkulit wajah kusam, setelah menggunakan produk tersebut, dalam jangka waktu 7 hari, kulit wajahnya menjadi putih mulus dan cantik berseri. Hal ini tentu saja membuat para konsumen yang melihat iklan tersebut merasa penasaran dan ingin mencoba. Bahasa iklan pond’s sering menipu, misalnya “membuat kulit tampak lebih putih”. Kalimat itu sebenarnya hanya membuat kulit “tampak putih”, bukan “menjadi putih”. Masyarakat sering tertipu dengan kalimat-kalimat seperti itu. Dan itulah strategi yang digunakan oleh para produsen untuk menarik minat konsumen. Di samping itu, para wanita yang menjadi model iklan pond’s selalu memiliki bentuk fisik sempurna. Kulit wajah yang putih dan bersih tanpa noda sedikitpun. Padahal kulit mereka memang sudah putih sejak dulu, bukan karena memakai produk pond’s.

B.                 Kekurangan
Selain beberapa kelebihan produk yang telah disebutkan diatas, juga ada beberapa kekurangan dari produk tersebut. Memang tag line “putih dalam 7 hari” mampu meningkatkan optimisme dan menarik minat masyarakat untuk mengkonsumsi produk tersebut, namun di sisi lain, konsumen yang cerdas tentu tidak akan dengan mudahnya mempercayai iklan semacam itu. Konsumen cerdas mampu merasionalkan pikirannya untuk menentukan logis atau tidaknya sebuah tag line. Mana mungkin hanya dalam waktu 7 hari saja kulit yang tadinya gelap bisa menjadi putih. Itu adalah hal yang mustahil. Tag line seperti itu bisa jadi justru akan membuat masyarakat enggan untuk menggunakan produk tersebut. Masyarakat akan berpikir bahwa ia telah dibodohi atau menjadi korban iklan. Seharusnya seorang produsen, dalam membuat tag line juga harus berhati-hati. Jangan sampai tag line yang seharusnya menjadi kekuatan dari sebuah produk justru menjadi bumerang bagi produk itu sendiri. Selain itu pada kalimat “7-day challenge, or your money back”. Ini juga menjadi kekurangan dalam iklan ini. Seandainya konsumen yang menggunakan produk tersebut kulit wajahnya tidak kunjung memutih dalam jangka waktu 7 hari, kemana dia harus meminta uang nya kembali? Kalimat “or your money back” tersebut akan menyebabkan masyarakat menjadi bingung harus meminta kembali uangnya kemana dan merasa dibohongi.
Dari gambar iklan diatas, juga bisa kita lihat perbandingan pada wajah model sebelum dan setelah wanita tersebut menggunakan pond’s flawless white. Perbandingannya tidak terlalu jauh. Memang sejak sebelumnya pun wanita tersebut sudah berkulit putih mulus tanpa bekas jerawat maupun noda hitam. Seharusnya kulit wanita itu dibuat lebih gelap lagi dengan noda hitam atau bekas jerawat. Jadi, setelah menggunakan pond’s selama 7 hari, kulit wajahnya menjadi tampak putih berseri. Sehingga bisa lebih meningkatkan minat konsumen yang melihat iklan tersebut.

C.                 Solusi
Berdasarkan pengamatan diatas, solusi yang dapat diberikan yaitu seharusnya jangan menggunakan tag line “putih dalam 7 hari”. Karena itu dirasa terlalu cepat. Tidak mungkin bisa memutihkan secara alami dalam kurun waktu sesingkat itu, terkecuali jika menggunakan bahan-bahan kimia. Dalam memasarkan produk, janganlah mengelabui konsumen dengan kalimat-kalimat ambigu. Gunakanlah kalimat sederhana yang berdasar fakta, bukan hanya ilusi atau rekayasa hanya demi keuntungan. Juga harus dilihat siapa target adoptersnya, sehingga tahu strategi pemasaran seperti apa yang cocok digunakan.