Selama kurang lebih enam tahun ia hidup dalam kebencian pada mereka, malam-malam penuh gelisah yang harus terus dilaluinya, ia juga bekerja selama 18 jam sehari di perusahaan untuk pelampiasan agar melupakan semua kejadian buruk itu. Dan hanya waktu yang mampu mengatasi pengalaman pahit itu, hanya dengan berdamailah maka ia bisa melewatinya. Hingga suatu ketika mereka datang lagi, gadis pujaan hatinya dan suaminya yang tak lain adalah sahabatnya dulu. Mereka datang mengunjungi apartemennya, tidak hanya itu, tetapi mereka juga membawa dua buah cinta mereka yang ceria dan riang. Dua malaikat kecil itulah yang sedikit demi sedikit mencairkan luka hatinya itu, kebenciannya pada mereka perlahan memudar karena kehadiran dua malaikat itu yang riang dan ceria. Cerita ini berlatar belakang di kota Lombok, tepatnya di Gili Trawangan. Di sini juga diselipkan kejadian bom Bali yang merenggut nyawa sahabatnya, Nathan. Kematian sahabatnya itu membuatnya meninggalkan acara pertunangannya dan meninggalkan kehidupannya yang super sibuk di Jakarta. Dia mulai menetap di Gili Trawangan dan mengurus resor milik keluarga Rosie dan juga mengurus anak-anak mereka. Sedangkan Rosie yang terlalu terluka karena ditinggal pergi Nathan mengalami depresi berat. Selama kurang lebih dua tahun harus menjalani rehabilitasi mental dan tinggal di shelter di Bali. Praktis, Tegar yang mengambil peran sebagai paman, om, ayah, ibu untuk mereka hingga ikatannya dengan anak-anak itu begitu kuat. Membaca novel ini, aku seperti ikut merasakan juga perasaan anak-anak itu yang kehilangan ayah mereka karena bom sialan itu. Bom yang mengatasnamakan jihad. Sungguh, Islam tidak mengajarkan hal keji seperti itu. Apalagi membunuh orang yang tidak bersalah. Dan jujur aku sedih sekali ketika bom dan teroris itu selalu dikaitkan dengan islam. Dari sini harusnya mereka belajar bahwa tidak seharusnya mereka melakukan perbuatan keji_membunuh orang asing dengan bom_dengan alasan jihad, apakah pernah terpikir bagaimana perasaan keluarga mereka yang ditinggalkan? Pernah merasakan bagaimana dampaknya pada masyarakat Bali saat itu? Turis-turis asing kembali ke kampung halamannya dan enggan ke Bali, pemasukan devisa berkurang, pemasukan warga setempat dari tempat-tempat wisata yang biasanya ramai dikunjungi turis jadi berkurang. Bisakah dihitung berapa banyak kerugian yang mereka dapatkan hanya karena alasan "jihad islam" yang salah kaprah. Belum lagi yang paling parah, luka trauma dan gangguan psikis yang mereka terima pasca kejadian itu.
Baiklah, aku tidak ingin mengurai lebih jauh biarlah hati nurani yang menjawabnya sendiri.
Pada akhirnya cerita-cerita itu mengungkap misteri yang selama ini tersimpan. Kesempatan yang ia yakini tidak pernah ada untuknya sebenarnya bukannya tidak pernah ada tetapi justru dia yang tidak pernah memberi kesempatan itu ada. Di sini kita akan belajar pemahaman dan pengertian yang berbeda tentang makna kesempatan dan kehidupan. Tere liye selalu mampu memberikan motivasi dalam kalimat-kalimat yang dirangkainya. Rangkaian kalimatnya pun menggunakan bahasa yang indah dan enak dibaca serta mudah dipahami. Masih banyak lagi buku-buku karangannya yang lain seperti "Daun yang jatuh tak pernah membenci angin", "berjuta rasanya", "negeri para bedebah", "negeri diujung tanduk" dan banyak lainnya. Aku akan membaca semuanya, ditunggu ya cerita-ceritaku selanjutnya.
Beberapa kalimat yang aku suka dari novel ini, yaitu:
Selamat pagi.
Bagiku waktu selalu pagi. Diantara potongan dua puluh empat jam sehari, bagiku pagi adalah waktu paling indah. Ketika janji-janji baru muncul seiring embun menggelayut di ujung dedaunan. Ketika harapan-harapan baru merekah bersama kabut yang mengambang di persawahan hingga nun jauh di kaki pegunungan. Pagi, berarti satu hari yang melelahkan telah terlampaui lagi. Pagi, berarti satu malam dengan mimpi-mimpi yang menyesakkan terlewati lagi; malam-malam panjang, gerakan tubuh resah, kerinduan dan helaan napas tertahan.