Jumat, 27 Desember 2013

Tsunami dan Aceh

Kemarin tanggal 26 Desember adalah tanggal dan bulan yang akan selalu diingat dan dikenang oleh seluruh masyarakat Aceh. Karena pada tanggal dan bulan itu, kami merasakan duka yang begitu mendalam, walaupun tahun demi tahun berlalu tapi rasa kehilangan tetap ada, rasa ketakutan akan bencana yang sama tak lekang dalam ingatan. Kemarin setiap mesjid-mesjid dibanjiri oleh masyarakat Aceh dari berbagai daerah untuk melakukan zikir bersama, mengirim doa untuk para syuhada korban tsunami yang telah mendahului 9 tahun silam. Dan momen ini akan terus terjadi setiap tanggal 26 Desember. Tak terasa sudah 9 tahun tsunami berlalu, dulu aku masih kelas 1 SMP, aku ingat pagi itu saat gempa terjadi aku sedang menonton film doraemon. Saat merasakan gempa, aku mengira kakakku menjahiliku dengan menggoyang-goyangkan kursinya. Aku celingukan ke sana kemari tapi tak ku temukan siapapun. Dari arah dapur Mamak datang dan mengajakku lari keluar rumah. Saat itu aku begitu ketakutan karena belum pernah sekalipun aku merasakan gempa sekuat itu. Aku mengira hari itu kiamat, apalagi beberapa jam kemudian aku melihat mayat-mayat bergelimpangan. Awalnya kami mengira ada banjir bandang, karena katanya airnya merembes di jalan raya dan semakin lama semakin deras. Aku tidak pernah menyangka kalau ternyata bukan banjir tetapi gelombang tsunami yang maha dahsyat. Walaupun rumahku tidak terkena gelombang tsunami tapi kampung nenekku di Lhokruet, Sampoiniet, habis digulung tsunami, hanya menyisakan sisa-sisa bangunan tanpa atap dan tembok lagi. Saat tsunami terjadi, nenekku berada di rumah bundaku (adik bapak) di Calang, Aceh Jaya. Dan beliau meninggal, tanpa ditemukan mayatnya, begitu juga dengan bunda, oom, dan beberapa sepupuku. Ibu dan 4 orang adik bapak meninggal saat tsunami terjadi dan tidak ada satupun mayatnya yang ditemukan. Saat itu aku melihat bapak begitu berduka dan stress. Makanya sekarang kalau lebaran tiba, aku iri melihat teman-temanku bisa pulang ke kampung orangtuanya, sedangkan aku lebaran hanya bisa di rumah. Kalaupun kita pulang ke Sampoiniet hanya untuk ziarah ke kuburan kakek, dan singgah ke kebun bapak, duduk-duduk sebentar lalu kembali lagi ke Banda Aceh. Makanya kadang-kadang kalau diajak pulang ke sana aku agak malas karena harus pulang-pergi dalam satu hari.
Tsunami membawa banyak duka dan juga suka. Duka karena kehilangan banyak saudara, sahabat, teman, dan kerabat. Tapi sukanya adalah karena tsunami tidak ada lagi konflik senjata di Aceh. Aku tinggal di Banda Aceh, tapi di sekelilingku adalah Aceh Besar, ya aku tinggal di Kopelma Darussalam. Di komplekku ini terbilang aman saat konflik. Tidak ada tentara maupun GAM yang mengganggu atau datang ke rumah kami. Tapi karena kami tinggal di kelilingi Aceh Besar maka tak jarang kami mendengar kontak senjata di malam hari. Terkadang lagi enak-enak tidur, suara kontak senjata terdengar. Mamak langsung membangunkan aku dan menyuruhku untuk tiarap. Mataku seketika terbuka lebar dan langsung tiarap di lantai, jantungku dag dig dug ketakutan. Walaupun tidak pernah diganggu tapi mendengar suara kontak senjata selalu membuatku ketakutan. Apalagi dulu kita tidak pernah bisa menikmati suasana malam dengan nyaman, nggak bisa seperti sekarang dengan bebas keluar malam atau jalan-jalan malam bersama keluarga. Semua lebih memilih diam di rumah. Seperti terpenjara di kota kita sendiri. Dulu juga kalau mau ikutan lomba di majalah susah banget menangnya karena tinggal di Aceh, Band ibukota juga jarang banget mau datang ke sini. Banyak deh suka dukanya saat konflik terjadi. Walaupun aku nggak pernah tahu bahwa konflik RI dan GAM ternyata sudah terjadi selama 32 tahun. Karena aku tinggal di Banda Aceh, aku tidak pernah melihat bagaimana peristiwa konflik yang memakan korban jiwa, aku hanya mendengar kontak senjata sesekali dan demontrasi yang dilakukan mahasiswa, selebihnya bisa dibilang aman. Makanya saat perdamaian MOU Helsinki terjadi, baru saat itulah aku sadar bahwa ternyata konflik di Aceh sudah terjadi selama 32 tahun. Aku tidak pernah mengira bisa selama itu. Kemudian lagi, sukanya itu pembangunan di Aceh semakin banyak karena banyaknya bantuan-bantuan yang datang. Walaupun sedihnya juga ada. Setelah tsunami bukannya maksiat berkurang tetapi malah semakin banyak terjadi. Kadang kalau aku baca berita aku jadi malu sendiri. Aceh yang katanya kota syariat, serambi mekkah, tetapi sikap dan perilaku masyarakatnya masih banyak yang menyimpang. Salah satunya yang membuatku miris adalah masih banyak orang yang berlalu lalang saat azan magrib tiba. Saat salat jumat pun banyak warung kopi yang masih beroperasi, pintunya saja yang ditutup padahal di dalamnya masih banyak pengunjungnya, terutama laki-laki. Dan masih banyak sebenarnya perbuatan maksiat lainnya jika mau lebih peka dan membuka mata. Memang persoalan moral dan akidah susah sekali untuk dikontrol karena itu semua kembali pada setiap individu. Pemerintah boleh mewacanakan program apapun tapi jika dalam diri individunya tidak mau maka sangat sulit untuk dipaksa. Satu harapan yiatu agar kita bisa menjadi individu yang lebih baik, belajar dari pengalaman diri sendiri maupun orang lain, semoga tercipta kedamaian dan kesejahteraan di Bumi Aceh dan semoga para syuhada korban tsunami bisa mendapat tempat terbaik di sisi-Nya, diterima amal ibadahnya, dan dihapuskan segala dosanya.

Tidak ada komentar: