Selasa, 01 Juli 2014

Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karangan Tere Liye


Kemarin sore aku mulai membaca buku karangan Tere Liye yang lain. Ini adalah buku ketiganya yang aku baca setelah "Hafalan shalat Delisa" dan "Sunset bersama Rosie". Judul bukunya ini yaitu "Daun yang jatuh tak pernah membenci angin". Membaca judul ini awalnya membuat aku sangat tertarik dan juga penasaran akan seperti apa isinya. Apalagi aku juga sering membaca penggalan kalimat yang ada dalam novel ini yang ditulis beberapa orang di media sosialnya. 

Kalimatnya begini :
"Orang yang memendam perasaan sering kali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta"

Ya, memang terkadang saat kita menyukai seseorang, kita selalu mencari pembenaran bahwa dia juga menyukai kita, mengumpulkan kejadian-kejadian dan memaksakannya menjadi seperti yang kita inginkan. Walaupun itu hanya ilusi tapi kita membuatnya menjadi begitu nyata hingga akhirnya kita harus menelan pil pahit bahwa ternyata itu benar-benar hanya sebuah ilusi, sebuah kebohongan yang menjerat diri sendiri. Ketika jatuh cinta, kita tidak lagi bisa membedakan mana simpul yang nyata dan yang dusta. Kadang simpul yang nyata terlihat seperti dusta dan terkadang pula simpul yang dusta terlihat seperti benar-benar nyata.

Dan ada satu lagi kalimat yang paling aku sukai :
"Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun... Daun yang tidak pernah membenci angin meski harus terengggutkan dari tangkai pohonnya"

Hal itu semakin membuat aku penasaran. Hanya dalam beberapa jam saja novel ini selesai aku baca, hebat bukan? Yap, namanya juga penasaran, nggak heran aku bisa membacanya secepat itu. Apalagi jalan cerita dan bahasanya enak dibaca, dan ketika membacanya, aku seperti ikut tersedot dalam buku ini, seperti sedang menyaksikan kejadian ini dengan mata kepalaku sendiri. 

Pertama aku tidak mengerti makna dari kalimat "Daun yang jatuh tak pernah membenci angin" tapi setiap halaman demi halaman buku ini aku buka hingga sampailah pada halaman terakhirnya, aku baru mengerti makna dari kalimat itu. Mungkin juga maknanya menjadi berbeda dengan apa yang dipahami penulis ataupun pembaca yang lain, namun manusia memang begitu kan, selalu punya pandangan dan pendapat yang berbeda dengan manusia lainnya. Karena itulah yang membuat hidup ini menjadi lebih indah. Tidak monoton hanya hitam dan putih, tapi juga ada banyak warna lain seperti merah, kuning, hijau, biru, nila, ungu, dan jingga.

Cerita ini menceritakan tentang dua orang kakak beradik yang setiap harinya mengamen dari satu kendaraan umum ke kendaraan umum lainnya, bermain dengan pekatnya matahari dan debu jalanan setiap hari. Mereka tinggal bersama ibunya di sebuah rumah kardus di bantaran kali. Karena tak punya cukup uang untuk membayar sewa kontrakan, rumah kardus menjadi pilihan terbaik untuk mereka. Kedua kakak beradik itu pun terpaksa berhenti mengenyam pendidikan karena ketiadaan biaya. Jangankan untuk sekolah bahkan untuk makan sehari-haripun susah. Mereka mengamen ke sana kemari hingga larut malam tanpa mengenakan alas kaki. Bagaimana mungkin mereka bisa memakai alas kaki jika untuk makan pun mereka tak punya. Hingga suatu hari saat sedang mengamen di bus, tidak sengaja kaki sang kakak terinjak paku payung yang ada di dalam bus hingga mengalirlah darah segar dari kakinya yang tidak beralaskan itu. Di saat semua penumpang bus bersikap acuh dan tak peduli, muncullah tangan seorang pria berusia dua puluhan mengulurkan sebuah sapu tangan. Dan sejak hari itu pria itu benar-benar menjadi malaikat bagi keluarga mereka. Bagaimana tidak, pria itu sangat banyak membantu mereka dan menjadi bagian terpenting dalam hidup kakak beradik itu. Mulai dari membelikan sepatu untuk mereka supaya bisa berlari ke sana kemari dengan nyaman, membiayai mereka untuk kembali bersekolah, memberi uang setiap bulan pada ibu mereka untuk kebutuhan sehari-hari. Singkat kata, pria itu telah membantu mengatasi kesulitan hidup mereka. Mereka yang tadinya hanya bisa tinggal di rumah kardus tanpa listrik kini sudah bisa menyewa sebuah kontrakan sederhana, bisa bersekolah dan belajar dengan baik. Mereka juga anak-anak yang cerdas. Setiap hari pria itu selalu mengunjungi mereka. Hingga suatu hari musibah menghampiri mereka, ibu yang mereka sayangi ternyata mengidap kanker stadium IV dan meninggal beberapa hari kemudian. Dari anak-anak yang riang mereka kembali menjadi anak yang pemurung. Namun hal itu tidak berlangsung lama karena pria itu selalu bisa membuat mereka kembali ceria dengan caranya sendiri. Menariknya adalah sang kakak yang bernama Tania ternyata diam-diam mulai menyukai malaikat penolong mereka, menyukai pria itu yang bernama Danar. Hingga semakin ia dewasa rasa cinta itu semakin mekar. Apalagi sejak Danar mengenalkan kekasihnya, Tania begitu dimakan cemburu. Sepeninggal ibunya, Tania mendapatkan beasiswa melanjutkan SMP di Singapura. Hingga bertahun-tahun setelahnya, ia juga mendapatkan beasiswa melanjutkan sampai ke jenjang kuliah di Singapura. Dan ia pun bekerja di sana. Dia anak yang amat berprestasi. Namun perasaan cintanya pada Danar sudah terlampau dalam, dia tidak pernah mau membuka hatinya untuk lawan jenis seumurnya. Dia tidak peduli dengan perbedaan usia 14 tahun antara dia dan Danar. Dia tidak peduli semuanya karena yang dia tahu bahwa dia mencintai Danar sepenuh hati.
Endingnya bagaimana? Jangan bayangkan jika buku ini akan berakhir happy ending seperti buku-buku novel kebanyakan. Mungkin ini juga yang membuat aku menyukai buku-buku karangan Tere Liye. Karena dia tidak pernah menjanjikan akhir cerita yang bahagia, akhir cerita yang diinginkan semua orang dimana pemeran utama pria dan wanita bersatu. Dia hanya menyuguhkan berdasarkan realita yang sering terjadi bahwa cinta tak selalu harus memiliki. Mungkin dari kalimatku itu kalian tahu bahwa mereka pada akhirnya tidak bersama walaupun setiap potongan teka-teki hidup Tania perlahan-lahan terjawab, ternyata Danar juga diam-diam menyukainya. Namun sampai akhir cerita ini penulis tidak mengatakan mengapa Danar kemudian memilih menikahi Ratna, wanita yang tidak dia cintai. 

Hanya saja penulis sempat menuliskan begini:
"Bagi pria, dan itu sama saja dengan kebanyakan wanita, menikah tidak selalu harus dengan seseorang yang kau cintai. Menikah adalah pilihan rasional. Berkeluarga untuk lelaki postmodern seperti dia tidak semata-mata urusan cinta-mencintai..."

Aku juga tak begitu mengerti apa maksudnya tapi mungkin kurang lebih adalah bahwa orang dewasa memiliki pemikiran yang jauh lebih luas daripada remaja. Orang dewasa tidak seimpulsif para remaja yang ketika dia menyukai seseorang maka harus buru-buru diungkapkan. Orang dewasa walau secinta apapun dia pada seseorang tetapi tetap berpikir rasional, tidak melulu mengedepankan perasaan. Bisa jadi dalam cerita ini, Danar memilih menikah dengan wanita lain karena tahu akan perbedaan usianya dan Tania yang terpaut jauh, mungkin juga ia takut jika ia mengutarakan perasaannya yang sebenarnya pada Tania akan membuat Tania serba salah atau menganggap harus membayar utang budi, atau bisa jadi karena ia melihat Tania tumbuh menjadi gadis yang cantik, pintar, dan dewasa sehingga dia tidak mau merusak kebahagiaan gadis itu dengan perasaannya. Mungkin ia ingin Tania bisa berpasangan dengan orang yang lebih baik darinya di kemudian hari. Atau mungkin ada ratusan bahkan ribuan alasan lain yang membuatnya bersikap demikian. Namun itulah orang dewasa dengan sejuta pemikirannya yang pelik dan sulit dimengerti. Namun lagi-lagi Tere Liye bisa membimbing dan mengajarkanku bahwa cinta tidak melulu harus memiliki. Dan untuk bahagia maka menikahlah dengan orang yang benar-benar mencintaimu, jangan menikah dengan orang yang tidak mencintai kita (para wanita) karena walau diluar kehidupan pernikahan tampak bahagia dan nyata namun sebenarnya hanya sebuah kamuflase yang mengelabui banyak orang. Karena pernikahan sekali seumur hidup, bukan masa pacaran singkat yang apabila sudah bosan maka dengan mudah bisa berkata putus dan meninggalkan. Maka pikirlah sedewasa dan sebijak mungkin sebelum memutuskan menikah karena pernikahan ideal bukan seperti pernikahan para selebriti kita yang baru setahun dua tahun menikah lalu bercerai. Menikah tak semudah itu, teman. Karena bukan hanya menyatukan dua hati, dua perbedaan, atau mungkin dua budaya, tapi juga menyatukan dua keluarga, menyatukan dua orang yang tadinya "aku, kamu" menjadi "kita atau kami". Pernikahan adalah berharap mendapat sakinah, mawaddah, dan warahmah. Aib suami menjadi aib istri jadi tidak seenaknya mengumbar aib suami sendiri pada orang lain. Kekurangan suami juga kekurangan istri. Jangan hanya mencintai kelebihannya tapi cintai juga kekurangannya. Pupuklah cinta itu agar mekar setiap hari, jangan hanya mekar setahun, lalu layu berpuluh tahun kemudian. Buku ini mengajarkan banyak hal bahwa ketika mencintai seseorang bersikaplah seperti daun, tidak peduli seberapa kencang angin meluruhkannya, ia merelakan dirinya luruh ke bumi, tak melawan, mengikhlaskannya, penerimaan yang indah.

Tidak ada komentar: