Selasa, 19 November 2013

Open-Minded

Malam senin lalu (17/11/2013), digelar acara Grand Final pemilihan Duta Wisata Indonesia di Gedung AAC Dayan Dawood, dimulai pada pukul 19.30 wib. Sejak pukul 7 aku sudah sampai di gedung tersebut. Sebenarnya nggak ada rencana juga untuk pergi, karena awalnya teman aku bilang kalau acaranya akan diadakan di hermes hotel. Tapi tiba-tiba aja teman aku bbm kalau ternyata acaranya di gedung AAC Dayan Dawood dan MC nya itu Indra Bekti, makin semangat dong mau nonton, apalagi juga jaraknya nggak jauh dari rumah. Acara ini dihadiri oleh duta-duta wisata dari daerah lainnya juga dan kali ini giliran Aceh yang berkesempatan menjadi tuan rumahnya. Yang paling menarik adalah saat Ketua Umum Yayasan Duta Wisata Indonesia membuka acara tersebut. Dia bercerita tentang daerahnya yaitu Bali, yang setiap tahunnya dikunjungi oleh para wisatawan sekitar 7 juta jiwa, sedangkan jumlah penduduknya sendiri hanya sekitar 3,5 juta jiwa. Tanpa perlu melakukan promosi pun para wisatawan akan selalu datang membanjiri Bali. Hal ini yang paling utama disebabkan karena masyarakat Bali yang terbuka terhadap para pendatang.
Mendengar itu, aku tahu bahwa inilah yang sampai saat ini menjadi kendala bagi Aceh untuk bisa menjadi destinasi wisata khususnya wisata bahari. Padahal tempat-tempat wisata bahari di Aceh tidak kalah cantiknya, seperti yang terkenalnya Sabang, pantai Lampuuk, atau Lhoknga. Tapi masih banyak tempat wisata bahari lainnya yang nggak kalah cantiknya. Seperti pantai Pasir putih, air terjun Lhoong, Danau Laut Tawar, Pulau Bunta, dan banyak lainnya. Daerah Wilayah Barat Selatan juga tidak kalah terkenal dengan wisata baharinya. Dulu sebelum tsunami, saat rumah nenekku di daerah Aceh Jaya masih ada, aku paling suka bermain ke pantai, menikmati suasana pagi dan sunsetnya. Apalagi pantai di sana (dulu) masih begitu alami, belum terjamah oleh tangan-tangan manusia. Pantainya bersih dari sampah, airnya biru, pasirnya putih. Suara ombaknya terdengar sampai ke rumah nenek, I really miss the moment :(

Nah, balik lagi ke statement Bapak itu, aku kembali teringat bahwa yang menjadi kendala yang membuat banyak orang merasa enggan ke Aceh adalah karena kurangnya keterbukaan masyarakat terhadap budaya-budaya barat/asing. Hal ini bisa dilihat ya, kalau ada orang-orang yang agak berbeda dari kita, katakanlah tidak menggunakan jilbab atau melihat turis asing pasti langsung dilihatin kayak sesuatu yang "aneh" atau "berbeda". Kadang fenomena ini sendiri membuat aku bingung, apalagi kalau ada orang-orang di sekitar aku yang melakukan hal itu, maksud aku ya zaman sudah modern tapi kok masih mempermasalahkan hal-hal seperti itu. Bagus dong kan kalau banyak turis yang datang jadi bisa menambah pemasukan daerah, juga menjadi momen untuk kita memperkenalkan budaya-budaya Aceh kepada orang luar. Selain itu juga banyak rumor negatif tentang Aceh. Ada teman dekat aku, Mila, dia anak Medan. Dia mendengar kalau di Aceh itu ada petugas Wilayatul Hisbah (WH) yang bertugas untuk menangkap orang-orang yang berpakaian ketat dan tidak menggunakan jilbab. Makanya saat dia melanjutkan kuliah di sini, dia datang dengan menggunakan pakaian yang (maaf-maaf kata nih) seperti emak-emak tahun 1980-an :D 
Hal ini juga sempat aku tanyakan padanya tentang pakaian yang "you know lah", dan dia bilang karena takut ditangkap WH makanya menggunakan pakaian seperti itu. Memang banyak orang luar yang berpikiran seperti itu, tapi kenyataannya di Aceh kami memang memakai jilbab dan menutup aurat tapi tetap bisa bergaya modis ala-ala hijabers. Mungkin terakhir yang bisa aku bilang bahwa sebaik atau sebagus apapun strategi yang dilakukan pemerintah dalam menarik wisatawan datang ke Aceh, jika kendala utamanya (masyarakat yang tidak open-minded) masih belum bisa dihilangkan maka agak sulit untuk meningkatkan jumlah wisatawan. Karena ketika kita datang ke suatu tempat yang paling menyenangkan adalah selain bisa menikmati suasana di tempat tersebut, juga keramahan dan keterbukaan masyarakatnya yang menjadi daya tarik tersendiri.

Tidak ada komentar: