Sabtu, 26 Oktober 2013

Kisah Maman menginspirasiku :)

Dan... Besok kita mulai take gambar, full seharian dari pagi hingga malam, sampai selesai aktivitas narasumber. Jadi film yang mau kita buat ini bercerita tentang perjuangan seorang anak lelaki berusia 15 tahun yang sudah bekerja menjual kantong-kantong plastik sejak masih kecil. Setelah lulus SD, dia tidak bisa lagi melanjutkan sekolah karena tidak adanya biaya. Sejak saat itu, dia mulai bekerja untuk membantu keluarganya. Selain menjadi penjual kantong plastik di pasar ikan, siangnya setelah selesai berjualan, dia pergi menangkap ikan untuk kemudian dijual lagi. Semua pekerjaan dilakukannya untuk mendapatkan uang. Mengapa aku bisa mengenal anak hebat ini? Aku mengetahui cerita tentang anak ini setahun lalu dari mamaku. Mama mengenalnya di pasar ikan saat anak itu menjual kantong plastiknya pada mama. Sejak saat itu, setiap bertemu mama di pasar, dia langsung menarik tangan mama dan meminta supaya mama membeli kantong plastiknya. Dia juga sempat beberapa kali menceritakan kisah hidupnya pada mamaku. Mama penasaran kenapa dia tidak bersekolah dan malah berjualan kantong. Dari situlah mengalir cerita-ceritanya itu. Jadi makanya setiap berjumpa dengan anak itu di pasar, mama pasti selalu membeli kantong plastiknya atau sekedar memberi uang jajan pada anak itu, bukan karena butuh plastik tetapi karena rasa simpati. Di rumah, mama mulai menceritakan tentang anak itu kepada kami, bagaimana semangatnya bekerja, perjuangannnya menjadi tulang punggung keluarga hingga mengorbankan cita-citanya untuk bersekolah. Sebenarnya dia sangat ingin bersekolah lagi, namun dia bilang "pengen sekolah, tapi buat apa kalau setelah dua hari bersekolah lalu tiba-tiba harus berhenti karena nggak ada uang lagi, jadi lebih baik kerja saja jadi uangnya bisa dikasih untuk mamak. Kasian mamak nggak ada uang." Makanya waktu di suruh buat film, aku teringat kembali tentang anak kecil yang mamaku cerita. Aku begitu tergugah mendengar perjuangan dan semangat anak lelaki itu, sampai tak tahan airmata mengalir saat mendengar mama bercerita tentangnya. Jadilah hari kamis kemarin, aku mengajak teman-teman kelompokku untuk mencarinya di pasar ikan, Peunayong. Namun ternyata hari itu dia tidak datang. Tapi kami tak menyerah. Aku dan Zumar pergi mencari rumahnya dengan hanya bermodalkan nama desanya dan informasi bahwa dulu abangnya itu meninggal karena jatuh ke dalam sumur. Bahkan namanya saja aku belum tahu, karena waktu aku menanyakannya pada mama rupanya mama lupa menanyakan nama anak itu. Setelah bertanya ke sana kemari, untungnya ada seorang bapak paruhbaya yang berbaik hati mengantar kami ke rumah neneknya anak itu. Awalnya bapak itu sempat sangsi karena kami tidak tahu siapa nama anak itu. Namun karena kami bilang dulu abangnya ada yang meninggal jatuh ke dalam sumur jadi dia mulai tahu. Setelah dia mengantarkan kami ke rumah nenek anak itu, kami berjumpa dengan pamannya anak itu. Pamannya lah yang kemudian mengantarkan kami ke rumah anak itu. Dari pamannya lah kami tahu bahwa anak itu bernama Maman. Lalu pamannya menunjukkan jalan ke rumah Maman. Lumayan jauh juga jarak antara rumah Maman dengan jalan besar. Jalanan ke rumahnya tidak bagus dan berbatu. Sesampainya di rumah Maman, kami melihat rumahnya hanya sepetak yang terbuat dari kayu. Kondisinya agak memprihatinkan. Namun Maman tidak ada di rumah. Rupanya dia sedang memancing ikan di kolam yang tak jauh dari rumahnya. Sambil menunggu Maman pulang, kamipun berbincang-bincang dengan kedua orangtuanya. Ternyata hari itu Maman memang tidak berjualan kantong di pasar tetapi sedang memancing ikan, hasil tangkapannya nanti akan dijual olehnya untuk mendapatkan uang. Mendengar itu, aku kembali teringat pada cerita mamaku tempo hari saat terakhir kali bertemu Maman di pasar. Mama bertanya mengapa jarang sekali melihat Maman berjualan plastik di pasar. Lalu Maman bilang kalau dia tidak pergi karena tidak ada ongkos naik angkutan umum. Karena tahu sendiri kan biaya hidup di Aceh bisa dibilang lebih mahal dibandingkan daerah-daerah lain. Ongkos angkutan umum dari rumahnya ke pasar aja bisa sampai 7000, pulang pergi jadi 14000. Bayangkan biaya naik angkutan umum aja bisa semahal itu, makanya kadang kalau nggak ada uang untuk naik angkutan umum, dia hanya mendapat uang dari memancing. Nanti kalau sudah ada uang lagi buat ongkos baru pergi lagi berjualan ke pasar. Hari itu, Maman mengajak temannya untuk ikut memancing bersamanya. Dia bilang supaya temannya itu juga bisa punya uang sendiri dan bisa meringankan beban orangtuanya juga. Betapa baik ya hati Maman. Kadang-kadang juga katanya kalau ada ibu-ibu yang tidak mampu meminta ikan hasil tangkapannya akan diberikan secara cuma-cuma. Dia hidup kekurangan tapi masih suka berbagi dengan orang lain. Ironis memang hidup ini. Banyak orang yang bergelimang harta tapi begitu takut memberi pada yang membutuhkan. Tapi Maman yang tak punya apa-apa masih suka memberi dan menolong orang lain. Di sore hari, dia juga selalu pergi mengaji bersama teman-temannya. Jadi walaupun hidup kekurangan tapi Maman tetap dekat dengan Tuhan. Nilai-nilai agama masih tertanam kuat dalam dirinya. Hal yang sangat jarang ditemukan pada orang-orang yang tinggal di kota. Makanya aku semangat banget untuk membuat film tentang Maman ini karena kisah hidupnya yang sangat menginspirasiku. Dan semoga kalau film ini nantinya selesai digarap, juga bisa menginspirasi banyak orang untuk menyukuri dan menerima apa yang telah diberikan Tuhan, baik dan buruknya. Satu kata yang paling aku sukai dan akan aku sisipkan di kata penutup film ini adalah "karena manusia ada, dilihat dari seberapa besar manfaatnya bagi orang lain". Yup, aku suka sekali kalimat itu, karena eksistensi kita sebagai manusia dianggap ada tergantung pada seberapa besar manfaat kita bagi orang lain, makanya sering-seringlah menolong orang lain dan berbuat kebaikan karena dengan begitu kita dianggap ada dan istimewa :)

Rabu, 23 Oktober 2013

Videografi itu Makanan Apa sih???? _-_

Yang paling menyebalkan dari semester tujuh ini adalah ada mata kuliah "videografi". Demi apapun aku nggak suka yang namanya ngambil gambar, take ini take itu, ribeeeeet bet bet.
Semester kemarin yang cuma buat iklan aja capeknya setengah mati, dari pagi buat sampai sore nggak siap-siap, parahnya lagi dosennya minta kita yang jadi modelnya. Di suruh ngomong, akting depan kamera, asli bego, kapok sekapok-kapoknya. Memang dibalik layar itu lebih enak. Dan semester ini dapat lagi mata kuliah "videografi". Dari namanya aja udah bau-bau disuruh buat film, dan tebakan Anda benar sekali. Kenapa saya nggak suka buat film? Pertama, saya bukan orang yang kreatif terutama soal "ide". Kedua, saya nggak paham soal teknik pengambilan gambar, walaupun semester kemarin udah ngambil mata kuliah fotografi tetap aja nggak ngerti soal ISO, diafragma, speed. Kalo soal teorinya doang sih ngerti, tapi yang Anda harus tahu adalah teori dan praktek itu jauuuuuuuuuuh banget bedanya. Anda boleh jadi pintar banget teori tapi belum tentu dalam prakteknya Anda bisa sepintar di teori. Pengalaman ini aku rasain banget waktu belajar jurnalis di Muharram Journalism College (MJC) setahun yang lalu. Karena aku suka nulis jadi aku memilih mengambil kelas cetak dibanding televisi, karena kayak aku bilang tadi kalau aku agak gaptek kalau berhubungan sama kamera. Waktu belajar teorinya enak banget, seru rasanya jadi tahu banyak tentang dunia jurnalis. Tapi begitu mulai magang jadi wartawan dan ditempatin di media mulai deh kebingungan. Kebetulan aku ditempatin di media cetak Analisa. Teman-teman yang lain semuanya ditempatin di media online, kadang suka ngiri liat mereka mudah banget dinaikin beritanya. Lah, aku telat ngirim dikit aja sudah lewat nggak bisa dimuat lagi. Dan selama 2 minggu aku magang di situ, cuma 11 kali aku mengirim berita dan cuma 5 berita yang dimuat. Dapatin berita segitu rasanya perjuangan banget. Pertama, aku bukan orang yang suka ngukur jalan (jalan-jalan nggak jelas). Kedua, aku nggak punya insting wartawan yang kalau liat sesuatu langsung deh dijadiin berita. Ketiga, aku nggak dikasih ngeliput berita-berita ceremonial atau berita yang sedang diliput oleh wartawan lainnya, bingung nggak tuh? Jadilah selama magang, aku mikirin masalah apa kira-kira yang bisa aku angkat ke publik. Dan rata-rata yang dimuat soal "masalah ekonomi masyarakat kecil".
Makanya aku bilang antara teori dan praktek itu sangat jauh berbeda. Pintar teori belum tentu akan pintar juga dalam prakteknya, begitu juga sebaliknya. Dan besok rencananya kita mulai ngambil gambar tapi masalahnya anak cowoknya pada mau main futsal jadilah kami (anak-anak cewek) yang harus ngambil gambar. Apa yang harus kami lakukan dengan kamera dan tripod besok? I dont know, we will see :(