Kemarin, Kamis (10/05/12) Pemerintahan Mahasiswa (PEMA)
Universitas Syiah Kuala bekerja sama dengan koalisi NGO HAM Aceh, ICTJ, dan BEM
FH Unsyiah menggelar acara diskusi publik : Kampanye Melawan Lupa “Kebenaran
Untuk Masa Depan”
Diskusi ini membahas tentang pelanggaran HAM yang terjadi di
Aceh beberapa tahun silam. Dengan menghadirkan pemateri bapak Saifuddin
Bantasyam, S.H., M.A dan bapak Murtala selaku narasumber sekaligus salah
seorang korban tragedi simpang KKA di Aceh Utara. Beliau juga menjabat sebagai ketua
Komunitas Korban Pelanggaran HAM Aceh Utara (K2HAU). Sejalan dengan tema dalam
diskusi ini yakni ‘Kebenaran untuk Masa Depan” maka kita sebagai masyarakat
Aceh harus tahu dan ingat akan sejarah pelanggaran HAM yang pernah terjadi di
Aceh. Sejarah bukan untuk dilupakan tetapi untuk dikenang dan diakui demi masa
depan yang lebih baik. Dalam diskusi tersebut bapak Murtala mengungkapkan
harapannya agar pemerintah segera membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
seperti yang telah diamanatkan oleh MoU Helsinki dan Undang-Undang No.11/2006
tentang Pemerintah Aceh. Selama ini banyak pihak yang tidak mengakui telah
terjadi pelanggaran HAM berat di Aceh. Untuk itulah, para korban pelanggaran
HAM tersebut terus memperjuangkan dan berusaha mengungkapkan kebenaran bahwasanya
pelanggaran itu benar adanya. Yang mereka inginkan hanyalah sebuah keadilan.
Koalisi NGO HAM Aceh mencatat setidaknya ada 1.349 kasus pelanggaran HAM masa
lalu dari 14 kabupaten dan kota. Ada penganiayaan, kekerasan, pemerkosaan,
penculikan, pembunuhan, dan lain-lain. Di rasakan, selama ini pemerintah kurang
serius dalam menyelesaikan kasus ini. Bahkan seakan ingin menutup celah terkait
isu pelanggaran HAM tersebut. Untuk itulah, acara diskusi ini digelar, agar
para mahasiswa “melek” dan tidak lupa bahwa dulu pernah terjadi pelanggaran HAM
berat di Aceh. Para korban berharap dengan dibentuknya KKR nantinya dapat
mengungkap siapa saja pelaku yang bertanggungjawab dalam tragedi-tragedi
tersebut. Dan pelaku dapat dipertemukan dengan para korban untuk meminta maaf.
Pengungkapan kebenaran itu bukan untuk pembalasan dendam ataupun untuk
membangkitkan trauma masa lalu, tetapi agar dunia tahu realita yang sebenarnya
terjadi. Indonesia merupakan negara hukum. Maka sudah sepatutnyalah kebenaran
ditegakkan dibawah payung hukum.
1 komentar:
iya, sama-sama. semoga bermanfaat. makasi juga udah berkunjung :)
Posting Komentar