Jumat, 11 Mei 2012

Diskusi Publik tentang Kasus Pelanggaran HAM di Aceh


Kemarin, Kamis (10/05/12) Pemerintahan Mahasiswa (PEMA) Universitas Syiah Kuala bekerja sama dengan koalisi NGO HAM Aceh, ICTJ, dan BEM FH Unsyiah menggelar acara diskusi publik : Kampanye Melawan Lupa “Kebenaran Untuk Masa Depan”
Diskusi ini membahas tentang pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh beberapa tahun silam. Dengan menghadirkan pemateri bapak Saifuddin Bantasyam, S.H., M.A dan bapak Murtala selaku narasumber sekaligus salah seorang korban tragedi simpang KKA di Aceh Utara. Beliau juga menjabat sebagai ketua Komunitas Korban Pelanggaran HAM Aceh Utara (K2HAU). Sejalan dengan tema dalam diskusi ini yakni ‘Kebenaran untuk Masa Depan” maka kita sebagai masyarakat Aceh harus tahu dan ingat akan sejarah pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Aceh. Sejarah bukan untuk dilupakan tetapi untuk dikenang dan diakui demi masa depan yang lebih baik. Dalam diskusi tersebut bapak Murtala mengungkapkan harapannya agar pemerintah segera membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) seperti yang telah diamanatkan oleh MoU Helsinki dan Undang-Undang No.11/2006 tentang Pemerintah Aceh. Selama ini banyak pihak yang tidak mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat di Aceh. Untuk itulah, para korban pelanggaran HAM tersebut terus memperjuangkan dan berusaha mengungkapkan kebenaran bahwasanya pelanggaran itu benar adanya. Yang mereka inginkan hanyalah sebuah keadilan. Koalisi NGO HAM Aceh mencatat setidaknya ada 1.349 kasus pelanggaran HAM masa lalu dari 14 kabupaten dan kota. Ada penganiayaan, kekerasan, pemerkosaan, penculikan, pembunuhan, dan lain-lain. Di rasakan, selama ini pemerintah kurang serius dalam menyelesaikan kasus ini. Bahkan seakan ingin menutup celah terkait isu pelanggaran HAM tersebut. Untuk itulah, acara diskusi ini digelar, agar para mahasiswa “melek” dan tidak lupa bahwa dulu pernah terjadi pelanggaran HAM berat di Aceh. Para korban berharap dengan dibentuknya KKR nantinya dapat mengungkap siapa saja pelaku yang bertanggungjawab dalam tragedi-tragedi tersebut. Dan pelaku dapat dipertemukan dengan para korban untuk meminta maaf. Pengungkapan kebenaran itu bukan untuk pembalasan dendam ataupun untuk membangkitkan trauma masa lalu, tetapi agar dunia tahu realita yang sebenarnya terjadi. Indonesia merupakan negara hukum. Maka sudah sepatutnyalah kebenaran ditegakkan dibawah payung hukum.

1 komentar:

Cut Liza mengatakan...

iya, sama-sama. semoga bermanfaat. makasi juga udah berkunjung :)