Minggu, 06 Juli 2014

99 Cahaya di Langit Eropa oleh Hanum Salsabiela

Pertama kali aku ingin membaca buku itu karena tulisan "best seller" di cover depannya. Entah kenapa kalau udah ada tulisan "best seller" seperti ada jaminan bahwa buku itu pasti bagus untuk dibaca, yah walaupun  sebenarnya nggak semua begitu tapi paling tidak itu menjadi salah satu tolak ukur. Kemudian alasan kedua adalah karena buku itu juga sudah difilmkan ke layar lebar. Itu semakin menambah rasa keingintahuanku untuk membacanya dan tentunya juga didukung oleh sinopsis di belakang buku yang memang menarik. Buku ini diberi judul "99 cahaya di langit Eropa". Sesuai dengan judulnya, buku ini adalah buku yang menceritakan perjalanan spiritual penulis dalam menapaki jejak Islam di Eropa. Sebuah perjalanan mencari cahaya Islam di seluruh penjuru Eropa. Di dalam buku ini, aku mendapatkan banyak sekali informasi yang belum pernah aku ketahui sebelumnya tentang pasang-surut Islam, dan cerita itu mengalir dari bangunan-bangunan peninggalan dari masa ke masa yang menjadi saksi bisu kemajuan dan kemunduran Islam. Diceritakan bagaimana dulu pengaruh Islam di Eropa saat Islam mencapai puncak kejayaan hingga saat ini kemunduran Islam yang hanya menyisakan kenangan-kenangan pada bangunan-bangunan tersebut. Cerita ini adalah kisah perjalanan penulis yaitu Hanum Salsabiela Rais bersama suaminya, Rangga Almahendra. Hanum yang mengikuti suaminya yang sedang menempuh pendidikan Doktoral di Wina, Austria, mencoba mencari potongan demi potongan keterkaitan antara Eropa dan Islam pada masa lalu. Mungkin banyak yang tidak pernah menduga bahwa Eropa yang mayoritas beragam Katolik juga banyak warganya yang Atheis, akan tetapi dulunya pernah bersinggungan dengan Islam, berkaitan erat. Informasi-informasi itu diramu dengan apik oleh penulis sehingga menghasilkan tulisan yang sangat menarik, cerita sejarah yang biasanya membosankan dibuat dengan bahasa yang lebih menarik sehingga lebih mudah dipahami dan enak dibaca. Informasi apa saja yang saya dapatkan? 

Tahukah kalian bahwa roti croissant yang ada di Austria berbentuk bulan sabit? Roti itu dibuat berbentuk bulan sabit sebagai simbol kekalahan Turki terhadap Austria pada masa pemerintahan Turki Ottoman. Di Wina, agama mayoritas yang dianut masyarakat adalah Kristen Katolik, maka jangan heran jika kalian ke sana maka akan sangat susah menemukan mesjid, karena berbeda dengan di Indonesia yang sangat mudah menemukan mesjid, di Wina mesjid hanya ada satu-satu dengan letaknya yang berjauhan antara satu dan lainnya. Kebanyakan warga muslim di sana jika ingin shalat hanya di ruang-ruang atau langgar kecil. Saat tiba waktu shalat pun sangat susah menemukan suara muadzin yang mengumandangkan azan, sangat berbeda dengan di sini. Di situlah tantangan masyarakat muslim di sana. Mungkin bagi kita yang hidup di negara dengan jumlah populasi muslim terbesar melakukan ibadah bukanlah hal yang sulit tapi bagi muslim di sana yang menjadi minoritas sangat susah sekali bagi mereka melakukan ibadah seperti kita. Karena tidak semua orang bertoleransi pada agama kita. Misal, seperti Rangga yang pernah ditegur oleh atasannya karena beribadah salat di ruangannya. Karena mereka melarang membawa-bawa agama dalam lingkungan kampus, kampus harus netral dari isu-isu agama. Aneh bukan? Tapi itulah tantangan yang harus dihadapi oleh warga muslim sehari-harinya di sana. 

Di sini juga diceritakan tentang Cordoba di Spanyol, di sana ada sebuah bangunan yang dulunya mesjid tetapi kini telah diubah menjadi sebuah gereja, namanya Mezquita. Mesjid ini diubah menjadi gereja karena kekalahan kekhalifahan Islam di Granada, akhirnya pemerintahan diambil alih oleh Isabella dan Ferdinand. Dalam kurun waktu 10 tahun setelah Granada takluk, Isabella dan Ferdinand memerintahkan pembaptisan massal pada seluruh penduduk baik Islam maupun Yahudi. Sejak saat itu penggunaan bahasa arab dilarang keras, tradisi-tradisi yang berbau arab dihilangkan dan yang paling agresif adalah pembentukan kepolisian untuk mengawasi muslim dan Yahudi yang sudah "terpaksa" berpindah agama. Makanya tak heran jika kalian pergi di jalan-jalan terutama pasar-pasar Spanyol, para penjual daging babi gantung ada dimana-mana. Petugas kepolisian bertugas memastikan tidak ada warga Spanyol yang memeluk Islam atau Yahudi secara diam-diam. Mereka memaksa setiap warga untuk berjualan babi dan mendemonstrasikan memakan babi di depan mereka. 

Dan kalian tahu agama apa yang paling besar dipeluk di Eropa ini? Bukan katolik dan kristen, tetapi ateisme dan sekulerisme. Ketidakpercayaan mereka terhadap tuhan karena melihat banyaknya orang-orang yang berselisih karena agama, perang agama, dan semacamnya, hal itu membuat mereka semakin tidak percaya akan tuhan. Hmmmmmm 😔😣

Tahukah kalian apa perbedaan Islam yang dulu mencapai masa kejayaan dengan Islam yang sekarang mengalami kemunduran? Bedanya adalah Islam dulu menggabungkan antara agama dan sains (pengetahuan). Bisa dilihat kan dahulu banyak sekali orang-orang Islam yang hebat dalam ilmu pengetahuan, sebut saja Ibnu sina, Ibnu Rushd, dan banyak lagi. Dulu, Islam disebarkan dengan cara yang sangat indah, dengan berperilaku mulia dan lewat ilmu pengetahuan.
Seribu tahun Islam bersinar, lalu pelan-pelan memudar. Kenapa?
Penulis mengatakan bahwa karena sebagian umat Islam sudah mulai melupakan apa yang telah diperdengarkan Jibril kepada Muhammad saw. pertama kali. Karena kita terlalu sibuk bercumbu dengan kata jihad yang salah dimaknai dengan pedang, bukan dengan perantara kalam (pengetahuan).

Coba lihat sekarang apa yang terjadi pada Islam? Islam selalu saja dikaitkan dengan kekerasan, teroris, poligami, dan banyak stigma-stigma negatif lainnya yang sengaja dibangun untuk memperburuk citra Islam. Coba kita lihat di Indonesia, perilaku orang-orang Islam saat ini bagaimana? Tidak menampilkan budi pekerti yang baik, seakan-akan memang seperti itulah Islam. Padahal Islam yang sebenarnya adalah mengajarkan hal-hal terpuji, mengajarkan berbuat baik, berlaku santun, berbudi pekerti. Itulah yang dilakukan masyarakat Islam Turki di Austria saat ini, mereka menyebarkan Islam dengan cara yang indah, dengan senyuman, dengan menebar kebaikan, maka tak heran jika sekarang jumlah muslim di Austria berangsur-angsur jumlahnya semakin banyak walaupun masih menjadi minoritas. Tetapi itulah sebenarnya yang harus kita lakukan "menjadi agen muslim yang baik". 

Mengajak itu tidak perlu dengan kekerasan, pemaksaan, tapi dilakukan dengan mencontohkan perilaku-perilaku yang baik dan positif. Tularkan nilai-nilai keislaman ke seluruh dunia agar mereka tahu betapa indahnya Islam. Dalam buku itu, Hanum menceritakan tentang temannnya, Fatma, seorang wanita Turki yang tinggal di Wina, dia selalu mengatakan bahwa dia ingin menjadi agen muslim yang baik. Bahkan suatu waktu saat mereka duduk di sebuah cafe, ada sekelompok turis yang mengobrol sambil mengejek-ejek Muslim Turki. Fatma mendengarnya tetap tenang walaupun dalam hati ia marah, kemudian yang dia lakukan setelah itu bukan melabrak dan menasehati para turis itu tetapi dia justru membayari semua makanan para turis itu dan menuliskan pesan pada mereka di secarik kertas dan menitipkannya pada pelayan, tulisannya begini, "Hi, I am Fatma, a muslim from Turkey". Lalu dia juga menulis alamat emailnya di situ. 

Dan beberapa waktu setelah kejadian itu, salah seorang dari mereka mengirim email ke alamat yang ditulis Fatma, emailnya begini,  "Hi Fatma, nice to know you. Thanks for the treat in Kahlenberg cafe. We're really looking forward to treat you back someday. Hope to see you soon. It took me quite sometime to send out this e-mail to you because I had no idea how to express my regret, Are you a muslim? Thank God, I think we could be penfriends and I'll tell the world that my best penfriend is a Muslim? Write me back. Paul.
PS: I do hate croissant anyway, because... I love kebab most!

You see? Kebaikan justru membuat mereka (non muslim) tersentuh, bukan diskusi agama yang tak kunjung selesai, bukan jihad yang salah kaprah, bukan ceramah, tapi akhlak yang baik. Karena akhlak tidak berbicara tapi maknanya jauh lebih besar daripada sekedar berbicara.

Ada juga perjalanan penulis di Istanbul, Turki. Jika di Spanyol ada Mezquita, mesjid yang diubah menjadi gereja, maka di Turki ada Hagia Sophia. Hagia Sophia adalah Katedral Byzantium terbesar di Eropa yang kemudian menjadi mesjid. Ini bukti jatuhnya Konstantinopel ke tangan Dinasti Ottoman.

Selama ini setiap ada yang menyebut kata Belanda pasti langsung kita kaitkan dengan kincir angin dan bunga tulip. Tapi tahukah kalian bahwa ternyata Tulip sudah lebih dahulu menjadi ikon pariwisata di Turki. Tulip itu adalah bunga asli Anatolia Turki dan sebagian Asia Tengah. Tulip menjadi semakin populer saat Ottoman melancarkan invasi ke negara-negara Eropa. Termasuk ketika kapal-kapal Ottoman berlabuh di Belanda. Tidak ada satu pun yang melirik tulip untuk dikembangkan kecuali Belanda. Di Belanda lah kemudian bunga-bunga itu dikembangkan menjadi lebih menarik dalam berbagai warna karena peran teknologi. Nah, itu aja sedikit gambaran yang bisa aku bagikan, yang pasti buku ini sangat menarik dan sangat bagus untuk dibaca.

Selasa, 01 Juli 2014

Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karangan Tere Liye


Kemarin sore aku mulai membaca buku karangan Tere Liye yang lain. Ini adalah buku ketiganya yang aku baca setelah "Hafalan shalat Delisa" dan "Sunset bersama Rosie". Judul bukunya ini yaitu "Daun yang jatuh tak pernah membenci angin". Membaca judul ini awalnya membuat aku sangat tertarik dan juga penasaran akan seperti apa isinya. Apalagi aku juga sering membaca penggalan kalimat yang ada dalam novel ini yang ditulis beberapa orang di media sosialnya. 

Kalimatnya begini :
"Orang yang memendam perasaan sering kali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta"

Ya, memang terkadang saat kita menyukai seseorang, kita selalu mencari pembenaran bahwa dia juga menyukai kita, mengumpulkan kejadian-kejadian dan memaksakannya menjadi seperti yang kita inginkan. Walaupun itu hanya ilusi tapi kita membuatnya menjadi begitu nyata hingga akhirnya kita harus menelan pil pahit bahwa ternyata itu benar-benar hanya sebuah ilusi, sebuah kebohongan yang menjerat diri sendiri. Ketika jatuh cinta, kita tidak lagi bisa membedakan mana simpul yang nyata dan yang dusta. Kadang simpul yang nyata terlihat seperti dusta dan terkadang pula simpul yang dusta terlihat seperti benar-benar nyata.

Dan ada satu lagi kalimat yang paling aku sukai :
"Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun... Daun yang tidak pernah membenci angin meski harus terengggutkan dari tangkai pohonnya"

Hal itu semakin membuat aku penasaran. Hanya dalam beberapa jam saja novel ini selesai aku baca, hebat bukan? Yap, namanya juga penasaran, nggak heran aku bisa membacanya secepat itu. Apalagi jalan cerita dan bahasanya enak dibaca, dan ketika membacanya, aku seperti ikut tersedot dalam buku ini, seperti sedang menyaksikan kejadian ini dengan mata kepalaku sendiri. 

Pertama aku tidak mengerti makna dari kalimat "Daun yang jatuh tak pernah membenci angin" tapi setiap halaman demi halaman buku ini aku buka hingga sampailah pada halaman terakhirnya, aku baru mengerti makna dari kalimat itu. Mungkin juga maknanya menjadi berbeda dengan apa yang dipahami penulis ataupun pembaca yang lain, namun manusia memang begitu kan, selalu punya pandangan dan pendapat yang berbeda dengan manusia lainnya. Karena itulah yang membuat hidup ini menjadi lebih indah. Tidak monoton hanya hitam dan putih, tapi juga ada banyak warna lain seperti merah, kuning, hijau, biru, nila, ungu, dan jingga.

Cerita ini menceritakan tentang dua orang kakak beradik yang setiap harinya mengamen dari satu kendaraan umum ke kendaraan umum lainnya, bermain dengan pekatnya matahari dan debu jalanan setiap hari. Mereka tinggal bersama ibunya di sebuah rumah kardus di bantaran kali. Karena tak punya cukup uang untuk membayar sewa kontrakan, rumah kardus menjadi pilihan terbaik untuk mereka. Kedua kakak beradik itu pun terpaksa berhenti mengenyam pendidikan karena ketiadaan biaya. Jangankan untuk sekolah bahkan untuk makan sehari-haripun susah. Mereka mengamen ke sana kemari hingga larut malam tanpa mengenakan alas kaki. Bagaimana mungkin mereka bisa memakai alas kaki jika untuk makan pun mereka tak punya. Hingga suatu hari saat sedang mengamen di bus, tidak sengaja kaki sang kakak terinjak paku payung yang ada di dalam bus hingga mengalirlah darah segar dari kakinya yang tidak beralaskan itu. Di saat semua penumpang bus bersikap acuh dan tak peduli, muncullah tangan seorang pria berusia dua puluhan mengulurkan sebuah sapu tangan. Dan sejak hari itu pria itu benar-benar menjadi malaikat bagi keluarga mereka. Bagaimana tidak, pria itu sangat banyak membantu mereka dan menjadi bagian terpenting dalam hidup kakak beradik itu. Mulai dari membelikan sepatu untuk mereka supaya bisa berlari ke sana kemari dengan nyaman, membiayai mereka untuk kembali bersekolah, memberi uang setiap bulan pada ibu mereka untuk kebutuhan sehari-hari. Singkat kata, pria itu telah membantu mengatasi kesulitan hidup mereka. Mereka yang tadinya hanya bisa tinggal di rumah kardus tanpa listrik kini sudah bisa menyewa sebuah kontrakan sederhana, bisa bersekolah dan belajar dengan baik. Mereka juga anak-anak yang cerdas. Setiap hari pria itu selalu mengunjungi mereka. Hingga suatu hari musibah menghampiri mereka, ibu yang mereka sayangi ternyata mengidap kanker stadium IV dan meninggal beberapa hari kemudian. Dari anak-anak yang riang mereka kembali menjadi anak yang pemurung. Namun hal itu tidak berlangsung lama karena pria itu selalu bisa membuat mereka kembali ceria dengan caranya sendiri. Menariknya adalah sang kakak yang bernama Tania ternyata diam-diam mulai menyukai malaikat penolong mereka, menyukai pria itu yang bernama Danar. Hingga semakin ia dewasa rasa cinta itu semakin mekar. Apalagi sejak Danar mengenalkan kekasihnya, Tania begitu dimakan cemburu. Sepeninggal ibunya, Tania mendapatkan beasiswa melanjutkan SMP di Singapura. Hingga bertahun-tahun setelahnya, ia juga mendapatkan beasiswa melanjutkan sampai ke jenjang kuliah di Singapura. Dan ia pun bekerja di sana. Dia anak yang amat berprestasi. Namun perasaan cintanya pada Danar sudah terlampau dalam, dia tidak pernah mau membuka hatinya untuk lawan jenis seumurnya. Dia tidak peduli dengan perbedaan usia 14 tahun antara dia dan Danar. Dia tidak peduli semuanya karena yang dia tahu bahwa dia mencintai Danar sepenuh hati.
Endingnya bagaimana? Jangan bayangkan jika buku ini akan berakhir happy ending seperti buku-buku novel kebanyakan. Mungkin ini juga yang membuat aku menyukai buku-buku karangan Tere Liye. Karena dia tidak pernah menjanjikan akhir cerita yang bahagia, akhir cerita yang diinginkan semua orang dimana pemeran utama pria dan wanita bersatu. Dia hanya menyuguhkan berdasarkan realita yang sering terjadi bahwa cinta tak selalu harus memiliki. Mungkin dari kalimatku itu kalian tahu bahwa mereka pada akhirnya tidak bersama walaupun setiap potongan teka-teki hidup Tania perlahan-lahan terjawab, ternyata Danar juga diam-diam menyukainya. Namun sampai akhir cerita ini penulis tidak mengatakan mengapa Danar kemudian memilih menikahi Ratna, wanita yang tidak dia cintai. 

Hanya saja penulis sempat menuliskan begini:
"Bagi pria, dan itu sama saja dengan kebanyakan wanita, menikah tidak selalu harus dengan seseorang yang kau cintai. Menikah adalah pilihan rasional. Berkeluarga untuk lelaki postmodern seperti dia tidak semata-mata urusan cinta-mencintai..."

Aku juga tak begitu mengerti apa maksudnya tapi mungkin kurang lebih adalah bahwa orang dewasa memiliki pemikiran yang jauh lebih luas daripada remaja. Orang dewasa tidak seimpulsif para remaja yang ketika dia menyukai seseorang maka harus buru-buru diungkapkan. Orang dewasa walau secinta apapun dia pada seseorang tetapi tetap berpikir rasional, tidak melulu mengedepankan perasaan. Bisa jadi dalam cerita ini, Danar memilih menikah dengan wanita lain karena tahu akan perbedaan usianya dan Tania yang terpaut jauh, mungkin juga ia takut jika ia mengutarakan perasaannya yang sebenarnya pada Tania akan membuat Tania serba salah atau menganggap harus membayar utang budi, atau bisa jadi karena ia melihat Tania tumbuh menjadi gadis yang cantik, pintar, dan dewasa sehingga dia tidak mau merusak kebahagiaan gadis itu dengan perasaannya. Mungkin ia ingin Tania bisa berpasangan dengan orang yang lebih baik darinya di kemudian hari. Atau mungkin ada ratusan bahkan ribuan alasan lain yang membuatnya bersikap demikian. Namun itulah orang dewasa dengan sejuta pemikirannya yang pelik dan sulit dimengerti. Namun lagi-lagi Tere Liye bisa membimbing dan mengajarkanku bahwa cinta tidak melulu harus memiliki. Dan untuk bahagia maka menikahlah dengan orang yang benar-benar mencintaimu, jangan menikah dengan orang yang tidak mencintai kita (para wanita) karena walau diluar kehidupan pernikahan tampak bahagia dan nyata namun sebenarnya hanya sebuah kamuflase yang mengelabui banyak orang. Karena pernikahan sekali seumur hidup, bukan masa pacaran singkat yang apabila sudah bosan maka dengan mudah bisa berkata putus dan meninggalkan. Maka pikirlah sedewasa dan sebijak mungkin sebelum memutuskan menikah karena pernikahan ideal bukan seperti pernikahan para selebriti kita yang baru setahun dua tahun menikah lalu bercerai. Menikah tak semudah itu, teman. Karena bukan hanya menyatukan dua hati, dua perbedaan, atau mungkin dua budaya, tapi juga menyatukan dua keluarga, menyatukan dua orang yang tadinya "aku, kamu" menjadi "kita atau kami". Pernikahan adalah berharap mendapat sakinah, mawaddah, dan warahmah. Aib suami menjadi aib istri jadi tidak seenaknya mengumbar aib suami sendiri pada orang lain. Kekurangan suami juga kekurangan istri. Jangan hanya mencintai kelebihannya tapi cintai juga kekurangannya. Pupuklah cinta itu agar mekar setiap hari, jangan hanya mekar setahun, lalu layu berpuluh tahun kemudian. Buku ini mengajarkan banyak hal bahwa ketika mencintai seseorang bersikaplah seperti daun, tidak peduli seberapa kencang angin meluruhkannya, ia merelakan dirinya luruh ke bumi, tak melawan, mengikhlaskannya, penerimaan yang indah.

Minggu, 29 Juni 2014

Sunset Bersama Rosie Karya Tere Liye


Alhamdulillah, dua hari ini aku telah selesai membaca novel "Sunset Bersama Rosie" karangan Tere Liye. Akhir-akhir ini aku jadi keranjingan membaca buku lagi. Setelah beberapa tahun belakangan agak malas karena lebih sering menonton film baik Barat maupun Korea, dan lain-lain. Sebenarnya keinginan untuk membaca buku lagi bisa dibilang karena dorongan seringnya membuka fanpage fb nya Tere Liye. Dalam fanpage itu, dia selalu menuliskan kalimat-kalimat penuh inspiratif, kalimat-kalimat  pemuas dahaga, penyejuk kehidupan yang sarat makna, dia selalu punya cara menceritakan kisah-kisah dengan cara dan sudut pandang yang berbeda sehingga memberi pemahaman dan pengertian yang juga berbeda tentang hidup, tentang perasaan, dan tentang cinta. Dalam novel "Sunset Bersama Rosie" itu Tere Liye mengajak para pembaca terhanyut dalam alur cerita yang menarik, bahasa yang mudah dimengerti, dan memainkan emosi para pembaca sehingga ketika kita membaca buku itu, kita juga seakan ikut terhanyut dalam tiap adegan dalam cerita tersebut. Buku itu menceritakan tentang makna sebuah kesempatan. Tentang seorang pria bernama Tegar, yang sudah memendam perasaan cintanya selama dua puluh tahun pada gadis pujaan hatinya. Suatu ketika saat ia ingin memberanikan diri mengungkapkan perasaannya itu, dia pun mengajak pujaan hatinya, Rosie, mendaki Gunung Rinjani, Lombok. Tidak hanya pergi berdua, untuk mengurangi ketegangan apabila perasaannya ditolak, lelaki itupun mengajak sahabatnya, Nathan, ikut pergi menemani. Namun malang benar nasib lelaki itu, ternyata sahabatnya, Nathan_yang baru mengenal pujaan hatinya dua bulan belakangan_ juga menyukai Rosie. Dan hebatnya, sahabatnya telah lebih dulu menyatakan cinta pada gadis pujaannya itu dan mendapat respon positif dari gadis itu, yang merupakan sahabatnya dari kecil, sejak 20 tahun silam. Menyaksikan hal itu, Tegar yang baru sampai di puncaknya kembali turun terburu-buru tanpa sepengetahuan mereka. Ia pun menghilang pergi dan menjauh dari kehidupan mereka. Rasanya sungguh tidak adil, cintanya yang ia pendam selama 20 tahun pada sahabatnya itu kalah dengan waktu 2 bulannya Nathan mengenal Rosie. Hanya karena ia yang terlalu lama membiarkan kesempatan itu tak kunjung datang.
Selama kurang lebih enam tahun ia hidup dalam kebencian pada mereka, malam-malam penuh gelisah yang harus terus dilaluinya, ia juga bekerja selama 18 jam sehari di perusahaan untuk pelampiasan agar melupakan semua kejadian buruk itu. Dan hanya waktu yang mampu mengatasi pengalaman pahit itu, hanya dengan berdamailah maka ia bisa melewatinya. Hingga suatu ketika mereka datang lagi, gadis pujaan hatinya dan suaminya yang tak lain adalah sahabatnya dulu. Mereka datang mengunjungi apartemennya, tidak hanya itu, tetapi mereka juga membawa dua buah cinta mereka yang ceria dan riang. Dua malaikat kecil itulah yang sedikit demi sedikit mencairkan luka hatinya itu, kebenciannya pada mereka perlahan memudar karena kehadiran dua malaikat itu yang riang dan ceria. Cerita ini berlatar belakang di kota Lombok, tepatnya di Gili Trawangan. Di sini juga diselipkan kejadian bom Bali yang merenggut nyawa sahabatnya, Nathan. Kematian sahabatnya itu membuatnya meninggalkan acara pertunangannya dan meninggalkan kehidupannya yang super sibuk di Jakarta. Dia mulai menetap di Gili Trawangan dan mengurus resor milik keluarga Rosie dan juga mengurus anak-anak mereka. Sedangkan Rosie yang terlalu terluka karena ditinggal pergi Nathan mengalami depresi berat. Selama kurang lebih dua tahun harus menjalani rehabilitasi mental dan tinggal di shelter di Bali. Praktis, Tegar yang mengambil peran sebagai paman, om, ayah, ibu untuk mereka hingga ikatannya dengan anak-anak itu begitu kuat. Membaca novel ini, aku seperti ikut merasakan juga perasaan anak-anak itu yang kehilangan ayah mereka karena bom sialan itu. Bom yang mengatasnamakan jihad. Sungguh, Islam tidak mengajarkan hal keji seperti itu. Apalagi membunuh orang yang tidak bersalah. Dan jujur aku sedih sekali ketika bom dan teroris itu selalu dikaitkan dengan islam. Dari sini harusnya mereka belajar bahwa tidak seharusnya mereka melakukan perbuatan keji_membunuh orang asing dengan bom_dengan alasan jihad, apakah pernah terpikir bagaimana perasaan keluarga mereka yang ditinggalkan? Pernah merasakan bagaimana dampaknya pada masyarakat Bali saat itu? Turis-turis asing kembali ke kampung halamannya dan enggan ke Bali, pemasukan devisa berkurang, pemasukan warga setempat dari tempat-tempat wisata yang biasanya ramai dikunjungi turis jadi berkurang. Bisakah dihitung berapa banyak kerugian yang mereka dapatkan hanya karena alasan "jihad islam" yang salah kaprah. Belum lagi yang paling parah, luka trauma dan gangguan psikis yang mereka terima pasca kejadian itu. 
Baiklah, aku tidak ingin mengurai lebih jauh biarlah hati nurani yang menjawabnya sendiri.
Pada akhirnya cerita-cerita itu mengungkap misteri yang selama ini tersimpan. Kesempatan yang ia yakini tidak pernah ada untuknya sebenarnya bukannya tidak pernah ada tetapi justru dia yang tidak pernah memberi kesempatan itu ada. Di sini kita akan belajar pemahaman dan pengertian yang berbeda tentang makna kesempatan dan kehidupan. Tere liye selalu mampu memberikan motivasi dalam kalimat-kalimat yang dirangkainya. Rangkaian kalimatnya pun menggunakan bahasa yang indah dan enak dibaca serta mudah dipahami. Masih banyak lagi buku-buku karangannya yang lain seperti "Daun yang jatuh tak pernah membenci angin", "berjuta rasanya", "negeri para bedebah", "negeri diujung tanduk" dan banyak lainnya. Aku akan membaca semuanya, ditunggu ya cerita-ceritaku selanjutnya.

Beberapa kalimat yang aku suka dari novel ini, yaitu:

Selamat pagi.
Bagiku waktu selalu pagi. Diantara potongan dua puluh empat jam sehari, bagiku pagi adalah waktu paling indah. Ketika janji-janji baru muncul seiring embun menggelayut di ujung dedaunan. Ketika harapan-harapan baru merekah bersama kabut yang mengambang di persawahan hingga nun jauh di kaki pegunungan. Pagi, berarti satu hari yang melelahkan telah terlampaui lagi. Pagi, berarti satu malam dengan mimpi-mimpi yang menyesakkan terlewati lagi; malam-malam panjang, gerakan tubuh resah, kerinduan dan helaan napas tertahan.

Senin, 06 Januari 2014

Opini-Setitik Asa Generasi Muda

"Setitik Asa Generasi Muda" (Serambi Indonesia, 27 Oktober 2012)


Oleh Cut Liza Novita Sari

SUMPAH Pemuda merupakan satu tonggak sejarah dan bukti bahwa pada 28 Oktober 1928 Bangsa Indonesia dilahirkan. Proses kelahiran Bangsa Indonesia ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun hidup tertindas di bawah kekuasaan kaum kolonialis pada saat itu. Kondisi ketertindasan inilah yang kemudian mendorong para pemuda pada saat itu untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan martabat bangsa. Tekad inilah yang kemudian menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Hari sumpah pemuda diperingati setiap tahunnya pada 28 Oktober demi mengenang semangat juang para pemuda terdahulu yang dengan gagah berani memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Semangat yang berkobar melawan penjajah, sebuah pengakuan dari pemuda-pemudi Indonesia yang mengikrarkan bahwa satu tanah, satu bangsa, dan satu bahasa. Kini, setiap tahun kita memperingati Hari Sumpah Pemuda sebagai refleksi bahwasanya meskipun berbeda-beda suku, bahasa, ras, dan agama, tapi kita tetap satu, hidup di bawah payung yang sama, yaitu Negara Republik Indonesia. 

Sejak kemerdekaan penjajah sudah tidak ada lagi di negeri kita, tapi masih ada “penjajah-penjajah pribumi” yang harus kita lawan. Penjajah itu ialah mereka-mereka yang melakukan praktik korupsi kolusi dan nepotisme (KKN). Mereka adalah musuh yang harus kita berantas bersama. Praktik KKN yang terus terjadi telah merugikan negara hingga berdampak pada semakin suburnya persoalan kemiskinan yang dihadapi negara ini.

 Korupsi merajalela
Kita bisa melihat realita yang terjadi belakangan ini, bagaimana korupsi merajalela di negara kita. Bagaimana hukum begitu lemah dan tunduk pada penguasa. Negara kita adalah negara hukum. Tapi jika hukum tak bisa lagi menjadi pondasi yang kuat, apa mungkin rakyat bisa sejahtera? Ibarat sebuah rumah, hukum adalah pondasi, negara Indonesia adalah rumah, dan kita adalah penghuninya. Jika Pondasinya sudah tidak kuat, apakah rumah itu masih bisa berdiri kokoh? Apalagi jika terjangan angin dan badai kian kencang, maka rumah itu perlahan-lahan akan roboh dan hancur.

Bercermin dari sejarah masa lalu, kita bisa melihat bagaimana perjuangan para pemuda dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Meskipun mereka berasal dari berbagai daerah dan suku yang berbeda, mereka bisa menyatukan perbedaan-perbedaan itu demi mencapai cita-cita yang sama. Memaknai Hari Sumpah Pemuda adalah dengan mengingat kembali sejarah masa lalu untuk menumbuhkan kembali semangat perjuangan para generasi muda saat ini.

Ironisnya, masih banyak generasi muda kita yang lupa bahkan apatis dengan sejarah bangsa ini. Bagaimana kita bisa memaknai hari sumpah pemuda, jika sejarah yang melatarbelakangi hal itu terjadi pun kita tidak tahu. Mengenang sejarah merupakan salah satu langkah kecil dalam memaknai hari sumpah pemuda, juga dengan menumbuhkan semangat dan jiwa kebangsaan, serta keinginan bersatu yang tinggi. Seperti kata Bung Karno dalam setiap pidatonya, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” yang akhirnya dikenal istilah “Jasmerah”.

Realita yang kita hadapi kini adalah semangat para pemuda kian terkikis zaman. Persatuan dan kesatuan yang dulunya menjadi ruh perjuangan pemuda, sekarang telah berganti menjadi semangat individualis, primordialisme, dan etnosentrisme. Sebagai contoh, kini tawuran antar pemuda sesama anak bangsa semakin sering terjadi dan penyampaian aspirasi dilakukan secara anarkis yang mengganggu ketenangan dan ketertiban ditengah-tengah masyarakat.

Semangat primordialisme pun kian menguat, hingga tanpa sadar telah membangun sekat-sekat keberagaman dalam kehidupan berbangsa. Jika semangat kedaerahan itu terlalu berlebihan, maka dapat mengancam persatuan nasional dan menimbulkan perilaku etnosentrisme. Seperti yang dikatakan Matsumoto (1996) bahwa “Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri”. 

Sehingga terkadang etnosentrisme ini memunculkan sikap prasangka dan stereotype negatif terhadap etnis atau kelompok lain. Hal ini tentu saja akan berdampak pada menipisnya rasa persatuan dan saling memiliki dengan yang berbeda budaya. Tidak hanya itu, generasi muda juga mulai sering membuang-buang waktu dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak produktif, seperti duduk berjam-jam di warung kopi dan ketergantungan pada game online.

Memaknai hari sumpah pemuda dapat kita lakukan dengan banyak cara, seperti generasi muda yang menjalankan fungsinya untuk mengawasi kinerja pemerintah dan kebijakan-kebijakan yang diambil. Ketika hukum begitu lemah dan tak berkutik pada para penguasa, maka generasi muda harus menjadi pengawas dan penegak ketimpangan itu. Generasi muda tidak hanya berdiam diri dan menjadi penonton terhadap ketidakadilan dan praktik KKN yang terus terjadi.

 Harus lebih peka

Di samping itu, generasi muda juga berperan sebagai penyampai aspirasi masyarakat. Saat para wakil rakyat terbuai dengan jabatan dan kekuasaannya, maka di sinilah peran generasi muda, khususnya mahasiswa untuk bertindak sebagai penyampai aspirasi. Generasi muda harus lebih peka dan sensitif dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat saat ini. Lebih kreatif dan solutif dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi. 

Sebagai generasi muda kita harus ikut berkontribusi untuk membangun negara, seperti aktif di kegiatan-kegiatan yang berdampak positif di kampus dan masyarakat, serta mengembangkan potensi diri (skill) yang nantinya dapat berguna di masa mendatang. Selain itu, untuk menjalankan peran kita sebagai generasi muda, kita harus bisa menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada menjadi satu kesatuan yang utuh. 

Negara kita membutuhkan peran pemuda-pemudi untuk menumbuhkan kembali semangat sumpah pemuda dan nasionalisme yang kian memudar mengingat tantangan ke depan semakin berat dan kompleks. Momentum Sumpah Pemuda ini untuk mengingatkan kita kembali bahwa tidak boleh ada golongan yang merasa ditindas, dianaktirikan, atau diabaikan. Sumpah Pemuda harus melahirkan keadilan bagi seluruh warga negara tanpa ada diskriminasi.

Saya berharap dengan adanya Hari Sumpah Pemuda ini menjadi cermin bagi kita semua untuk berkaca seperti apa bangsa kita saat ini. Ke depannya, semoga pemuda-pemudi Indonesia dapat terus menjaga semangat persatuan dan jiwa nasionalisme untuk mewujudkan cita-cita bersama menuju Indonesia yang maju, adil, dan sejahtera.

* Cut Liza Novita Sari, Mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Email: azaazaliza92@yahoo.com

Editor : hasyim


Slide Powerpoint-Resensi-Tugas Kelompok

Resensi Film-Tugas Individu-Antara Keinginan dan Kenyataan

RESENSI FILM BATAS
Judul : Batas
Produser : Marcella Zalianty
Sutradara : Rudi Soedjarwo
Penulis :Slamet Rahardjo
Pemain : Marcella Zalianty, Arifin Putra, Piet Pagau, Jajang C Noer, Ardina Rasti, Otiq Pakis, Norman Akyuwen, Marcell Domits, Alifyandra, Tetty Liz Indriati.



Batas merupakan film yang menceritakan tentang seorang perempuan yang bernama Jaleswari, yang begitu ambisius dan totalitas dalam bekerja. Dia berani ditugaskan ke daerah pelosok Kalimantan yang terisolir dengan kondisi yang sedang hamil. Hal ini juga dilakukan untuk pelariannya melupakan kematian suami yang dicintainya, hingga ia berani mengambil segala resiko yang mungkin akan terjadi selama ia berada dalam daerah penugasan. Misinya yaitu untuk mencari tahu apa yang menjadi kendala sehingga program Corporate Social Responsibillity (CSR) di bidang pendidikan yang dilakukan oleh perusahaan tempatnya bekerja tidak berjalan dengan baik dan maksimal di Borneo, daerah perbatasan di pedalaman Kalimantan. Semua guru yang telah dikirim ke daerah perbatasan tersebut oleh perusahaannya, kembali lagi ke Jakarta dan hal ini berpengaruh terhadap proyek yang sedang dia jalankan. Hanya Adeus yang bertahan menjadi guru di sana, itupun karena dia adalah pemuda asli daerah itu. Untuk itulah, Jaleswari ditugaskan ke daerah tersebut untuk terjun langsung melihat sendiri apa yang terjadi sehingga program CSR perusahaannya tidak berjalan lancar. Kehidupan di pedalaman Kalimantan yang terisolir sangat jauh berbeda dengan kehidupannya di  Jakarta yang serba modern. Selain itu, masyarakat di sana juga memiliki cara pandang yang berbeda dalam memaknai arti garis perbatasan. Masyarakat Borneo lebih mementingkan anak-anaknya untuk bekerja daripada memperoleh pendidikan. Dengan segala kekurangan yang mereka miliki, mereka dihadapkan oleh sebuah perasaan apakah harus tetap tinggal di daerah kelahiran ataukah melewati batas perbatasan Indonesia-Malaysia untuk merasakan surga yang ditawarkan negara tetangga, ideologi bangsa pun diuji. Apalagi dengan batas teritori yang hanya ditandai dengan plang kecil, tanpa adanya pengawasan atau  monitor dari pemerintah, sehingga sangat mudah bagi mereka untuk keluar masuk perbatasan. Selama di sana, Jaleswari mengerti bahwa sistem pendidikan yang diinginkan perusahaannya tidak sesuai dengan keinginan masyarakat setempat.  Dia juga mengalami konflik batin saat berhadapan pada masalah kemanusiaan yang terjadi di daerah itu ataukah hanya terfokus pada misi awalnya yang ditugaskan oleh perusahaan. Persoalannya adalah masyarakat di sana lebih memilih bekerja daripada harus mengenyam pendidikan. Apalagi di sana ada Otik, salah seorang warga Borneo yang menginginkan warga di desa itu tetap bodoh, agar ia bisa dengan leluasa menjual perempuan-perempuan di tempat itu ke negara tetangga. Namun kehadiran Jaleswari yang penuh semangat dan optimistis telah membakar semangat anak-anak di sana, khususnya Borneo, untuk belajar. Tidak hanya itu, ia juga menularkan semangatnya pada Adeus, juga pada Panglima Galiong Bengker (Kepala Suku Dayak) untuk membuat warganya berpendidikan. Film ini juga mengajarkan tentang ideologi, bahwa realitanya banyak masyarakat Indonesia yang hidup di daerah perbatasan,  kemudian tergiur untuk hidup merantau ke negara sebelah yang lebih menjanjikan. Persoalannya adalah seberapa kuatkah kita untuk bertahan antara keinginan dan kenyataan. Selain itu film ini juga menampilkan sebuah daerah di pedalaman Kalimantan yang masih begitu kuat dengan nilai-nilai tradisional dan adat-istiadat yang kental, jauh dari peradaban dan kemajuan, dengan keterbatasan sarana dan prasarana, khususnya sarana pendidikan. Sebuah gambaran masyarakat dengan kondisi pendidikan yang sangat rendah. Para orangtua terkesan seperti membiarkan anak-anaknya tumbuh tanpa pendidikan, menganggap bahwa bekerja lebih penting daripada belajar, sebuah pemikiran yang sangat berbeda dari masyarakat kota. Tentunya mengubah cara pandang masyarakat yang seperti itu bukanlah hal yang mudah, butuh proses yang tidak sebentar dan tentunya dibutuhkan kesabaran dan pemahaman. Karena untuk bisa memahami orang lain maka harus dipahami dahulu cara berpikir orang tersebut. Padahal banyak anak di sana yang sebenarnya memiliki semangat untuk belajar dan bercita-cita tinggi, seperti Borneo misalnya, yang bercita-cita ingin menjadi presiden. Namun dengan kondisi daerah yang demikian, mereka tidak memiliki pilihan selain melakukan apa yang diharapkan orangtuanya. Terakhir adalah, film Batas ini memiliki makna batas yang beragam. Batas berarti sejauh mana batas seorang Jaleswari dalam mengenal lingkungan yang baru ia tinggali dan beradaptasi dengan segala perbedaannya, kemudian juga ada Adeus yang harus berhadapan dengan batas kemampuan dirinya dalam menghadapi masalah yang datang dari Otik, antara ingin memperjuangkan keinginan anak-anak untuk belajar ataukah menyerah pada tekanan-tekanan yang diberikan Otik untuk menghentikan langkahnya tersebut. Batas berarti  masyarakat yang hidup di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia. Batas berarti hidup dalam keterbatasan pendidikan, sarana-prasarana maupun fasilitas. Batas berarti keterbatasan untuk memilih antara keinginan atau kenyataan.  Dan batas berarti betapa budaya dan adat istiadat menjadi batas dalam menjalani hidup. Secara keseluruhan, batas menggambarkan bagaimana sekelompok orang yang berusaha untuk keluar dari batas kenyamanan diri mereka ketika dihadapkan pada sebuah tantangan maupun permasalahan supaya bisa terselesaikan dengan segera. 

Kritik-Tugas Individu-Batas Tak Berarti Terbatas

Jaleswari suatu ketika ditugaskan oleh pimpinan perusahannya untuk menyelidiki penyebab gagalnya kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan mereka di sebuah daerah terpencil di perbatasan Kalimantan.  Dengan durasi tayangan yang hampir mencapai dua jam, Batas mencoba menceritakan mengenai banyak hal. Sejak awal, film ini diceritakan dengan begitu kompleks, dengan berbagai kasus, mulai dari menceritakan sosok Jaleswari dengan semangat dan optimistisnya, kemudian juga ada cerita daerah perbatasan Kalimantan yaitu wilayah Entikong, yang begitu terisolir dengan kualitas pendidikan yang begitu memprihatinkan, kemudian juga pemikiran masyarakat di sana bahwasanya anak-anak lebih baik bekerja daripada belajar. Lalu ada Otik, seorang warga Borneo yang menginginkan warga-warga  di sana agar tetap bodoh dan apatis terhadap pendidikan, supaya memuluskan jalannya untuk bisa memperjualbelikan para wanita di wilayah itu ke negara tetangga.  Juga ada Adeus, satu-satunya guru di Desa itu yang merasa  tertekan dengan ancaman dari Otik yang melarangnya untuk mengajar anak-anak di desa tersebut. Ada masalah Kepala Adat Dayak dan mantan istrinya yang hubungannya sudah tidak rukun lagi sejak kematian anaknya, dan terakhir tentang misteri kejadian yang dialami Ubuh, wanita misterius yang ditemukan warga setempat di Hutan dengan luka traumatiknya yang luar biasa. Film ini menceritakan banyak sisi dan begitu kompleks. Dan untuk menceritakan rangkaian konflik tersebut dengan lancar tentunya bukanlah hal yang mudah. Beberapa kali “Batas” terlihat seperti kehilangan fokus dalam penceritaannya. Dari satu cerita beralih ke cerita yang lain, dan perlahan-lahan setiap misteri dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dibenak penonton yang melihat film ini mulai terbuka dan terjawab. Walaupun saya merasa ada sedikit kebingungan dalam memaknai beberapa adegan dikarenakan ceritanya yang memuat beberapa sudut pandang, sehingga ada beberapa plot yang seakan tidak terselesaikan dengan baik. Walaupun begitu, sutradara film ini, Rudi Soedjarwo, mampu menghadirkan susunan cerita yang kuat dan menarik dengan menampilkan balutan gambar-gambar dengan panorama alam Entikong yang indah, adegan para tokoh yang begitu menjiwai setiap peran yang dimainkannya, mampu membuat penonton terhibur dan hanyut ke dalam alur cerita tersebut. Keunggulan dari film ini adalah walaupun cerita ini bukan berdasarkan kisah nyata, namun konflik yang dimunculkan dalam film ini merupakan fenomena atau realita yang kerap terjadi di wilayah perbatasan Kalimantan. Tentang nilai dan adat istiadatnya, sistem pendidikannnya, daerah yang terisolir dan jauh dari peradaban dan sentuhan kemajuan, serta tentang ideologi bangsa yang sering terkalahkan dengan realita bahwa masyarakat di wilayah perbatasan tersebut ingin hidup lebih baik dengan merantau ke negara tetangga yang lebih mampu menawarkan apa yang tidak mampu ditawarkan negaranya sendiri.

Makalah-Tugas Kelompok-Resensi

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Dalam sebuah karya yang telah dihasilkan perlu adanya penilaian terkait dengan karya tersebut. Resensi merupakan sebuah tulisan yang berisi tentang penilaian sebuah karya, bisa berupa buku ataupun film. Resensi sebuah karya tidak hanya dipajang di beberapa surat kabar maupun majalah. Resensi digelar di kampus, televisi, radio, toko buku, ataupun internet. Bahkan sebagian besar surat kabar telah menyediakan kolom atau halaman khusus untuk memajang masalah perbukuan ini.
            Dalam kegiatan resensi, juga perlu adanya penelitian yang seimbang. Penilaian yang seimbang akan memberikan makna tersendiri bagi penulis, penerbit, dan pembaca.
            Resesi diperlukan untuk mengetahui informasi dari sebuah buku. Buku yang diresensi  merupakan buku yang baru diterbitkan. Melalui resensi, masyarakat pembaca dapat memperoleh informasi tentang penting tidaknya buku itu untuk dibaca dengan berbagai keunggulan dan kelemahan yang terdapat pada buku tersebut.
Menulis resensi berarti menyampaikan informasi mengenai ketetapan buku bagi pembaca. Didalamnya disajikan  berbagai ulasan  mengenai buku  tersebut dari berbagai segi. Ulasan ini dikaitkan dengan selera pembaca dalam upaya memenuhi kebutuhan akan bacaan yang dapat dijadikan acuan bagi kepentingannya. Dalam makalah ini akan dibahas segala sesuatu tentang resensi yaitu pengertian atau definisi ,tujuan resensi dan sebagainya.

1.2 Rumusan Masalah
            1. Apa itu pengertian resensi?
            2. Apa saja tujuan resensi?
            3. Apa sajakah dasar-dasar resensi?
            4. Bagaimana pola tulisan resensi?
            5. Apa sajakah langkah-langkah meresensi buku?
            6. apa sajakah unsur-unsur resensi?

1.3 Tujuan Penulisan
            1. Untuk mengetahui pengertian resensi
            2. Untuk mengetahui tujuan resensi
            3. Untuk mengetahui dasar-dasar resensi
            4. Untuk mengetahui pola tulisan resensi
            5. Untuk mengetahui langkah-langkah meresensi buku
            6. untuk mengetahui apa saja unsur-unsur resensi


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Resensi
Resensi adalah suatu tulisan atau ulasan mengenai nilai sebuah hasil karya, baik itu buku, novel, majalah, komik, film, kaset, CD, VCD, maupun DVD. Tujuan resensi adalah menyampaikan informasi kepada para pembaca tentang sebuah karya.
Resensi berasal dari bahasa latin, yaitu dari kata kerja revidere atau recensere. Artinya melihat kembali, menimbang, atau menilai. Arti yang sama untuk istilah itu dalam bahasa Belanda dikenal sebagai recensie, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah review. Tiga istilah itu mengacu pada hal yang sama, yaitu mengulas sebuah buku.
Di Indonesia, resensi sering juga diistilahkan dengan timbangan buku, tinjauan buku, dan bedah buku. Adapun menurut Webster Collegate Dictionary (1995), review adalah a critical evaluation of a book, karena itu pada hakikatnya resensi haruslah menjelaskan apa adanya suatu buku; kelebihan dan kekurangan buku itu. Resensi adalah suatu tulisan atau ulasan mengenai nilai sebuah hasil karya atau buku. Resensi adalah suatu jenis karangan yang berisi pertimbangan baik atau buruknya suatu karya. Resensi bertujuan untuk menyampaikan kepada pembaca apakah sebuah buku atau hasil karya itu patut mendapat sambutan dari masyarakat atau tidak. Bertolak dari tujuannya, resensi bermanfaat bagi para pembaca untuk menentukan perlu tidaknya membaca buku tertentu atau perlu tidaknya menikmati suatu hasil karya seni. Dalam arti lebih luas, resensi dibuat juga untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan terhadap karya-karya seni lainnya seperti drama, film, dan sebuah pementasan. Karena pertimbangan yang disampaikan penulis resensi itu harus disesuaikan dengan selera pembaca, maka sebuah resensi yang disiarkan sebuah majalah mungkin tidak sama dengan yang disiarkan pada majalah lain. Tindakan meresensi buku dapat berarti memberikan penilaian, mengungkap kembali isi buku, membahas, atau mengkritik buku.
Dengan pengertian yang cukup luas itu, maksud ditulisnya resensi buku tentu menginformasikan isi buku kepada masyarakat luas. Dalam meresensi sebuah karya harus berkaitan dengan kualitas dari karya yang sedang dicermati atau diresensi tersebut. Penilaian tersebut harus dilakukan secara seimbang dan proporsional. Maksudnya ialah tidak boleh seorang peresensi tersebut hanya memberikan penilaiannya yang positifnya saja atau tidak tepat juga jika resensi itu hanya dilakukan untuk menilai kelemahan dan kekurangannya saja.
Jika diklasifikasikan, ada tiga bidang garapan resensi, yaitu (a) buku, baik fiksi maupun non fiksi; (b) pementasan seni, seperti film, sinetron, drama, musik, atau kaset; (c) pameran seni, baik seni lukis maupun seni patung.
Secara umum, resensi dibagi menjadi tiga, yaitu:
1.      Deskriptif, ialah mengggambarkan dan menjelaskan tentang karya seseorang secara menyeluruh, baik dari segi isi, penulisannya, maupun penciptanya (creator). Resensi ini tidak sampai pada penilaian kritik (bagus/tidak) si penulis terhadap karya yang dia resensi. Dia hanya menjelaskan secara singkat tentang isi, proses, dan pencipta sebuah karya.

2.      Deskriptif evaluatif, ialah melakukan penilaian terhadap sebuah karya lebih dalam daripada yang pertama. Dia tidak hanya menggambarkan, tapi menilai sebuah karya secara keseluruhan dengan kritis dan argumentatif. Sehingga ada kesimpulan pada akhir resensi apakah karya yang diresensi baik kualitasnya atau tidak.


3.      Deskriptif-komparatif, ialah mencoba melakukan penilaian pada sebuah karya dengan cara membandingkan karya orang lain yang memiliki kesamaan atau keterkaitan secara isi dan materi. Selain membutuhkan analisa mendalam dan kritis, resensi ini juga membutuhkan pengetahuan dan wawasan luas. Karena tidak hanya satu karya yang harus dipahami, namun karya-karya lain yang berhubungan dengan karya yang dia resensi juga harus pula dia pahami.

Namun, ada juga yang berpendapat bahwa tiga jenis resensi buku adalah :
1. Informatif; maksudnya, isi dari resensi hanya secara singkat dan umum dalam, menyampaikan keseluruhan isi buku.
2.  Deskriptif; maksudnya, ulasan bersifat detail pada tiap bagian/bab.
3. Kritis; maksudnya, resensi berbentuk ulasan detail dengan metodologi ilmu pengetahuan tertentu. Isi dari resensi biasanya kritis dan objektif dalam menilai isi buku.
Ketiga jenis resensi di atas tidak baku. Bisa jadi resensi jenis informatif namun memuat analisa deskripsi dan kritis. Dengan demikian, ketiganya bisa diterapkan bersamaan.

2.2 Tujuan Resensi
            Sebelum meresensi, hendaknya peresensi memahami tujuan resensi. Berikut adalah tujuan resensi :
a.       Menyampaikan informasi kepada pembaca apakah sebuah karya patut mendapat sambutan atau tidak.
b.      Menunjukkan kepada para pembaca layak tidaknya sebuah buku dibaca.
c.       Mengajak pembaca untuk memikirkan, merenungkan, dan mendiskusikan lebih jauh fenomena atau problema yang muncul dalam sebuah buku.
d.      Memberitahukan kepada pembaca perihal buku-buku baru dan ulasan kelebihan maupun kekurangan buku tersebut.

Untuk menulis resensi, kita harus memerhatikan dari sisi latar belakang dan nilai buku.
a.       Latar Belakang
Agar resensi bermanfaat bagi para pembaca, maka penulis mulai menyajikan resensi dengan mengemukakan latar belakang buku itu, dimulai dengan tema dari karangan buku tersebut. Penyajian temanya secara singkat itu dapat juga dilengkapi dengan deskripsi buku tersebut, sehingga para pembaca yang belum tahu dapat memperoleh gambaran mengenai isi buku tersebut. Deskripsi buku itu bukan hanya tentang isinya tetapi juga dapat menyangkut badan mana yang menerbitkan buku itu, kapan dan di mana diterbitkan, berapa tebalnya, dan formatnya. Penulis resensi juga dapat memperkenalkan pengarangnya: namanya, ketenaran yang diperolehnya, buku atau karya mana yang telah ditulisnya, atau mengapa ia sampai menulis buku itu.

b.      Macam dan Jenis Buku
Para pembaca memiliki selera yang berbeda. Oleh karena itu, penulis resensi harus membuat klasifikasi mengenai buku tersebut. Dengan memasukkannya ke dalam kelas buku tertentu, akan mudah menunjukkan persamaan dan perbedaan dari buku-buku lain, sehingga pembaca akan tertarik untuk membacanya dan ingin mengetahui lebih lanjut mengenai buku tersebut.

c.       Keunggulan Buku
Untuk memberikan evaluasi terhadap sebuah buku yaitu dengan cara mengemukakan segi-segi yang menarik dari buku itu. Mengenai keunggulan buku, peresensi pertama-tama mempersoalkan kerangka buku itu, hubungan antarsatu bagian dengan bagian yang lain. Yang kedua untuk menilai dari dekat sebuah buku, penulis resensi juga mempersoalkan bagaimana isinya. Hal yang ketiga dari masalah buku yaitu bahasa yang digunakan, bagaimana bahasa penulis dalam menulis buku tersebut. Menilai sebuah buku berarti memberi saran kepada para pembaca untuk menolak atau menerima kehadiran buku itu. Penulis resensi harus tetap berusaha untuk memberi kesan kepada pembaca bahwa penilaiannya telah diberikan secara tepat dan objektif.

d.      Menilai Buku
Dengan memberikan gambaran mengenai latar belakang dan mengemukakan pokok-pokok  yang menjadi sasaran penilaian, peresensi sebenarnya telah memberikan pendapatnya mengenai nilai buku itu. Mengkritik berarti memberi pertimbangan, menilai, dan menunjukkan kelebihan-kelebihan buku itu secara penuh tanggung jawab. Tugas utamanya peresensi yaitu membuat penilaian secara jujur dan objektif terhadap sebuah buku, menganalisis tujuan penulisan buku, kualifikasi penulisnya, serta membandingkannya dengan buku-buku lain. Sebelum menulis resensi, seseorang harus membaca buku yang akan diresensi secara utuh. Di bawah ini, beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman menyusun resensi, yaitu:
1.      Penulis resensi harus mengetahui jenis buku yang akan diresensi;
2.      Sebutkan keunggulan buku tersebut;
3.  Dimanakah letak kelebihan buku tersebut; pada penyampaiannya, plotnya, bahasanya, gambaran latarnya, penyusunannya, atau isinya;
4.    Sebutkan kelebihan dan kelemahannya. Memberikan kritik berarti memberikan pertimbangan-pertimbangan;
5.  Berikan bukti atas komentar atau pertimbangan dengan mengutip kata atau kalimat yang dibicarakan.
Untuk mempermudah menyusun resensi, petunjuk teknis di bawah ini dapat diikuti:
a.       Bacalah buku secara global, untuk mengetahui sekilas dan secara cepat isi buku yang akan diresensi;
b.      Bacalah buku tersebut untuk kedua kalinya dan mencatat hal-hal yang akan diungkapkan dalam resensi;
c.       Tulislah kesan yang timbul setelah membaca buku. Kesan tersebut dapat dijadikan judul resensi;
d.      Mulailah menulis resensi.
Caranya sebagai berikut:
-          Tulislah judul resensi;
-          Tulislah judul buku yang akan diresensi;
-          Tulislah nama pengarang buku tersebut;
-      Jika buku tersebut merupakan buku terjemahan, tulislah judul dan pengarang aslinya, serta penerjemahnya;
-          Tulislah tebal buku/jumlah halaman;
-          Tulislah tubuh resensi;
-          Sebutkan jenis buku yang diresensi;
-          Sebutkan pokok persoalan dalam buku tersebut;
-          Tulislah alur ceritanya;
-          Tulislah kesan atau ulasan alur tersebut.

e.      Tinjauan Fiksi
Ini adalah cara meresensi yang biasa digunakan dalam buku-buku fiksi. Selain harus menguasai isi buku, peresensi juga harus mencari perimbangan antara jalan cerita (plot, sinopsis) dan tema cerita. Kadang dipaparkan juga tentang proses kreatif pembuatan karya oleh penulis buku itu sementara isi buku sendiri hanya dipaparkan sekilas saja. Perbedaan antara resensi buku dan resensi film terletak pada latar belakangnya saja. Jika pada resensi buku jumlah halaman/tebal buku, isi buku, dan tempat terbitnya, maka pada resensi film terdapat berapa lama film tersebut (durasi waktunya), dan harga dari film tersebut. Dari segi isi, antara resensi film dan resensi tidak ada perbedaan.
  
2.3 Dasar-dasar Resensi
            Dasar-dasar resensi juga perlu diketahui agar peresensi dapat meresensi sebuah karya dengan benar. Berikut dasar-dasar resensi :
a.       Peresensi memahami sepenuhnya tujuan pengarang buku itu.
b.      Peresensi menyadari sepenuhnya tujuan meresensi karena sangat menentukan corak resensi yang akan dibuat.
c.  Peresensi memahami betul latar belakang pembaca yang menjadi sasarannya, misal selera, tingkat pendidikan, dari kalangan macam apa asalnya, dan sebagainya.
d.  Peresensi memahami karakteristik media cetak yang akan memuat resensi. Setiap media cetak mempunyai identitas, termasuk dalam visi dan misi. Dengan demikian, kita akan mengetahui kebijakan dan resensi macam apa yang disukai oleh redaksi. Kesukaan redaksi dimuat biasanya sesuai dengan visi dan misinya. Misalnya, majalah sastra tidak menampilkan resensi buku tentang teknik. Jenis buku yang dimuat pasti buku yang berkaitan dengan masalah ekonomi.

Kegiatan meresensi buku pada hakikatnya melakukan penilaian terhadap buku. Menilai berarti mengulas, mempertimbangkan, mengkritik, dan menunjukkan kelebihan-kelebihan serta kekurangan-kekurangan buku dengan penuh tanggung jawab. Dengan penuh tanggung jawab artinya mengajukan dasar-dasar atau argumen terhadap pendapatnya, dan kriteria-kriteria yang dipergunakan untuk membentuk pendapatnya itu, serta data yang meyakinkan (dengan menyajikan kutipan-kutipan yang tepat dan relevan). Akan tetapi, sasaran penilaian (organisasi, isi, bahasa, dan teknik) itu sering sulit diterapkan secara mekanis. Suatu unsur, sering lebih mendapat tekanan daripada unsur yang lain. Hal yang patut diperhatikan sebaiknya tidak menggunakan salah satu unsur untuk menilai keseluruhan buku. Nilai buku akan lebih jelas apabila dibandingkan dengan karya-karya sejenis, baik yang ditulis oleh pengarang itu sendiri maupun yang ditulis oleh pengarang lain. Bahasa resensi biasanya singkat-padat, tegas, dan tandas. Pemilihan karakter bahasa yang digunakan disesuaikan dengan karakter media cetak yang akan memuatnya dan karakter pembaca yang akan menjadi sasarannya. Pemilihan karakter bahasa berkaitan erat dengan masalah penyajian tulisan. Misalnya, tulisan yang runtut kalimatnya, ejaannya benar, dan tidak panjang lebar (bertele-tele). Di samping itu, penyajian tulisan resensi bersifat padat, singkat, mudah ditangkap, menarik, dan enak dibaca baik itu oleh redaktur (penanggung jawab rubrik) maupun pembaca. Kita perlu membiasakan diri membaca resensi itu dengan menempatkan diri sebagai redaktur atau pembaca. Untuk itu, jadikanlah diri kita seolah-olah redaktur atau pembaca. Dengan cara ini, emosi sebagai penulis bisa ditanggalkan. Kita akan mampu melihat kekuatan dan kelemahan resensi kita.
Selanjutnya, untuk peresensi sendiri memiliki syarat tertentu yaitu peresensi sebaiknya memiliki bekal pengetahuan yang memadai untuk memahami isi yang akan diresensi. Peresensi yang sama sekali tidak tahu sastra dan tidak pernah membaca buku-buku sastra, tentu akan sulit jika diminta meresensi novel-novel sastra. Ada satu penerbitan di Amerika Serikat, yang isi sepenuhnya ialah resensi-resensi buku. Yang hebat, para penulis resensi itu bukan orang sembarangan, tetapi para ahli dan pakar (beberapa di antaranya para pemenang Hadiah Nobel). Buku yang diresensi pun yaitu karya terpilih, juga karangan orang-orang hebat. Dengan membaca resensi semacam itu, yang ditulis oleh mereka yang sangat menguasai bidang keahliannya, pembaca mendapat tambahan ilmu pengetahuan yang luar biasa. Menurut Daniel Samad, peresensi buku sastra harus dapat menyampaikan dua lapis penilaian atau pertimbangan, yakni nilai literer dan manfaat untuk hidup. Nilai literer terungkap dari kegiatannya yang disebut apresiasi sastra dan manfaat untuk hidup terungkap dari apresiasinya atas kebutuhan masyarakat.peresensi dapat menyoroti salah satu dari bahan resensi yang ditinjau dari segi bahasa yakni biasanya bernas (singkat-padat), dan tegas. Pemilihan karakter bahasa yang digunakan disesuaikan dengan karakter media cetak yang akan memuat dan karakter pembaca yang akan menjadi sasarannya.
v  Kelebihan Resensi
a.       Tidak basi. Jika dibandingkan dengan tulisan lain, seperti berita, artikel, dan karangan khas (features), resensi lebih tahan lama. Artinya, andaipun resensi dikembalikan oleh redaksi, resensi itu masih bisa dikirim ke media lain. Demikian pula buku yang diresensi, tidak harus buku yang baru terbit. Kita boleh meresensi buku yang terbit setahun lalu, asalkan buku itu belum pernah dimuat di media yang akan dituju. Meskipun demikian, pada umumnya buku yang diresensi yaitu buku-buku yang baru terbit.
b.      Menambah wawasan. Informasi dari buku sangat berguna untuk menambah wawasan berpikir dan mengasah daya kritis. Kita juga bisa menilai apakah buku itu bermutu atau tidak.


2.4 Pola Tulisan Resensi
Ada tiga pola tulisan resensi buku, yaitu :
a.       Meringkas (sinopsis) berarti menyajikan semua persoalan buku secara padat dan jelas. Sebuah buku biasanya menyajikan banyak persoalan. Persoalan-persoalan itu sebaiknya diringkas. Untuk itu, perlu dipilih sejumlah masalah yang dianggap penting dan ditulis dalam surat uraian singkat.
b.      Menjabarkan (deskripsi) berarti mengungkapkan hal-hal menonjol dari sinopsis yang sudah dibuat. Jika perlu, bagian-bagian yang mendukung uraian-uraian itu dikutip.
c.       Mengulas berarti menyajikan uraian sebagai berikut:
·         Isi pernyataan atau materi buku yang sudah dipadatkan dan dijabarkan kemudian diinterpretasikan;
·         Organisasi atau kerangka buku;
·         Bahasa;
·         Kesalahan cetak;
·     Membandingkan (komparasi) dengan buku-buku sejenis, baik karya pengarang sendiri maupun karya pengarang lain;
·    Menilai, mencakup kesan peresensi terhadap buku, terutama yang berkaitan dengan keunggulan dan kelemahan buku.
Urutan pola meringkas, menjabarkan, dan mengulas itu dapat pula dipertukarkan. Kita bisa langsung mengulas, menjabarkan, dan meringkas. Misalnya, kita mulai dari kesan terhadap buku, membandingkan, lalu masuk ke bagian meringkas. Sesudah itu, kita memadatkan persoalan utama atau bagian terpenting dalam uraian yang singkat dan jelas. Kemudian, kita perlu menjabarkan bagian-bagian terpenting dari sinopsis. Kita pun dapat memulai dari menjabarkan, meringkas, dan mengulas. Namun, satu hal terpenting, isi pernyataan dalam buku tersebut harus dipahami terlebih dahulu. Dari pemahaman itu, kita akan mengetahui pola mana yang tepat untuk menyajikannya. Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan saat ingin meresensi sebuah karya, yaitu tingkat keahlian atau kepakaran penulis atau pengarangnya, pengalaman dan cara pandang penulisnya, analisis didalam penyajian materinya,  analisis keteknisan penyajiannya, analisis kebahasaannya, ketajaman dan kekuatan topik serta pembahasannya, kekuatan ekspresinya, dan kekuatan intelektualnya. Tujuan pokoknya adalah agar pembaca tertarik untuk membaca secara langsung buku yang sedang diresensi tersebut. Dengan kata lain, sesungguhnya peresensi itu adalah jembatan yang akan menghubungkan sosok penulis atau pengarangnya dengan para pembacanya. Dengan melakukan resensi, peresensi juga dapat menyampaikan masukan pembenahan kepada penulisnya sekaligus pada penerbitnya, khususnya untuk perbaikan pada edisi-edisi yang berikutnya. Resensi yang dibuat dengan baik, objektif, tajam, dan mendalam, pembaca akan terbantu dalam membuat keputusan yang tepat berkaitan dengan karya tersebut. Pembaca akan dapat menentukan secara cepat apakah harus memiliki buku tersebut sesegera mungkin, atau justru harus menundanya, atau bahkan sama sekali tidak perlu membelinya karena pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dibuatnya setelah membaca resensi tersebut. Kemudian hal terakhir yang harus disampaikan oleh peresensi adalah pertimbangan ihwal esensi materi dari buku atau karya yang sedang diresensi tersebut secara objektif, konkret, jelas, dan intelek.
Beberapa hal yang kiranya harus dipertimbangkan dan diperhatikan dalam membuat resensi, yaitu :
-          -Bahasa yang digunakan harus jelas, tegas, tajam, dan akurat.
-          -Pilihan kata yang digunakan harus baik, tepat, dan tidak konotatif.
-          -Format dan isi resensi harus disesuaikan dengan kompetensi, minat, dan motivasi pembaca.
-          -Objektif, seimbang, dan proporsional dalam menyampaikan timbangan terhadap buku atau hasil karya.

Beberapa unsur yang harus dijadikan pertimbangan dalam resensi, antara lain :
-          -Estetika perwajahan karya yang sedang diresensi.
-          -Latar belakang penulisan dan pengalaman penulis.
-          -Tema dan judul dikaitkan dengan minat pembacanya.
-          -Penyajian dan sistematika karya yang sedang diresensi.
-          -Deskripsi teknis buku atau karya yang sedang diresensi.
-          -Jenis buku atau karya yang sedang diresensi.
-          -Keunggulan buku atau karya yang sedang diresensi.
-          -Kelemahan buku atau karya yang sedang diresensi.

2.5 Langkah-langkah meresensi buku
a.    Penjajakan atau pengenalan terhadap buku yang akan diresensi. Mulai dari tema buku yang diresensi, disertai deskripsi isi buku. Siapa yang menerbitkan buku itu, kapan dan dimana diterbitkan, tebal (jumlah bab dan halaman), format hingga harga. Siapa pengarangnya: nama, latar belakang pendidikan, reputasi dan prestasi, buku atau karya apa saja yang ditulis, hingga mengapa ia menulis buku itu.
b.      Membaca buku yang akan diresensi secara komprehensif, cermat, dan teliti. Peta permasalahan dalam buku itu perlu dipahami secara tepat dan akurat.
c.    Menandai bagian-bagian buku yang diperhatikan secara khusus dan menentukan bagian-bagian yang dikutip untuk dijadikan data.
d.      Membuat sinopsis atau intisari dari buku yang akan diresensi.
e.       Menentukan sikap dan menilai hal-hal berikut:
     Kerangka penulisan : bagaimana hubungan antara bagian yang satu dengan bagian lain, bagaimana sistematikanya, dan bagaimana dinamikanya.
·   Isi pernyataan : bagaimana bobot ide, analisis, penyajian data, dan kreativitas     pemikirannya.
·         Bahasa : bagaimana ejaan yang disempurnakan diterapkan, kalimat dan penggunaan kata, terutama untuk buku ilmiah.
·   Sebelum menilai : alangkah baiknya jika terlebih dahulu dibuat semacam garis besar (outline) resensi itu. Outline ini sangat membantu ketika kita menulis. Mengoreksi dan merevisi hasil resensi dengan menggunakan dasar dan kriteria yang kita tentukan sebelumnya.
2.6 Unsur-unsur resensi
Kita perlu mengetahui unsur-unsur yang membangun resensi buku, yaitu diantaranya :
a.       Membuat judul resensi. Judul yang menarik dan benar-benar menjiwai seluruh tulisan atau inti tulisan, tidak harus ditetapkan terlebih dahulu. Judul dapat dibuat sesudah resensi selesai. Hal yang perlu diingat, judul resensi selaras dengan keseluruhan isi resensi. Deskripsi, judul buku, nama pengarang (atau penyunting), nama penerbit, tahun terbit, kota tempat penerbitan, jumlah halaman, dan harga buku (boleh dicantumkan atau tidak). Ini disebut heading dan biasanya dicantumkan di awal resensi. Misalnya: Makna Cinta dan Perkawinan di Era Globalisasi, Dian Kencana Dewi, Bandung: Unpad Press, 2005,vii + 237 hlm.
b.      Alinea pembuka. Alinea pembuka atau lead ini bersifat sebagai pemancing agar pembaca mau membaca resensi. Dalam membuat lead, peresensi, misalnya mampu mengaitkan isi buku dengan konteks situasi yang sedang hangat di masyarakat, misalnya: buku bertema tentang korupsi siterbitkan ketika sedang ramai-ramainya pengadilan kasus korupsi. Lead bersama judul berfungsi penting sebagai penarik minat pembaca.
c.     Deskripsi atau rangkuman tentang isi buku. Di sini peresensi merangkum isi atau esensi buku secara ringkas. Tentu saja, pembaca tidak dapat menilai suatu buku jika gambaran ringkas isinya pun ia belum mengetahuinya. Dalam merangkum tentang isi buku, peresensi boleh mengutip satu atau dua kalimat atau alinea yang menarik dari buku untuk memperjelas gambaran isinya.
d.      Menyusun data buku. Data buku biasanya disusun sebagai berikut:
·         Judul buku (apakah buku itu termasuk buku hasil terjemahan, jika demikian tuliskan juga judul aslinya.
·         Pengarang (kalau ada, tulislah juga penerjemah, editor, atau penyunting seperti yang tertera pad buku).
·         Penerbit.
·         Tahun terbit serta cetakannya (cetakan keberapa).
·         Tebal buku.
e.       Komentar, evaluasi, dan penilaian. Inilah esensi dari suatu resensi, yakni si peresensi mengomentari dan menilai suatu buku dari berbagai aspek: aspek luar dan isi. Karena keterbatasan ruang di media cetak, tentu tidak perlu seluruh aspek tersebut dibahas secara rinci. Peresensi boleh memilih aspek-aspek mana yang menurutnya paling penting untuk diulas dan disampaikan kepada pembaca.
f.       Kalimat penutup dan rekomendasi. Dalam kalimat penutup ini, peresensi kadang-kadang secara tegas merekomendasikan bahwa buku bersangkutan memang layak atau tidak layak dibaca. Kadang-kadang, rekomendasi tegas semacam itu tidak diungkapkan, karena pembaca dianggap telah dapat menyimpulkan sendiri berdasarkan ulasan panjang sebelumnya.
g.      Identitas peresensi juga dicantumkan di bagian akhir resensi. Manfaatnya yaitu untuk menunjukkan kredibilitas peresensi dalam meresensi buku bertema tertentu.
Misalnya di akhir sebuah resensi tentang buku kehumasan, identitas peresensi disebutkan: Dian Eka Puspita Sari, Staf Humas Trans TV. Artinya, peresensi ingin menunjukkan bahwa ia merupakan praktisi Humas dan karena itu memiliki cukup kemampuan untuk meresensi buku bertema Kehumasan.

BAB III
PENUTUP
2.4  Kesimpulan
            Dalam meresensi sebuah karya tulisn pasti menilai kekurangannya atau kelebihannya, dengan tujuan pembaca dapat merangsang hasil karya tersebut. Untuk meresensi sebuah karya tulis perlu adanya langkah-langkah dan dasar untuk meresensi sebuah buku, yang mana semua itu saling memahami sepenuhnya tentang isi buku yang akan diresensi. Dalam meresensi juga terdapat penggunaan bahasa yang singkat, padat dan jelas. Terdapat juga pokok-pokok yang menjadi sasaran dalam meresensi buku yang mana salah satu dari sasaran itu adalah mengulang tentang keunggulan dan kelemahan buku. Membuat judul semenarik mungkin dan betul-betul mencerminkan isi buku termasuk hal-hal penting dalam sebuah resensi termasuk juga mencantumkan identitas sebuah buku yang menutup biasanya dengan memberikan saran atau sasaran sebuah buku yang diresensi.

2.5  Saran
                  Untuk merensensi sebuah karya, sebaiknya pelajari dan ketahui dengan benar langkah-langkah meresensi dengan baik dan benar agar mendapatkan hasil resensi yang objektif dan pembaca dapat point-point yang tepat mengenai kekurangan dan kelebihan sebuah karya tersebut.






Daftar Pustaka
Achnad H.P, Alek, 2010. Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Rahardi, R Kunjana. 2009. Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Erlangga.