Di masa sekarang ini, penemuan dan hasil olah pikir para filsuf politik telah melahirkan suatu konsep mengenai teori pembagian kekuasaan. Seorang bangsawan Kerajaan Inggris, Lord Acton menyatakan bahwa “Power tend to corrupt, absolut power corrupt absolutely”. Setiap kekuasaan mempunyai kecenderungan untuk menyeleweng dan menindas, kekuasaan yang tidak terbatas akan dapat menimbulkan penyelewengan yang maha dahsyat. Oleh karena itu kekuasaan negara perlu dipisahkan. Pentingnya pemisahan kekuasaan inilah yang kemudian melahirkan teori pemisahan kekuasaan di Eropa. Dengan adanya pemisahan kekuasaan tersebut diharapkan setiap potensi kesewenang-wenangan suatu kekuasaan tidak akan menjadikan tiran baik terhadap rakyat, maupun dalam hubungannya dengan poros-poros kekuasaan lainnya.Kekuasaan memang merupakan suatu kata yang banyak diburu dan dirindukan banyak orang. Begitu memikat dan menariknya pesona kekuasaan hingga setiap orang sangat berambisi untuk meraihnya. Berbagai upaya dilakukan untuk memenuhi ambisi tersebut termasuk menghalalkan segala cara. Kekuasaan menjadi tujuan bukan alat untuk mencapai tujuan. Maka tidak heran jika dunia perpolitikan kita selalu dipenuhi para penggila kekuasaan.
Sejak era reformasi bergulir perilaku para elite negeri ini juga tidak banyak berubah. Mereka berteriak untuk kepentingan rakyat, namun sebenarnya demi memenuhi ambisi pribadi. Dengan alasan persatuan dan keutuhan bangsa, maka para politisi mengembangkan kebiasaan politik dagang sapi. Kebiasaan ini sering memakai istilah koalisi atau aliansi.
Melihat kenyataan ini maka dikembangkannya tradisi oposisi sebagai penyeimbang kekuatan institusi kepresidenan. Selama masa Orde Baru boleh dikatakan praktis tidak ada oposisi karena yang berkuasa hanyalah presiden yang dibantu mesin politiknya. Perbedaan pendapat dibungkam dengan jargon musyawarah untuk mufakat. Setiap orang yang mencoba mengkritik pemerintahan Soeharto akan diproses dengan senjata pamungkas UU Subversif.
Ketika era reformasi bergulir, budaya oposisi juga dinafikan bahkan cenderung ditabukan. Para elite malah sibuk melakukan politik dagang sapi. Hampir semua partai besar yang memperoleh suara cukup signifikan dalam Pemilu 1999 mempunyai wakil di kabinet. Anggota DPR juga hanya kritis pada menteri yang berbeda partainya namun kompromi pada rekan separtai.
Maka tidak heran jika batasan antara partai yang memerintah (rulling party) dan partai oposisi (opposition party) menjadi kabur. Padahal seharusnya dalam suatu pemerintahan yang baik perlu ada perimbangan kekuatan karena kekuatan yang mutlak (absolutely power) cenderung untuk disalahgunakan. Partai oposisi dirasa perlu, karena dalam kenyataan politik ada yang berkuasa dan ada yang berada diluar kekuasaan. Nah, yang berada diluar kekuasaan inilah yang bertugas mengontrol, atau memberikan alternatif kebijakan kepada mereka yang berkuasa, sehingga rakyat mempunyai pilihan-pilihan kebijakan.
Sesuai dengan pendapat Lord Acton di atas mengenai kecenderungan kekuasaan absolut untuk menyalahgunakan kekuasaannya, maka adalah John Locke, seseorang yang dianggap oleh para ilmuwan politik modern sebagai penggagas teori pembagian kekuasaan (Separation of power theory) yang dirumuskan dalam sebuah karya monumental, yang berjudul Two Treties on Civil Governments (1690) dengan konsepnya Trias Politika. Tujuan John Locke menulis buku ini, berkaitan dengan kritiknya terhadap kekuasaan absolut dari Raja-raja Stuart di Inggris, serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang pada 1688 yang telah dimenangkan parlemen Inggris. Konsep Trias politika oleh John Locke, menjelaskan mengenai tiga macam kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (Rulemaking Function), kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application function), termasuk di dalamnya adalah kekuasaan untuk mengadili (rule adjudication function), dan kekuasaan federatif ialah kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dengan hubungannya bersama negara lain (hubungan luar negeri). Setelah John Locke baru beberapa puluh tahun kemudian filsuf Prancis, Montesquieu mengembangkan konsep pemikiran John Locke ini dalam buku L’Esprit des Lois (The Spirit of Law) pada 1748. Dalam buku tersebut, Mostesquieu menuangkan idenya mengenai suatu sistem pemerintahan yang menjamin hak-hak warga negaranya, termasuk terjaminnya kebebasan dari sifat despostis raja-raja bourbon. Sama seperti John Locke, dalam teori pembagian kekuasaannya, Montesquieu menguraikan pembagian kekuasaan dalam tiga bentuk, yaitu : kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengadili atas pelanggaran undang-undang. Berbeda dengan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, Montesquieu menganggap kekuasaan yudikatif sebagai bahan pengadilan yang berdiri sendiri. Hal ini terjadi karena Mostesquieu sebagai seorang hakim ketika itu, menyadari bahwa kekuasaan eksekutif jauh berbeda dengan kekuasaan yudikatif. Dan sebaliknya pula, bahwa hubungan luar negeri yang oleh John Locke dipisahkan dalam kekuasaan federatif, maka oleh Montesquieu dimasukkan kedalam kekuasaan eksekutif.
Menurut Montesqueiu, ketiga jenis kekuasaan itu haruslah terpisah satu sama lain baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) penyelenggaraan kegiatan. Kebebasan badan yudikatif adalah poin yang ditekankan oleh Montesquieu, karena di sinilah letak kemerdekaan individu dan hak asasi manusia itu dijamin dan dipertaruhkan. Kekuasaan legislatif menurutnya adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan undang-undang, sedangkan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Montesquieu menguraikan teorinya tentang ‘Trias Politica’ itu berdasarkan atas pengalamannya di Inggris, dimana sistem ‘Parlementer’ telah mulai berkembang sejak tahun 1688, yaitu sejak ‘Glorious-Revolution’ di Inggris. Keadaan di Perancis yang masih serba ‘autokratis’ dan absolut adalah sangat berbeda.
Raja Perancis memusatkan segala kekuasaan negara dalam dirinya. Raja membuat undang-undang, menjalankan, dan turut campur dalam penangkapan-penangkapan. Dengan ‘lettres des cachet’, yaitu surat buta biasa, Raja dapat menangkapi orang dan mempersalahkannya. Hakim yang bebas tak ada sama sekali. Rakyat hidup gelisah seperti pada jaman Kenpetai. Keadaan di Perancis perlu diubah menurut Montesquieu. Kekuasaan raja harus dibatasi sebagai kepala eksekutif saja, dan tak boleh campur tangan urusan-urusan lainnya.
Teori Montesquieu ini menjadi dasar dari ‘Konstitusi Amerika’ yang melepaskan diri dari ikatan penjajahan Inggris pada tahun 1778. Di Amerika lah ajaran Montesquieu itu dilaksanakan. Presiden USA sebagai kepala eksekutif memegang kedaulatan sendiri yang terpisah dari kedaulatan-kedaulatan legislatif dan yuridis.
Dalam teori pemisahan kekuasaan trias politica, masing-masing organ atau kekuasaan negara harus dipisah, karena memusatkan lebih dari satu fungsi pada satu orang atau organ pemerintah akan membahayakan kebebasan individu. Sebagian besar negara-negara didunia telah mengadopsi teori ini, namun tentu saja dengan corak dan modifikasi yang berbeda satu sama lain, disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik masing-masing negara. Modifikasi ini antara lain terlihat dengan adanya ajaran pembagian kekuasaan dan ajaran check and balances.
Meskipun konsep tiga kekuasaan kedalam eksekutif, legislatif dan yudikatif tersebut dimunculkan ratusan tahun yang lalu, namun esensi dan fungsi pembagian kekuasaan itu masih tetap relevan hingga kini. Memang tidak semua negara didunia yang mengadopsi pembagian atau pemisahan kekuasaan negara sebagaimana trias politika mencaplok konsep tersebut secara mentah-mentah. Namun paling tidak, sebagian besar negara-negara di dunia tersebut mempunyai lembaga-lembaga negara yang mirip dengan lembaga-lembaga seperti yang ada dalam teori trias politika . Agaknya diseluruh dunia, dari zaman kezaman gagasan pemencaran kekuasaan kekuasaan ini dituruti . Namun demikian Amerika Serikat-lah yang paling sungguh-sungguh untuk melaksanakan teori pemisahan kekuasaan seperti dikemukakan oleh Montesqueiu. Sebagai negara hukum sekaligus negara demokratis, Indonesia juga sedikit banyak terpengaruh dengan ajaran trias politika. Namun sebagaimana diuraikan diatas, bahwa penerapan ajaran trias politika di berbagai negara memiliki corak yang berbeda satu sama lain, begitu pun di Indonesia. Gagasan-gagasan trias politika tampak sekali dalam batang tubuh (pasal-pasal) UUD 45. Apa yang melatari hal tersebut?, karena sejak semula Founding Fathers Indonesia telah mengkonstruksikan bahwa bangunan negara yang hendak didirikan di Nusantara ini adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Sementara itu dalam negara hukum, pemencaran kekuasaan politik negara adalah keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Prinsip-prinsip negara hukum menghendaki adanya pembatasan kekuasaan dalam negara melalui hukum. Karena pada prinsipnya yang memerintah bukanlah manusia, melainkan hukumlah yang memimpin.
Menurut pandangan saya, teori trias politika juga tidaklah begitu sempurna, terdapat kelemahan yang Montesquieu sendiri tidak memberikan jalan keluarnya. Pemisahan kekuasaan secara mutlak tidak menjamin bahwa masing-masing poros kekuasaan tidak akan melampaui batas-batas kewenangannya. Kekuasaan yang berjalan tanpa pengawasan kemungkinan juga akan menghadirkan penyelewengan-penyelewengan. Artinya jika masing-masing lembaga terpisah secara mutlak, tidak ada hubungan saling mengawasi satu sama lain, maka kecenderungan juga akan menimbulkan bencana bagi demokrasi.
Artinya pemisahan kekuasaan itu perlu, agar tidak terjadi kekuasaan absolut yang dipegang oleh satu orang. Namun, meskipun terpisah juga harus saling terkait agar dalam pelaksanaannya tetap bisa saling mengawasi. Sehingga proses demokrasi bisa tetap berjalan dengan semestinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar