Rabu, 08 Mei 2013

SEJARAH MEDIA DAN SEJARAH HUKUM MEDIA DI INDONESIA


 A.      SEJARAH MEDIA MASSA

Media massa yang pertama lahir adalah media cetak. Dengan mesin percetakan maka dapat diterbitkan buku, surat, dan selebaran. Pada tahun 1440, Johan Gutenberg seorang bangsa Jerman menemukan alat mesin cetak (metal). Meskipun pada saat itu mesin cetak tersebut juga bisa mencetak surat kabar, namun surat kabar yang sederhana baru ditemukan di London tahun 1620.
Surat kabar pada mulanya adalah sarana komunikasi tertulis berupa surat menyurat dalam bidang diplomasi dan perdagangan. Pada mulanya surat kabar memang diterbitkan oleh sebuah penerbit dan dikirimkan kepada orang-orang tertentu, sehingga yang membaca surat kabar itu diketahui secara personal. Kemudian, surat kabar berkembang dengan pesat tatkala penerima surat yang dituju bersifat anonim, karena surat kabar telah dicetak dalam jumlah banyak. Sebagaimana awalnya, surat kabar merupakan kegiatan untuk diplomasi dan perdagangan. Karena itu, surat kabar memiliki dua sisi yaitu sisi poliitik dan ekonomi/bisnis. Pengaruh politik surat kabar disebabkan karena isinya dapat memengaruhi pendapat umum. Sedangkan untuk menjalankan usaha penerbitan harus didukung oleh kekuatan modal yang memadai.
Teknologi telekomunikasi pertama lahir tahun 1844 ketika Samuel Morse mengirimkan pesan melalui alat telegraph yang pertama dari Washington DC ke Baltimore, 24 Maret 1844. Dengan ditemukannya telegram ini maka berkembang istilah komunikasi yang memiliki arti berbeda dengan transportasi. Sebelum sitemukan teknologi telegram, kata “transportasi” memiliki dua makna sekaligus yaitu pengiriman barang melalui kendaraan pengangkut barang/manusia dan pengiriman pesan komunikasi dalam arti yang sekarang. Penemuan ini kemudian disusul oleh Alexander Graham Bell, yang pada tahun 1876 pertama kalinya megirim pesan melalui pesawat telepon dengan kabel.
Tak lama kemudia ahli fisika Jerman Heinrich Rudolp Hertz menemukan bahwa energi dapat dikirim tanpa melalui kabel. Nama Hertz kemudian diabadikan dalam satuan gelombang radio.
Pada saat yang bersamaan di Italia, seorang anak yang masih berumur 21 tahun bernama Guglielmo Marconi menemukan pula teknologi radio. Namun di Italia, Marconi tidak diakui, ia lalu pergi ke Inggris dan mendirikan usaha Wireless Telegraph Signal Company tahun 1896. Dalam perjalanan sejarah orang lebih mengenal Marconi sebagai penemu radio daripada Hertz.
Lima tahun kemudian, signal radio Marconi bisa menjangkau benua Amerika. Dan ia memperoleh pelanggan baru yaitu Angkatan Laut Amerika Serikat. Dengan berkembangnya teknologi radio, maka bermunculanlah sejumlah radio amatir yang begitu banyak. Akibatnya frekuensi gelombang radio milik Angkatan Laut AS sering bertabrakan dengan radio amatir. Pemerintah AS kemudian turun tangan dan membuat peraturan baru bernama Radio Act 1912. Undang-undang ini antara lain mengatur bahwa para penyelenggara radio harus memiliki izin sebelum siaran, penggunaan frekuensi harus diawasi dan penggunaannya harus dengan izin teknis, Presiden AS memiliki wewenang untuk menutuk stasiun radio.
Setelah Perang Dunia I jumlah stasiun radio di AS semakin banyak. Tahun 1924 sudah terdapat 5.000 stasiun radio. Demikian sengitnya persaingan hingga radio dijuluki sebagai menara omong (a tower of bable).
Keadaan inilah yang kemudian mendorong dilakukannya revisi terhadap Radio Act 1927. Dalam UU yang baru itu terdapat beberapa ketentuan baru, diantaranya: gelombang frekuensi dinyatakan sebagai sumber daya alam yang harus dilindungi dan dijaga. Karena itu, penggunaan frekuensi harus bermanfaat bagi masyarakat. Radio Act 1927 juga membentuk Federal Radio Comission (FRC) yang memiliki wewenang membuat peraturan bidang ke-radio-an, membuat klasifikasi radio, merumuskan bentuk acara dan mengawasi penggunaan frekuensi.
Terbentuknya FRC inilaih awal dari munculnya lembaga regulatory body yang independen dan bertugas mengatur dunia penyiaran. FDR kemudian diubah menjadi Federal Communication  Commision (FCC) berdasarkan Communication Act 1934. FCC bertugas untuk mengatur tentang komunikasi secara luas, tidak hanya radio. FCC kemudian menjadi model lembaga regulasi penyiaran di dunia, termasuk menjadi salah satu acuan ketika Indonesia, sekitar 70 tahun kemudian, merumuskan sebuah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada tahun 2002.

B.       PERKEMBANGAN HUKUM MEDIA
Hukum pers yang berkembang di Indonesia dari masa Hindia Belanda sampai masa reformasi adalah hukum pers cetak. Sedikit sekali disinggung mengenai hukum pers penyiaran. Namun dengan makin berkembangnya media penyiaran juga berkembang kajian media penyiaran dan media cetak. Ada beberapa penyebab terjadinya ketimpangan dunia penyiaran dibandingkan jurnalistik cetak. Pertama, pers cetak lahir lebih dahulu daripada pers penyiaran. Hal ini juga dikarenakan perkembangan teknologi penyiaran yang baru ditemukan sekitar 4 abad setelah teknologi cetak. Di Indonesia, pers cetak pertama kali terbit tahun 1744, satu abad setelah koran pertama terbit di London. Sementara media penyiaran radio baru dikenal setelah Perang Dunia I, tahun 1920-an. Pers penyiaran yang berorientasi pada pemerintah tidak menimbulkan persoalan hukum dan politik dengan pemerintah. Sebaliknya pers cetak memiliki banyak persoalann itu dalam berhadapan dengan pemerintah. Karena itu pers cetak memerlukan semacam “perlindungan hukum” yang lebih pasti. Kedua, sejak masa kemerdekaan, media penyiaran di Indonesia berpuluh-puluh tahun dikuasai pemerintah, sehingga pers penyiaran juga merupakan pers pemerintah.
Media elektronik televisi hingga akhir tahun 1980-an dan media radio hingga akhir 1990-an tidak cukup berkembang, karena bagian dari kepentingan pemerintah sehingga tidak punya kekuatan untuk melakukan pengawasan sosial. Dengan kata lain, media cetak berada pada lorong yang penuh risiko berhadapan dengan pemerintah dan masyarakat. Inilah mengapa hukum media yang berkembang di Indonesia adalah hukum pers (cetak) saja.

C.      SEJARAH MEDIA DI INDONESIA
Sejarah pers di nusantara baru dimulai sejak abad ke-8 ketika Gubernur Jenderal Ban Imhoff mendirikan Bataviasche Nouvels tahun 1744. Sekitar 90 tahun pertama, pers di nusantara disebut pers putih, karena pers yang ada diterbitkan dan dikelola oleh orang Belanda. Pers waktu itu berisi tentang kehidupan orang Eropa yang tidak ada sangkut pautnya dengan kaum pribumi. Namun, sejak tahun 1854 mulai timbul surat kabar berbahasa Melayu, para wartawan peranakan Eropa, Tionghoa, dan pribumi mulai terlibat, meskipun dominasi Belanda masih kuat.
Sejarah hukum media di Indonesia dimulai sejak keluarnya peraturan hukum tentang media yang pertama di Indonesia, yaitu tatkala Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie tahun 1856.
Isi atau materi hukum media yang pernah berlaku di Indonesia bisa dibedakan dalam beberapa materi berikut :
Pertama, hukum yang memberi kewenangan penguasa untuk melakukan sensor preventif. Sensor preventif adalah sensor yang dilakukan sebelum sebuah media diterbitkan. Kedua, hukum media yang memberi kewenangan kepada penguasa untuk menutup atau membreidel sebuah media. Ketiga, hukum media yang memberi kewenangan penguasa untuk mengeluarkan dan mencabut izin dan sebaliknya juga mewajibkan media untuk mendapatkan izin sebelum menerbitkan medianya. Keempat, hukum media yang berisi jaminan kebebasan pers atau kebebasan media.
Hukum media yang dimaksud di atas adalah hukum media cetak (pers). Dilihat dari sifat isi peraturannya, sejarah hukum media dapat dibagi dalam tiga periode. Pertama, periode sensor preventif. Periode ini dimulai sejak keluarnya peraturan pertama tentang pers yang mengatur sensor preventif sampai dicabutnya peraturan itu (1856-1906) dan dilanjutkan pada zaman Jepang (1942-1945). Kedua, periode perizinan/pemberedelan. Periode ini berlangsung sejak kedatangan Jepang (19540-1942) dan berlanjut ketika terjadi pemberedelan 13 penerbitan pada masa akhir Demokrasi Liberal sampai berakhirnya Orde Baru (1957-1998). Ketiga, periode kebebasan pers. Periode ini dimulai sejak Republik Indonesia diproklamasikan hingga menjelang berakhirnya Demokrasi Liberal (1945-1957) dan dilanjutkan pada masa reformasi (1998-sekarang). Ketiga periode tersebut tidak dalam suatu pembatasan waktu yang ketat, karena pada masa yang disebut “kebebasan pers” terdapat upaya-upaya untuk mengekang pers.
Periode Hukum Sensor Preventif

