A.
SEJARAH MEDIA MASSA
Media massa yang pertama lahir adalah media
cetak. Dengan mesin percetakan maka dapat diterbitkan buku, surat, dan
selebaran. Pada tahun 1440, Johan Gutenberg seorang bangsa Jerman menemukan
alat mesin cetak (metal). Meskipun pada saat itu mesin cetak tersebut juga bisa
mencetak surat kabar, namun surat kabar yang sederhana baru ditemukan di London
tahun 1620.
Surat kabar pada mulanya adalah sarana
komunikasi tertulis berupa surat menyurat dalam bidang diplomasi dan
perdagangan. Pada mulanya surat kabar memang diterbitkan oleh sebuah penerbit
dan dikirimkan kepada orang-orang tertentu, sehingga yang membaca surat kabar
itu diketahui secara personal. Kemudian, surat kabar berkembang dengan pesat
tatkala penerima surat yang dituju bersifat anonim, karena surat kabar telah
dicetak dalam jumlah banyak. Sebagaimana awalnya, surat kabar merupakan
kegiatan untuk diplomasi dan perdagangan. Karena itu, surat kabar memiliki dua
sisi yaitu sisi poliitik dan ekonomi/bisnis. Pengaruh politik surat kabar
disebabkan karena isinya dapat memengaruhi pendapat umum. Sedangkan untuk
menjalankan usaha penerbitan harus didukung oleh kekuatan modal yang memadai.
Teknologi telekomunikasi pertama lahir
tahun 1844 ketika Samuel Morse mengirimkan pesan melalui alat telegraph yang
pertama dari Washington DC ke Baltimore, 24 Maret 1844. Dengan ditemukannya
telegram ini maka berkembang istilah komunikasi yang memiliki arti berbeda
dengan transportasi. Sebelum sitemukan teknologi telegram, kata “transportasi”
memiliki dua makna sekaligus yaitu pengiriman barang melalui kendaraan
pengangkut barang/manusia dan pengiriman pesan komunikasi dalam arti yang
sekarang. Penemuan ini kemudian disusul oleh Alexander Graham Bell, yang pada
tahun 1876 pertama kalinya megirim pesan melalui pesawat telepon dengan kabel.
Tak lama kemudia ahli fisika Jerman
Heinrich Rudolp Hertz menemukan bahwa energi dapat dikirim tanpa melalui kabel.
Nama Hertz kemudian diabadikan dalam satuan gelombang radio.
Pada saat yang bersamaan di Italia, seorang
anak yang masih berumur 21 tahun bernama Guglielmo Marconi menemukan pula
teknologi radio. Namun di Italia, Marconi tidak diakui, ia lalu pergi ke
Inggris dan mendirikan usaha Wireless Telegraph Signal Company tahun 1896.
Dalam perjalanan sejarah orang lebih mengenal Marconi sebagai penemu radio
daripada Hertz.
Lima tahun kemudian, signal radio Marconi
bisa menjangkau benua Amerika. Dan ia memperoleh pelanggan baru yaitu Angkatan
Laut Amerika Serikat. Dengan berkembangnya teknologi radio, maka bermunculanlah
sejumlah radio amatir yang begitu banyak. Akibatnya frekuensi gelombang radio
milik Angkatan Laut AS sering bertabrakan dengan radio amatir. Pemerintah AS
kemudian turun tangan dan membuat peraturan baru bernama Radio Act 1912.
Undang-undang ini antara lain mengatur bahwa para penyelenggara radio harus
memiliki izin sebelum siaran, penggunaan frekuensi harus diawasi dan penggunaannya
harus dengan izin teknis, Presiden AS memiliki wewenang untuk menutuk stasiun
radio.
Setelah Perang Dunia I jumlah stasiun radio
di AS semakin banyak. Tahun 1924 sudah terdapat 5.000 stasiun radio. Demikian
sengitnya persaingan hingga radio dijuluki sebagai menara omong (a tower of
bable).
Keadaan inilah yang kemudian mendorong
dilakukannya revisi terhadap Radio Act 1927. Dalam UU yang baru itu terdapat
beberapa ketentuan baru, diantaranya: gelombang frekuensi dinyatakan sebagai
sumber daya alam yang harus dilindungi dan dijaga. Karena itu, penggunaan
frekuensi harus bermanfaat bagi masyarakat. Radio Act 1927 juga membentuk
Federal Radio Comission (FRC) yang memiliki wewenang membuat peraturan bidang
ke-radio-an, membuat klasifikasi radio, merumuskan bentuk acara dan mengawasi
penggunaan frekuensi.
Terbentuknya FRC inilaih awal dari
munculnya lembaga regulatory body
yang independen dan bertugas mengatur dunia penyiaran. FDR kemudian diubah
menjadi Federal Communication Commision
(FCC) berdasarkan Communication Act 1934. FCC bertugas untuk mengatur tentang
komunikasi secara luas, tidak hanya radio. FCC kemudian menjadi model lembaga
regulasi penyiaran di dunia, termasuk menjadi salah satu acuan ketika
Indonesia, sekitar 70 tahun kemudian, merumuskan sebuah Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) pada tahun 2002.
B.
PERKEMBANGAN HUKUM MEDIA
Hukum pers yang
berkembang di Indonesia dari masa Hindia Belanda sampai masa reformasi adalah
hukum pers cetak. Sedikit sekali disinggung mengenai hukum pers penyiaran.
Namun dengan makin berkembangnya media penyiaran juga berkembang kajian media
penyiaran dan media cetak. Ada beberapa penyebab terjadinya ketimpangan dunia
penyiaran dibandingkan jurnalistik cetak. Pertama, pers cetak lahir lebih
dahulu daripada pers penyiaran. Hal ini juga dikarenakan perkembangan teknologi
penyiaran yang baru ditemukan sekitar 4 abad setelah teknologi cetak. Di
Indonesia, pers cetak pertama kali terbit tahun 1744, satu abad setelah koran
pertama terbit di London. Sementara media penyiaran radio baru dikenal setelah
Perang Dunia I, tahun 1920-an. Pers penyiaran yang berorientasi pada pemerintah
tidak menimbulkan persoalan hukum dan politik dengan pemerintah. Sebaliknya
pers cetak memiliki banyak persoalann itu dalam berhadapan dengan pemerintah.
Karena itu pers cetak memerlukan semacam “perlindungan hukum” yang lebih pasti.
Kedua, sejak masa kemerdekaan, media penyiaran di Indonesia berpuluh-puluh
tahun dikuasai pemerintah, sehingga pers penyiaran juga merupakan pers
pemerintah.
Media elektronik
televisi hingga akhir tahun 1980-an dan media radio hingga akhir 1990-an tidak
cukup berkembang, karena bagian dari kepentingan pemerintah sehingga tidak
punya kekuatan untuk melakukan pengawasan sosial. Dengan kata lain, media cetak
berada pada lorong yang penuh risiko berhadapan dengan pemerintah dan
masyarakat. Inilah mengapa hukum media yang berkembang di Indonesia adalah
hukum pers (cetak) saja.
C.
SEJARAH MEDIA DI INDONESIA
Sejarah pers di nusantara baru dimulai
sejak abad ke-8 ketika Gubernur Jenderal Ban Imhoff mendirikan Bataviasche Nouvels tahun 1744. Sekitar
90 tahun pertama, pers di nusantara disebut pers putih, karena pers yang ada
diterbitkan dan dikelola oleh orang Belanda. Pers waktu itu berisi tentang
kehidupan orang Eropa yang tidak ada sangkut pautnya dengan kaum pribumi.
Namun, sejak tahun 1854 mulai timbul surat kabar berbahasa Melayu, para
wartawan peranakan Eropa, Tionghoa, dan pribumi mulai terlibat, meskipun
dominasi Belanda masih kuat.
Sejarah hukum media di Indonesia dimulai
sejak keluarnya peraturan hukum tentang media yang pertama di Indonesia, yaitu
tatkala Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie tahun 1856.
Isi atau materi hukum media yang pernah
berlaku di Indonesia bisa dibedakan dalam beberapa materi berikut :
Pertama, hukum yang memberi kewenangan
penguasa untuk melakukan sensor preventif. Sensor preventif adalah sensor yang
dilakukan sebelum sebuah media diterbitkan. Kedua, hukum media yang memberi
kewenangan kepada penguasa untuk menutup atau membreidel sebuah media. Ketiga,
hukum media yang memberi kewenangan penguasa untuk mengeluarkan dan mencabut
izin dan sebaliknya juga mewajibkan media untuk mendapatkan izin sebelum
menerbitkan medianya. Keempat, hukum media yang berisi jaminan kebebasan pers
atau kebebasan media.
Hukum media yang dimaksud di atas adalah
hukum media cetak (pers). Dilihat dari sifat isi peraturannya, sejarah hukum
media dapat dibagi dalam tiga periode. Pertama, periode sensor preventif. Periode
ini dimulai sejak keluarnya peraturan pertama tentang pers yang mengatur sensor
preventif sampai dicabutnya peraturan itu (1856-1906) dan dilanjutkan pada
zaman Jepang (1942-1945). Kedua, periode perizinan/pemberedelan. Periode ini
berlangsung sejak kedatangan Jepang (19540-1942) dan berlanjut ketika terjadi
pemberedelan 13 penerbitan pada masa akhir Demokrasi Liberal sampai berakhirnya
Orde Baru (1957-1998). Ketiga, periode kebebasan pers. Periode ini dimulai
sejak Republik Indonesia diproklamasikan hingga menjelang berakhirnya Demokrasi
Liberal (1945-1957) dan dilanjutkan pada masa reformasi (1998-sekarang). Ketiga
periode tersebut tidak dalam suatu pembatasan waktu yang ketat, karena pada masa
yang disebut “kebebasan pers” terdapat upaya-upaya untuk mengekang pers.
Periode
Hukum Sensor Preventif
1.
Zaman Hindia Belanda (1856-1906)
Hukum media yang mengatur sensor preventif
pertama kali diterapkan pada zaman Hindia Belanda pada tahun 1856. Peraturan
ini mewajibkan semua karya cetak sebelum diterbitkan harus dikirim lebih dulu
kepada pemerintah setempat, pejabat hukum, dan algemeene secretarie. Bila ketentuan ini tidak dipatuhi, maka karya
cetak tersebut disita. Sekitar setengah abad kemudian, Drukpers-regelement ini diganti dengan ketentuan hukum yang
mengatur sensor represif yang bernama Presbreidel
Ordonnantie (7 September 1931).
2.
Zaman Jepang (1942-1945)
Ketentuan hukum yang bersifat sensor
preventif muncul kembali pada masa pendudukan Jepang dengan keluarnya
Undang-undang No.16 Tentang Sarana Publikasi dan Komunikasi. Pasal 1 UU No.16
menyatakan bahwa semua jenis barang cetakan harus memiliki izin publikasi atau
izin terbit. Kantor sensor pers terdapat di Jakarta, Bandung, Yogyakarta (Surakarta),
dan Surabaya. Sanksi bagi pelanggaran ketentuan itu diancam dengan hukuman satu
tahun penjara atau denda maksimal Rp 1.000.
3.
Kondisi Media Penyiaran
Media penyiaran belum muncul di masa
pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa berlakunya sensor preventif zaman
Jepang, media penyiaran telah berkembang. Pada zaman Jepang, orang Indonesia
mendapat kesempatan untuk terlibat kegiatan penyiaran. Inilah awal dari
penggunaan media penyiaran radio oleh para pejuang kemerdekaan.
Periode
Hukum Perizinan dan Pemberedelan
1.
Pendahuluan
Pada periode ini, hukum yang berlaku adalah
hukum yang mewajibkan media untuk memperoleh izin terlebih dulu sebelum
menerbitkan medianya. Bila media tidak memiliki izin, maka penguasa berhak
memberedel. Ketentuan tentang perizinan mengatur tentang kewajiban media untuk
mendapatkan izin dari penguasa sebelum menerbitkan medianya. Ketentuan
pemberedelan adalah peraturan yang memberi kewenangan penguasa untuk menutup
media massa dengan alasan-alasan tertentu. Dalam periode hukum ini, secara
politis-administrasi ternagi dalam zaman Kolonial Belanda (1906-1945), akhir
era Demokrasi Liberal hingga Era Orde Lama (1957-1966) dan era Orde Baru
(1966-1998).
Berikut ini perkembangan tentang hukum
pemberedelan pers Indonesia.
2.
Zaman Belanda (1906-1945)
Sensor preventif yang diterapkan pada
pertengahan abad ke-19 dipandang tidak layak lagi untuk diterapkan. Drukpers-reglement
kemudian dicabut/diganti dengan Peraturan tahun 1906. Dalam peraturan ini
sensor preventif dicabut dan diganti dengan kewajiban penyerahan barang-barang
cetakan dalam waktu 24 jam setelah diterbitkan. Dua puluh lima tahun kemudian
Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ketentuan baru bernama Presbreidel Ordonantie (7 September
1931). Sensor preventif dicabut dan sensor represif diterapkan. Pasal 2
Ordonansi itu menyatakan bahwa Gubernur Jenderal berhak melarang percetakan,
penerbitan, dan penyebaran sebuah surat kabar paling lama 8 hari. Tetapi jika
sudah terbit dan dinilai mengganggu ketertiban umum, maka larangan terbit bisa
diperpanjang maksimal 30 hari.
Pada saat Persbreidel Ordonansi berlaku, di Indonesia sejak 1 Januari 1918
diterapkan unifikasi hukum pidana di mana Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) berlaku untuk seluruh penduduk di Indonesia. Sebelumnya, sejak 1876
berlaku dualisme hukum pidana, yaitu hukum pidana yang berlaku untuk pribumi
dan untuk Belanda. Dengan berakhirnya dualisme itu maka berlaku satu wetbook van strafrech (KUHP).
3.
Kondisi Penyiaran (1920-1930)
Salah satu ciri yang menonjol dari media massa
di Indonesia pada masa kolonial adalah sifat patriotik anti penjajahan.
Keterlibatan media dalam gerakan-gerakan anti penjajahan menjadi bagian yang
tidak terpisahkan, baik media cetak maupun elektronik.
Satu pendapat mengatakan, dunia penyiaran
di Indonesia dimulai pada masa pemerintahan Belanda dengan berdirinya Radio
Malabar, milik Perusahaan Telepon dan Telegraph Hindia Belanda, di Bandung,
pasca Perang Dunia I. namun pendapat lain mengatakan bahwa radio pertama adalah
Bataviasche Radio Vereneging (BRV)
berdiri di Jakarta pada tanggal 16 Juni 1925. Di kalangan bangsa Indonesia
kemudian juga tumbuh kesadaran untuk mendirikan radio sendiri yang dikenal
dengan istilah radio “Ketimuran”, karena mereka menyiarkan kebudayaan Belanda
(Barat). Stasiun radio itu adalah Soloche
Radio Veregening (SRV), didirikan di
Surakarta pada tahun 1933; Veregening
voor Oesterse Radio Luisteraas (VORO) di Bandung pada tahun 1934, Mataram Vereneging voor Radio Oemroep (MARVO) di
Yogyakarta pada tahun 1934 dan sebagainya.
4.
Akhir Demokrasi Liberal dan Orde Lama (1957-1966)
Pada masa Demokrasi Liberal, Kepala Staf
Angkatan Darat (KSAD), selaku penguasa militer mengeluarkan Peraturan KSAD No
PKM/001/0/1956. Peraturan ini berisi larangan menerbitkan kecaman-kecaman
terhadap Presiden, Wakil Presiden, pejabat pemerintah, pegawai negeri, dan
penghinaan terhadap golongan masyarakat yang dapat menerbitkan keonaran. Tapi
kemudian peraturan ini dicabut karena diprotes para wartawan. Namun
pemberedelan tetap terjadi pada bulan September 1957. Sepuluh surat kabar dan
tiga kantor berita serentak ditutup yaitu : Indonesia Raya, Harian Rakyat,
Bintang Timur, Pemuda, Djiwa Baru, Merdeka, Pedoman, Abadi, Keng Po, Java Bode,
Pers Biro Indonesia (PIA), Antara, dan Indonesian National Press and Public
Society (INPS).
Ketentuan tentang perizinan surat
kabar/majalah kembali keluar pada tahun 1960. Ketentuan ini disebut “Peraturan
PEPERTI No.10 tahun 1960 tentang izin Penerbitan Surat Kabar dan Majalah”. Bagi
surat kabar atau majalah yang melanggar “dapat dirampas dan atau dimusnahkan“
(pasal 4).
Keluar juga “Pedoman Peperti untuk
Penerbitan Surat Kabar dan Majalah Seluruh Indonesia”. Dalam pedoman itu
disebutkan kewajiban-kewajiban penerbitan sebanyak 8 butir, yaitu berisi
kewajiban mendukung dan membela Manifesto Politik yang telah menjadi haluan
negara dan wajib menyebarluaskan Manifesto Politik tersebut. Ketentuan ini
berlaku hingga tahun 1966 ketika diundangkannya UU No. 11 Tahun 1966 tentang
Pokok Pers UU Pokok Pers mencabut Penpres No. 6/1963.
5.
Kondisi Media Penyiaran
Televisi Republik Indonesia (TVRI)
didirikan di Jakarta, 24 Oktober 1962. Tanggal itu kemudian disebut sebagai
hari televisi nasional. Pada masa kepemimpinan Bung Karno, televisi masih belum
terlalu berpengaruh. Bahkan ketika terjadi perebutan kekuasaan antara TNI-AD,
PKI dan Bung Karno dalam peristiwa G30S/PKI, media massa yang menjadi perebutan
adalah stasiun RRI. Pada periode Soekarno, media penyiaran radio masih tetap
memegang peranan penting dibandingkan televisi.
Kehidupan pers pada awal Orde Baru ditandai
dengan berlakunya UU No. 11 Tahun 1966 tentang Pokok-pokok Pers. UU Pokok Pers
mencabut Penpres No. 6/1963. Pasal 4 UU Pokok Pers secara tegas menyatakan
bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pemberedelan. Pasal 5
(1) berbunyi bahwa kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga negara dijamin.
Pasal 20 “Peraturan Peralihan” berbunyi: Dalam
masa peralihan keharusan mendapat Surat Izin Terbit (SIT) masih berlaku sampai
ada keputusan pencabutannya oleh pemerintah dan DPR-GR. Dalam perkembangannya, UU No.11/1966 di
tengah jalan diubah dengan UU No. 4 Tahun 1967. Lebih dari 10 tahun UU Pokok
Per situ kemudian diubah dengan UU No.21 Tahun 1982. Perubahan itu antara lain
adalah pada ketentuan tentang perizinan. Surat izin cetak dan surat izin terbit
dihapuskan. Tetapi kemudian muncul Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Pasal 13 ayat 5, UU No.21 tahun 1982
berbunyi bahwa penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers harus
memiliki SIUPP yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kemudian, keluar Peraturan
Menteri Penerangan No.1 Tahun 1984. Dengan peraturan itu Menteri berhak
membatalkan SIUPP. Meskipun Permenpen dianggap bertentangan dengan UU Pers,
namun ketentuan ini tetap berlaku hingga jatuhnya Orde Baru, tahun 1998.
7.
Kondisi Media Cetak
Pers di masa awal Orde Baru pernah
mengalami masa kebebasan meski berada dalam rezim hukum perizinan. Pada awal
Orde Baru, pers mengalami kebangkitan baik dari segi jumlah maupun isi media.
Kritik yang tajam, berita yang panas mewarnai media cetak Indonesia pada tahun
1966-1974. Namun setahun kemudian kondisinya sudah berubah.
Salah satu penyebab utama dari menurunnya
produktivitas media di Indonesia pada saat itu adalah situasi ekonomi yang
memburuk akibat terkena inflasi yang tinggi.
Dilanjutkan dengan adanya peristiwa Malari
(Malapetaka Lima Belas Januari). Koran-koran yang semula vocal menjadi lembek,
membisu, dan sejumlah Koran tidak bisa berkata apa-apa karena sudah ditutup,
pasca Malari.
Perubahan di bidang sosial budaya, ekonomi,
dan politik, pola komunikasi dan transportasi pusat-daerah dan daerah-daerah
sangat membantu distribusi surat kabar. Menurut Jacob, pendiri dan pemimpin
Harian Kompas, surat kabar harus mampu membiayai sendiri usahanya. Bila surat
kabar menggantungkan diri pada subsidi, maka ia tidak akan independen. Surat
kabar juga harus dijual, agar orang bisa menghargai pers.
Terdapat tiga kelompok besar media massa
yang mampu bertahan pada masa Orde Baru. Ada Kelompok Kompas Gramedia (KKG),
Sinar Harapan Group, dan Tempo-Jawa Pos Group. Pada tahun 1980 muncul dua
pengusaha yang sebelumnya tidak bergerak di bidang media massa, yaitu Surya
Paloh dan Sutrisno Bachir.
Surya Paloh menggandeng keluarga Cendana
dan mendirikan Prioritas yang
diberedel, kemudian mendirikan Realitas
dan Media Indonesia. Sedangkan Sutrisno Bachir mendirikan Ika Muda Group yang
membeli SIUPP Berita Buana.
1.
Kondisi Media Penyiaran
Pada masa Orde Baru muncul banyak stasiun
radio swasta di Indonesia. Namun perkembangannya mengalami kemandekan karena
radio swasta dilarang menyiarkan berita kecuali merile dari RRI. Kondisi ini
berlangsung hingga berakhirnya Orde Baru. Menginjak decade 1970-an media
penyiaran televisi berkembang pesat. Pertama, TVRI mulai membangun stasiun dan
pemancar di daerah dan menggunakan teknologi satelit. Kedua, pemerintah
mengizinkan TV swasta mengudara. Hal inilah yang membuat dinamika TV swasta
lebih tinggi daripada radio swasta. Namun sayangnya, kehadiran TV swasta tidak
didahului dengan kebijakan penyiaran nasional, sehingga pemerintah mudah
didikte pemilik TV swasta.
2.
Perkembangan Pertelevisian di Indonesia
Pertelevisian di Indonesia dimulai sejak
tahun 1962 ketika pemerintah mendirikan Televisi Republik Indonesia (TVRI).
TVRI melakukan siaran percobaan dengan menggunakan momentum Peringatan Hari
Kemerdekaan RI 17 Agustus 1962 di Istana Merdeka, sebelum melaksanakan siaran
kegiatan Asian Games ke IV di Jakarta. Peralatan pertama yang dimiliki adalah
sebuah transmitter (+antena), peralatan studio buatan NEC (Nippon Electronic
Company) seharga US$ 330.000 dan satu mobil. Di Jakarta terdapat sekitar 10.000
unit pesawat televisi hitam putih terjual dua bulan sebelum pelaksanaan Asian
Games. Tahun pertama TVRI hanya mengudara satu jam per hari dari Senin sampai
Jumat dengan jangkauan siaran Jakarta dan sekitarnya (590 km2) atau hanya
sekitar 0,03 persen dari wilayah Indonesia.
3.
Era TV Swasta
Tahun 1989 berdiri stasiun televisi swasta
pertama. Tidak adanya kebijakan penyiaran nasional dan kuatnya pengaruh kaum
industrialis televisi kala itu, membuat runyam dunia penyiaran Indonesia hingga
kehilangan orientasi. Pihak yang berhasil memperoleh izin pendirian televisi
swasta pertama adalah putra Presiden Suharto, Bambang Trihatmojo. TV swasta itu
kemudian diberi nama Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI). Jangkauan RCTI
hanya sampai Jakarta dan sekitarnya. Siarannya hanya dapat diperoleh melalui
peralatan khusus (decoder). Karena peralatan itu merepotkan penonton untuk
mengaksesnya, maka keluar SK Menteri Penerangan yang menyatakan bahwa RCTI
adalah televisi umum (free air TV), dimana penonton tidak perlu menggunakan
decoder untuk menangkap siaran televisi. Lalu muncul televisi lokal lain yaitu
Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), Surya Citra Televisi (SCTV) di Surabaya
dan Andalas Televisi (ANTeve) di Lampung. Izin siaran nasional diperoleh
berdasarkan SK Menpen No.111 tahun 1990 yang menyatakan bahwa sistem penyiaran
nasional dibagi dua, yaitu Televisi Pendidikan Indonesia yang berjangkauan
siaran nasional dan TV lokal yaitu RCTI, SCTV, dan ANTeve. Kemudia pemerintah
menambahkan SK Menteri itu dengan menambahkan jenis televisi baru yaitu
televisi yang mempunyai kekhususan bidang siaran ekonomi. SK Menteri Penerangan
No. 84 A/tahun 1992 membagi tiga siaran televisi yaitu Pertama, Televisi
Pendidikan yaitu TPI. Kedua, TV lokal yaitu RCTI, SCTV, Anteve, dan ketiga,
televisi yang menekankan bidang ekonomi yang berjangkauan nasional.
1.
UU Penyiaran No 24/Tahun 1997
Pemerintah Orde baru akhirnya mengajukan
Rancangan UU Penyiaran kepada DPR yang terdiri dari 58 pasal. Usulan-usulan DPR
untuk menyempurnakan RUU tersebut, antara lain berkaitan dengan perlunya
pembentukan sebuah Independent Regulatory
Body, pembatasan jangkauan siaran dan masalah perizinan. Namun
usulan-usulan itu banyak ditolak. Setelah melewati pergulatan panjang, akhirnya
UU Penyiaran No. 24 Tahun 1997 disahkan. Ketidakpuasan masyarakat atas UU
tersebut antara lain karena dihilangkannya fungsi regulatory body (B3PN-Badan Pengawas
dan Pengendali Penyiaran Nasional) yang seharusnya sebagai badan independen
menjadi sekadar badan penasihat pemerintah dalam bidang penyiaran. Masalah
lainnya yaitu sanksi administratif yang sangat keras, status TVRI, hubungan TV
swasta dan TVRI dan sebagainya. Meski UU ini masih berlaku sampai akhir 2002,
namun sejak jatuhnya Orde Baru UU ini praktis tidak bisa berlaku efektif.
Kondisi ini membuat dunia penyiaran Indonesia bak tanpa hukum (lawless), ada
hukum namun tidak diakui oleh kalangan penyiaran, sementara hukum yang
diharapkan dibuat sangat lamban. Suasana itu berlangsung sekitar empat tahun,
sampai akhirnya DPR memutuskan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002.
Periode
Hukum Kebebasan Media
1.
Zaman Penjajahan Belanda dan Zaman Penjajahan Jepang
Pada zaman penjajahan baik pada mada masa
Belanda maupun Jepang tidak terdapat periode kebebasan pers dan penyiaran. Kedua
masa itu adalah masa yang represif bagi media massa baik penerapan sensor maupun penunjukan pejabat
penjajah di redaksi sampai pemberedelan.
2.
Zaman Kemerdekaan/Demokrasi Liberal (1945-1957)
kebebasan pers pertama yang dialami
Indonesia adalah setelah Proklamasi Kemerdekaan. Negara RI yang baru saja
mengesahkan konstitusinya pada tanggal 18 Agustus 1945 menyebutkan dalam pasal
28 UUD 1945 bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran
secara lisan dan tulisan ditetapkan dengan undang-undang. Suasana kebebasan
pers ini berlangsung antara tahun 1945-1957. Kemerdekaan pers diperkuat dengan
berlakunya UUD Sementara 1950 yang memuat secara rinci rumusan perlindungan hak
asasi manusia, antara lain pasal 19 yang memberikan jaminan kebebasan
menyatakan pendapat. Pada masa ini pers juga berhasil mendesak pemerintah dan
parlemen untuk mencabut Persbreidel
Ordonantie 1931 buatan kolonial Belanda karena bertentangan dengan UUD
Sementara pasal 19. Pencabutan Persbreidel
Ordonantie dengan menggunakan UU No. 23 Tahun 1954. Era kebebasan pers ini
berakhir pada tahun 1957 ketika puluhan surat kabar dan kantor berita ditutup
oleh pemerintah. Saat itupemerintah menyatakan keadaan darurat perang yang
dikenal dengan sebutan SOB (Staat van
Oorlog en Beleg) sejak 14 Maret 1957 sampai 30 April 1963. Dalam keadaan
darurat ini pemerintah memberikan wewenang kepada militer untuk mengawasi
kehidupan politik dan mengontrol pers atas nama ketertiban dan keamanan.
3.
Kondisi Media Penyiaran
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17
Agustus 1945, para praktisi penyiaran Indonesia mengambil alih stasiun radio
yang ditinggalkan Belanda dan Jepang. Meskipun secara de-facto, stasiun radio
telah dikuasai oleh para pejuang kemerdekaan, namun Indonesia belum memiliki
organisasi yang menangani dunia radio. Karena itu, para praktisi penyiaran
radio mengadakan konferensi dan mendirikan organisasi bernama Radio Republik
Indonesia (RRI), 11 September 1945. McDaniel (1994) mencatat beberapa peristiwa
penting yang dilakukan oleh radio saat perang kemerdekaan terjadi antara
Pemerintah Hindia Belanda dan pejuang kemerdekaan Indonesia :
Pertama, bulan November 1945 terjadi perang
besar di Surabaya yang kemudian oleh Indonesia dinyatakan sebagai hari
Pahlawan. Saat itu, radio berperan penting dalam menggerakkan arek-arek
Surabaya untuk melawan tentara sekutu. Dalam sejarah dikenal Bung Tomo yang
menggerakkan para pejuang kemerdekaan melalui corong radio.
Kedua, bulan September 1948, terjadi pemberontakan
Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, Jawa Timur yang dipimpin oleh Muso. Muso
berhasil merebut sebuah stasiun radio.
Ketiga, bulan September 1948, posisi para
pejuang kemerdekaan makin tersudut, dan beberapa pemimpin harus mengungsi ke hutan
dan lereng gunung. Sejumlah stasiun transmisi radio juga ikut mengungsi ke
hutan. RRI stasiun Yogyakarta dipindahkan ke Wonosari, kemudian ke Balong dan
akhirnya ke Gunung Lawu, dekat Solo. RRI Jawa Timur pindah ke Sawahan dan
akhirnya ke Gunung Wilis. Perjuangan para praktisi radio sempat membuat Belanda
frustasi, pasalnya dengan kekuatan radio itu, maka komunikasi antara rakyat dan
pimpinan gerilya tetap terjaga. Kedekatan antara media penyiaran, politisi, dan
militer inilah yang terus dilestarikan pada masa Bung Karno, hingga masa Orde
Baru. Karena media penyiaran masih dikuasai RRI dan stasiun tersebut milik
pemerintah, maka bisa dikatakan bahwa suara RRI adalah suara pemerintah yang
sangat dipengaruhi oleh kebijakan Bung Karno.
4.
Zaman Reformasi (1998-sekarang)
Zaman kebebasan media kembali lahir saat
runtuhnya Orde Baru 1998 berganti dengan Orde Reformasi. Menteri penerangan
Yunus Yosfiah mencabut sejumlah Peraturan Menteri dan SK Menpen yang menjadi
alat kontrol pers dan wartawan.
1.
Kondisi Media Cetak
Dengan adanya kemudahan mendapatkan SIUPP,
maka masyarakat beramai-ramai mendirikan surat kabar, majalah, dan tabloid.
Namun tidak semua penerbitan yang mendapat SIUPP bisa terbit dengan teratur.
*) Tahun 2000/2001 terdapat penambahan 500
SIUPP.
Adanya deregulasi pers sampai akhirnya
dihapuskannya SIUPP, kemudian muncul persoalan baru. Persoalan bahwa “pers
Indonesia telah kebablasan”. Dewan pers menyatakan bahwa kebablasan yang
dimaksud merupakan suatu penyalahgunaan profesi atau kelemahan profesionalisme
wartawan, maka hal ini tidak hanya terjadi pada masa reformasi tapi juga pada
Orde Baru.
1.
Kondisi Media Penyiaran
Permasalahan yang dihadapi kalangan media
penyiaran berbeda dengan media cetak. Bagi media penyiaran, siaran berita hanya
sebagian dari keseluruhan acara yang diproduksi. Di samping itu, kalangan
penyiaran juga tidak puas dengan UU Penyiaran lama yang dibuat pada masa Orde
Baru, yaitu UU No. 24 Tahun 1997 yang dinilai terlalu mengekang. Karena hal
itu, membuat kalangan praktisi penyiaran mengajukan usulan kepada DPR RI. RUU
Penyiaran disetujui oleh DPR dan disahkan oleh Presiden pada 28 Desember 2002.
Akhir tahun 2003, DPR melakukan fit and proper test kepada 27 calon anggota
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan akhirnya terpilih 9 orang anggota KPI.
Sementara itu, pemerintah pada tahun 2005 mengeluarkan sejumlah PP sebagai
pelaksanaan UU Penyiaran. Atas keluarnya tiga PP tersebut, KPI mengajukan
gugatan uji materiil kepada MA karena PP
tersebut yang menempatkan Pemerintah sebagai pusat pengaturan dan kewenangan
penyiaran. Belum selesai masalah ini ditangani oleh MA, bulan November 2005
pemerintah kembali mengeluarkan empat paket PP yaitu PP No. 49/2005 Tentangg
Pedoman Kegiatan Peliputan Lembaga Penyiaran Asing; PP No. 50/2005 tentang
Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta; PP No. 51/2005 tentang Penyelenggaraan
Lembaga Penyiaran Komunitas; dan PP No. 52 tentang Penyelenggaraan Penyiaran
Lembaga Penyiaran Berlangganan.
Keempat PP ini mendapat penolakan keras
dari KPI yang kemudian mengadukan kepada kepada Komisi I DPR RI. Komisi I DPR
RI memerintahkan agar empat PP tersebut ditunda selama dua bulan.
1 komentar:
bisa tau buku referensinya ga min?
Posting Komentar