1.        Zaman Hindia Belanda (1856-1906)
Hukum media yang mengatur sensor preventif pertama kali diterapkan pada zaman Hindia Belanda pada tahun 1856. Peraturan ini mewajibkan semua karya cetak sebelum diterbitkan harus dikirim lebih dulu kepada pemerintah setempat, pejabat hukum, dan algemeene secretarie. Bila ketentuan ini tidak dipatuhi, maka karya cetak tersebut disita. Sekitar setengah abad kemudian, Drukpers-regelement ini diganti dengan ketentuan hukum yang mengatur sensor represif yang bernama Presbreidel Ordonnantie (7 September 1931).

2.        Zaman Jepang (1942-1945)
Ketentuan hukum yang bersifat sensor preventif muncul kembali pada masa pendudukan Jepang dengan keluarnya Undang-undang No.16 Tentang Sarana Publikasi dan Komunikasi. Pasal 1 UU No.16 menyatakan bahwa semua jenis barang cetakan harus memiliki izin publikasi atau izin terbit. Kantor sensor pers terdapat di Jakarta, Bandung, Yogyakarta (Surakarta), dan Surabaya. Sanksi bagi pelanggaran ketentuan itu diancam dengan hukuman satu tahun penjara atau denda maksimal Rp 1.000.

3.        Kondisi Media Penyiaran
Media penyiaran belum muncul di masa pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa berlakunya sensor preventif zaman Jepang, media penyiaran telah berkembang. Pada zaman Jepang, orang Indonesia mendapat kesempatan untuk terlibat kegiatan penyiaran. Inilah awal dari penggunaan media penyiaran radio oleh para pejuang kemerdekaan.

Periode Hukum Perizinan dan Pemberedelan
1.        Pendahuluan
Pada periode ini, hukum yang berlaku adalah hukum yang mewajibkan media untuk memperoleh izin terlebih dulu sebelum menerbitkan medianya. Bila media tidak memiliki izin, maka penguasa berhak memberedel. Ketentuan tentang perizinan mengatur tentang kewajiban media untuk mendapatkan izin dari penguasa sebelum menerbitkan medianya. Ketentuan pemberedelan adalah peraturan yang memberi kewenangan penguasa untuk menutup media massa dengan alasan-alasan tertentu. Dalam periode hukum ini, secara politis-administrasi ternagi dalam zaman Kolonial Belanda (1906-1945), akhir era Demokrasi Liberal hingga Era Orde Lama (1957-1966) dan era Orde Baru (1966-1998).
Berikut ini perkembangan tentang hukum pemberedelan pers Indonesia.

2.        Zaman Belanda (1906-1945)
Sensor preventif yang diterapkan pada pertengahan abad ke-19 dipandang tidak layak lagi untuk diterapkan. Drukpers-reglement kemudian dicabut/diganti dengan Peraturan tahun 1906. Dalam peraturan ini sensor preventif dicabut dan diganti dengan kewajiban penyerahan barang-barang cetakan dalam waktu 24 jam setelah diterbitkan. Dua puluh lima tahun kemudian Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ketentuan baru bernama Presbreidel Ordonantie (7 September 1931). Sensor preventif dicabut dan sensor represif diterapkan. Pasal 2 Ordonansi itu menyatakan bahwa Gubernur Jenderal berhak melarang percetakan, penerbitan, dan penyebaran sebuah surat kabar paling lama 8 hari. Tetapi jika sudah terbit dan dinilai mengganggu ketertiban umum, maka larangan terbit bisa diperpanjang maksimal 30 hari.
Pada saat Persbreidel Ordonansi berlaku, di Indonesia sejak 1 Januari 1918 diterapkan unifikasi hukum pidana di mana Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku untuk seluruh penduduk di Indonesia. Sebelumnya, sejak 1876 berlaku dualisme hukum pidana, yaitu hukum pidana yang berlaku untuk pribumi dan untuk Belanda. Dengan berakhirnya dualisme itu maka berlaku satu wetbook van strafrech (KUHP).

3.        Kondisi Penyiaran (1920-1930)
Salah satu ciri yang menonjol dari media massa di Indonesia pada masa kolonial adalah sifat patriotik anti penjajahan. Keterlibatan media dalam gerakan-gerakan anti penjajahan menjadi bagian yang tidak terpisahkan, baik media cetak maupun elektronik.
Satu pendapat mengatakan, dunia penyiaran di Indonesia dimulai pada masa pemerintahan Belanda dengan berdirinya Radio Malabar, milik Perusahaan Telepon dan Telegraph Hindia Belanda, di Bandung, pasca Perang Dunia I. namun pendapat lain mengatakan bahwa radio pertama adalah Bataviasche Radio Vereneging (BRV) berdiri di Jakarta pada tanggal 16 Juni 1925. Di kalangan bangsa Indonesia kemudian juga tumbuh kesadaran untuk mendirikan radio sendiri yang dikenal dengan istilah radio “Ketimuran”, karena mereka menyiarkan kebudayaan Belanda (Barat). Stasiun radio itu adalah Soloche Radio Veregening  (SRV), didirikan di Surakarta pada tahun 1933; Veregening voor Oesterse Radio Luisteraas (VORO) di Bandung pada tahun 1934, Mataram Vereneging voor Radio Oemroep (MARVO) di Yogyakarta pada tahun 1934 dan sebagainya.

4.        Akhir Demokrasi Liberal dan Orde Lama (1957-1966)
Pada masa Demokrasi Liberal, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), selaku penguasa militer mengeluarkan Peraturan KSAD No PKM/001/0/1956. Peraturan ini berisi larangan menerbitkan kecaman-kecaman terhadap Presiden, Wakil Presiden, pejabat pemerintah, pegawai negeri, dan penghinaan terhadap golongan masyarakat yang dapat menerbitkan keonaran. Tapi kemudian peraturan ini dicabut karena diprotes para wartawan. Namun pemberedelan tetap terjadi pada bulan September 1957. Sepuluh surat kabar dan tiga kantor berita serentak ditutup yaitu : Indonesia Raya, Harian Rakyat, Bintang Timur, Pemuda, Djiwa Baru, Merdeka, Pedoman, Abadi, Keng Po, Java Bode, Pers Biro Indonesia (PIA), Antara, dan Indonesian National Press and Public Society (INPS).
Ketentuan tentang perizinan surat kabar/majalah kembali keluar pada tahun 1960. Ketentuan ini disebut “Peraturan PEPERTI No.10 tahun 1960 tentang izin Penerbitan Surat Kabar dan Majalah”. Bagi surat kabar atau majalah yang melanggar “dapat dirampas dan atau dimusnahkan“ (pasal 4).
Keluar juga “Pedoman Peperti untuk Penerbitan Surat Kabar dan Majalah Seluruh Indonesia”. Dalam pedoman itu disebutkan kewajiban-kewajiban penerbitan sebanyak 8 butir, yaitu berisi kewajiban mendukung dan membela Manifesto Politik yang telah menjadi haluan negara dan wajib menyebarluaskan Manifesto Politik tersebut. Ketentuan ini berlaku hingga tahun 1966 ketika diundangkannya UU No. 11 Tahun 1966 tentang Pokok Pers UU Pokok Pers mencabut Penpres No. 6/1963.

5.        Kondisi Media Penyiaran
Televisi Republik Indonesia (TVRI) didirikan di Jakarta, 24 Oktober 1962. Tanggal itu kemudian disebut sebagai hari televisi nasional. Pada masa kepemimpinan Bung Karno, televisi masih belum terlalu berpengaruh. Bahkan ketika terjadi perebutan kekuasaan antara TNI-AD, PKI dan Bung Karno dalam peristiwa G30S/PKI, media massa yang menjadi perebutan adalah stasiun RRI. Pada periode Soekarno, media penyiaran radio masih tetap memegang peranan penting dibandingkan televisi.

 6.        Zaman Orde Baru (1966-1998)
Kehidupan pers pada awal Orde Baru ditandai dengan berlakunya UU No. 11 Tahun 1966 tentang Pokok-pokok Pers. UU Pokok Pers mencabut Penpres No. 6/1963. Pasal 4 UU Pokok Pers secara tegas menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pemberedelan. Pasal 5 (1) berbunyi bahwa kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga negara dijamin. Pasal 20 “Peraturan Peralihan” berbunyi: Dalam masa peralihan keharusan mendapat Surat Izin Terbit (SIT) masih berlaku sampai ada keputusan pencabutannya oleh pemerintah dan DPR-GR.  Dalam perkembangannya, UU No.11/1966 di tengah jalan diubah dengan UU No. 4 Tahun 1967. Lebih dari 10 tahun UU Pokok Per situ kemudian diubah dengan UU No.21 Tahun 1982. Perubahan itu antara lain adalah pada ketentuan tentang perizinan. Surat izin cetak dan surat izin terbit dihapuskan. Tetapi kemudian muncul Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Pasal 13 ayat 5, UU No.21 tahun 1982 berbunyi bahwa penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers harus memiliki SIUPP yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kemudian, keluar Peraturan Menteri Penerangan No.1 Tahun 1984. Dengan peraturan itu Menteri berhak membatalkan SIUPP. Meskipun Permenpen dianggap bertentangan dengan UU Pers, namun ketentuan ini tetap berlaku hingga jatuhnya Orde Baru, tahun 1998.

7.        Kondisi Media Cetak
Pers di masa awal Orde Baru pernah mengalami masa kebebasan meski berada dalam rezim hukum perizinan. Pada awal Orde Baru, pers mengalami kebangkitan baik dari segi jumlah maupun isi media. Kritik yang tajam, berita yang panas mewarnai media cetak Indonesia pada tahun 1966-1974. Namun setahun kemudian kondisinya sudah berubah.

Salah satu penyebab utama dari menurunnya produktivitas media di Indonesia pada saat itu adalah situasi ekonomi yang memburuk akibat terkena inflasi yang tinggi.
Dilanjutkan dengan adanya peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari). Koran-koran yang semula vocal menjadi lembek, membisu, dan sejumlah Koran tidak bisa berkata apa-apa karena sudah ditutup, pasca Malari.
Perubahan di bidang sosial budaya, ekonomi, dan politik, pola komunikasi dan transportasi pusat-daerah dan daerah-daerah sangat membantu distribusi surat kabar. Menurut Jacob, pendiri dan pemimpin Harian Kompas, surat kabar harus mampu membiayai sendiri usahanya. Bila surat kabar menggantungkan diri pada subsidi, maka ia tidak akan independen. Surat kabar juga harus dijual, agar orang bisa menghargai pers.
Terdapat tiga kelompok besar media massa yang mampu bertahan pada masa Orde Baru. Ada Kelompok Kompas Gramedia (KKG), Sinar Harapan Group, dan Tempo-Jawa Pos Group. Pada tahun 1980 muncul dua pengusaha yang sebelumnya tidak bergerak di bidang media massa, yaitu Surya Paloh dan Sutrisno Bachir.
Surya Paloh menggandeng keluarga Cendana dan mendirikan Prioritas yang diberedel, kemudian mendirikan Realitas dan Media Indonesia. Sedangkan Sutrisno Bachir mendirikan Ika Muda Group yang membeli SIUPP Berita Buana.

1.        Kondisi Media Penyiaran
Pada masa Orde Baru muncul banyak stasiun radio swasta di Indonesia. Namun perkembangannya mengalami kemandekan karena radio swasta dilarang menyiarkan berita kecuali merile dari RRI. Kondisi ini berlangsung hingga berakhirnya Orde Baru. Menginjak decade 1970-an media penyiaran televisi berkembang pesat. Pertama, TVRI mulai membangun stasiun dan pemancar di daerah dan menggunakan teknologi satelit. Kedua, pemerintah mengizinkan TV swasta mengudara. Hal inilah yang membuat dinamika TV swasta lebih tinggi daripada radio swasta. Namun sayangnya, kehadiran TV swasta tidak didahului dengan kebijakan penyiaran nasional, sehingga pemerintah mudah didikte pemilik TV swasta.

2.        Perkembangan Pertelevisian di Indonesia
Pertelevisian di Indonesia dimulai sejak tahun 1962 ketika pemerintah mendirikan Televisi Republik Indonesia (TVRI). TVRI melakukan siaran percobaan dengan menggunakan momentum Peringatan Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 1962 di Istana Merdeka, sebelum melaksanakan siaran kegiatan Asian Games ke IV di Jakarta. Peralatan pertama yang dimiliki adalah sebuah transmitter (+antena), peralatan studio buatan NEC (Nippon Electronic Company) seharga US$ 330.000 dan satu mobil. Di Jakarta terdapat sekitar 10.000 unit pesawat televisi hitam putih terjual dua bulan sebelum pelaksanaan Asian Games. Tahun pertama TVRI hanya mengudara satu jam per hari dari Senin sampai Jumat dengan jangkauan siaran Jakarta dan sekitarnya (590 km2) atau hanya sekitar 0,03 persen dari wilayah Indonesia.

3.        Era TV Swasta
Tahun 1989 berdiri stasiun televisi swasta pertama. Tidak adanya kebijakan penyiaran nasional dan kuatnya pengaruh kaum industrialis televisi kala itu, membuat runyam dunia penyiaran Indonesia hingga kehilangan orientasi. Pihak yang berhasil memperoleh izin pendirian televisi swasta pertama adalah putra Presiden Suharto, Bambang Trihatmojo. TV swasta itu kemudian diberi nama Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI). Jangkauan RCTI hanya sampai Jakarta dan sekitarnya. Siarannya hanya dapat diperoleh melalui peralatan khusus (decoder). Karena peralatan itu merepotkan penonton untuk mengaksesnya, maka keluar SK Menteri Penerangan yang menyatakan bahwa RCTI adalah televisi umum (free air TV), dimana penonton tidak perlu menggunakan decoder untuk menangkap siaran televisi. Lalu muncul televisi lokal lain yaitu Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), Surya Citra Televisi (SCTV) di Surabaya dan Andalas Televisi (ANTeve) di Lampung. Izin siaran nasional diperoleh berdasarkan SK Menpen No.111 tahun 1990 yang menyatakan bahwa sistem penyiaran nasional dibagi dua, yaitu Televisi Pendidikan Indonesia yang berjangkauan siaran nasional dan TV lokal yaitu RCTI, SCTV, dan ANTeve. Kemudia pemerintah menambahkan SK Menteri itu dengan menambahkan jenis televisi baru yaitu televisi yang mempunyai kekhususan bidang siaran ekonomi. SK Menteri Penerangan No. 84 A/tahun 1992 membagi tiga siaran televisi yaitu Pertama, Televisi Pendidikan yaitu TPI. Kedua, TV lokal yaitu RCTI, SCTV, Anteve, dan ketiga, televisi yang menekankan bidang ekonomi yang berjangkauan nasional.
 Tahun berikutnya SK Menpen ini diubah dengan SK Menpen yang baru yang menyatakan bahwa seluruh TV swasta memiliki jangkauan siaran nasional. Selanjutnya, ada perubahan mengenai izin terhadap lembaga penyiaran TV. Pertama, kebijakan 2 bentuk TV swasta (nasional dan lokal), kedua, kebijakan tiga bentuk TV (nasional, lokal, dan TV ekonomi) dan akhirnya berubah satu bentuk TV swasta: TV swasta nasional. Meski mendapatkan izin siaran, tapi kedudukan TV swasta masih sangat lemah. TV swasta hanya merupakan subkontraktor dari TVRI. Ketidakpastian inilah yang kemudian mendorong mereka mendesak pemerintah untuk membuat UU Penyiaran.

1.        UU Penyiaran No 24/Tahun 1997
Pemerintah Orde baru akhirnya mengajukan Rancangan UU Penyiaran kepada DPR yang terdiri dari 58 pasal. Usulan-usulan DPR untuk menyempurnakan RUU tersebut, antara lain berkaitan dengan perlunya pembentukan sebuah Independent Regulatory Body, pembatasan jangkauan siaran dan masalah perizinan. Namun usulan-usulan itu banyak ditolak. Setelah melewati pergulatan panjang, akhirnya UU Penyiaran No. 24 Tahun 1997 disahkan. Ketidakpuasan masyarakat atas UU tersebut antara lain karena dihilangkannya fungsi regulatory body (B3PN-Badan Pengawas dan Pengendali Penyiaran Nasional) yang seharusnya sebagai badan independen menjadi sekadar badan penasihat pemerintah dalam bidang penyiaran. Masalah lainnya yaitu sanksi administratif yang sangat keras, status TVRI, hubungan TV swasta dan TVRI dan sebagainya. Meski UU ini masih berlaku sampai akhir 2002, namun sejak jatuhnya Orde Baru UU ini praktis tidak bisa berlaku efektif. Kondisi ini membuat dunia penyiaran Indonesia bak tanpa hukum (lawless), ada hukum namun tidak diakui oleh kalangan penyiaran, sementara hukum yang diharapkan dibuat sangat lamban. Suasana itu berlangsung sekitar empat tahun, sampai akhirnya DPR memutuskan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002.

Periode Hukum Kebebasan Media

1.        Zaman Penjajahan Belanda dan Zaman Penjajahan Jepang
Pada zaman penjajahan baik pada mada masa Belanda maupun Jepang tidak terdapat periode kebebasan pers dan penyiaran. Kedua masa itu adalah masa yang represif bagi media massa baik  penerapan sensor maupun penunjukan pejabat penjajah di redaksi sampai pemberedelan.

2.        Zaman Kemerdekaan/Demokrasi Liberal (1945-1957)
kebebasan pers pertama yang dialami Indonesia adalah setelah Proklamasi Kemerdekaan. Negara RI yang baru saja mengesahkan konstitusinya pada tanggal 18 Agustus 1945 menyebutkan dalam pasal 28 UUD 1945 bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan ditetapkan dengan undang-undang. Suasana kebebasan pers ini berlangsung antara tahun 1945-1957. Kemerdekaan pers diperkuat dengan berlakunya UUD Sementara 1950 yang memuat secara rinci rumusan perlindungan hak asasi manusia, antara lain pasal 19 yang memberikan jaminan kebebasan menyatakan pendapat. Pada masa ini pers juga berhasil mendesak pemerintah dan parlemen untuk mencabut Persbreidel Ordonantie 1931 buatan kolonial Belanda karena bertentangan dengan UUD Sementara pasal 19. Pencabutan Persbreidel Ordonantie dengan menggunakan UU No. 23 Tahun 1954. Era kebebasan pers ini berakhir pada tahun 1957 ketika puluhan surat kabar dan kantor berita ditutup oleh pemerintah. Saat itupemerintah menyatakan keadaan darurat perang yang dikenal dengan sebutan SOB (Staat van Oorlog en Beleg) sejak 14 Maret 1957 sampai 30 April 1963. Dalam keadaan darurat ini pemerintah memberikan wewenang kepada militer untuk mengawasi kehidupan politik dan mengontrol pers atas nama ketertiban dan keamanan.
3.        Kondisi Media Penyiaran
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, para praktisi penyiaran Indonesia mengambil alih stasiun radio yang ditinggalkan Belanda dan Jepang. Meskipun secara de-facto, stasiun radio telah dikuasai oleh para pejuang kemerdekaan, namun Indonesia belum memiliki organisasi yang menangani dunia radio. Karena itu, para praktisi penyiaran radio mengadakan konferensi dan mendirikan organisasi bernama Radio Republik Indonesia (RRI), 11 September 1945. McDaniel (1994) mencatat beberapa peristiwa penting yang dilakukan oleh radio saat perang kemerdekaan terjadi antara Pemerintah Hindia Belanda dan pejuang kemerdekaan Indonesia :
Pertama, bulan November 1945 terjadi perang besar di Surabaya yang kemudian oleh Indonesia dinyatakan sebagai hari Pahlawan. Saat itu, radio berperan penting dalam menggerakkan arek-arek Surabaya untuk melawan tentara sekutu. Dalam sejarah dikenal Bung Tomo yang menggerakkan para pejuang kemerdekaan melalui corong radio.
Kedua, bulan September 1948, terjadi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, Jawa Timur yang dipimpin oleh Muso. Muso berhasil merebut sebuah stasiun radio.
Ketiga, bulan September 1948, posisi para pejuang kemerdekaan makin tersudut, dan beberapa pemimpin harus mengungsi ke hutan dan lereng gunung. Sejumlah stasiun transmisi radio juga ikut mengungsi ke hutan. RRI stasiun Yogyakarta dipindahkan ke Wonosari, kemudian ke Balong dan akhirnya ke Gunung Lawu, dekat Solo. RRI Jawa Timur pindah ke Sawahan dan akhirnya ke Gunung Wilis. Perjuangan para praktisi radio sempat membuat Belanda frustasi, pasalnya dengan kekuatan radio itu, maka komunikasi antara rakyat dan pimpinan gerilya tetap terjaga. Kedekatan antara media penyiaran, politisi, dan militer inilah yang terus dilestarikan pada masa Bung Karno, hingga masa Orde Baru. Karena media penyiaran masih dikuasai RRI dan stasiun tersebut milik pemerintah, maka bisa dikatakan bahwa suara RRI adalah suara pemerintah yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan Bung Karno.

4.        Zaman Reformasi (1998-sekarang)
Zaman kebebasan media kembali lahir saat runtuhnya Orde Baru 1998 berganti dengan Orde Reformasi. Menteri penerangan Yunus Yosfiah mencabut sejumlah Peraturan Menteri dan SK Menpen yang menjadi alat kontrol pers dan wartawan.

1.        Kondisi Media Cetak
Dengan adanya kemudahan mendapatkan SIUPP, maka masyarakat beramai-ramai mendirikan surat kabar, majalah, dan tabloid. Namun tidak semua penerbitan yang mendapat SIUPP bisa terbit dengan teratur.

*) Tahun 2000/2001 terdapat penambahan 500 SIUPP.
Adanya deregulasi pers sampai akhirnya dihapuskannya SIUPP, kemudian muncul persoalan baru. Persoalan bahwa “pers Indonesia telah kebablasan”. Dewan pers menyatakan bahwa kebablasan yang dimaksud merupakan suatu penyalahgunaan profesi atau kelemahan profesionalisme wartawan, maka hal ini tidak hanya terjadi pada masa reformasi tapi juga pada Orde Baru.

1.        Kondisi Media Penyiaran
Permasalahan yang dihadapi kalangan media penyiaran berbeda dengan media cetak. Bagi media penyiaran, siaran berita hanya sebagian dari keseluruhan acara yang diproduksi. Di samping itu, kalangan penyiaran juga tidak puas dengan UU Penyiaran lama yang dibuat pada masa Orde Baru, yaitu UU No. 24 Tahun 1997 yang dinilai terlalu mengekang. Karena hal itu, membuat kalangan praktisi penyiaran mengajukan usulan kepada DPR RI. RUU Penyiaran disetujui oleh DPR dan disahkan oleh Presiden pada 28 Desember 2002. Akhir tahun 2003, DPR melakukan fit and proper test kepada 27 calon anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan akhirnya terpilih 9 orang anggota KPI. Sementara itu, pemerintah pada tahun 2005 mengeluarkan sejumlah PP sebagai pelaksanaan UU Penyiaran. Atas keluarnya tiga PP tersebut, KPI mengajukan gugatan uji materiil kepada MA karena  PP tersebut yang menempatkan Pemerintah sebagai pusat pengaturan dan kewenangan penyiaran. Belum selesai masalah ini ditangani oleh MA, bulan November 2005 pemerintah kembali mengeluarkan empat paket PP yaitu PP No. 49/2005 Tentangg Pedoman Kegiatan Peliputan Lembaga Penyiaran Asing; PP No. 50/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta; PP No. 51/2005 tentang Penyelenggaraan Lembaga Penyiaran Komunitas; dan PP No. 52 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan.
Keempat PP ini mendapat penolakan keras dari KPI yang kemudian mengadukan kepada kepada Komisi I DPR RI. Komisi I DPR RI memerintahkan agar empat PP tersebut ditunda selama dua bulan.




1 komentar:

Unknown mengatakan...

bisa tau buku referensinya ga min?