Bulan kemarin aku mengikuti lomba review puisi “Sapu Tangan
Fang Yin”. Tapi sepertinya aku belum beruntung. Dan ini mungkin terjadi juga
karena tulisanku rasanya lebih mirip cerpen daripada review puisi J
Namun kegagalan ini tak lantas membuatku sedih dan menyerah.
Aku akan terus berusaha dan belajar bagaimana menulis dengan baik.
Ini dia hasil review yang aku tulis dari puisi “Sapu Tangan
Fang Yin”
Sapu Tangan Fang Yin
Kerusuhan Mei 1998 telah menjadi peristiwa tragis dan pedih
bagi masyarakat tionghoa di Indonesia. Bagaimana tidak, pada waktu itu mereka
menjadi korban dan sasaran amukan massa. Mereka dicari untuk dianiaya,
diperkosa, dan dibunuh. Setiap pintu rumah-rumah keturunan tionghoa dibuka
paksa, barang-barang didalamnya dijarah, penghuninya disiksa habis-habisan. Tak
ada belas kasihan sedikit pun bagi mereka. Hal ini dilakukan karena adanya
selisih paham antara kaum pribumi dengan kaum etnis tionghoa. Semboyan “bhineka
tunggal ika” tak lagi dihiraukan. Tak ada lagi rasa persatuan dan kesatuan.
Rasa persatuan hanya dimiliki oleh sesama pribumi saja. Dan bagi masyarakat
tionghoa pantas mati. Suasana begitu mencekam. Nyawa-nyawa melayang, para orang
tua kehilangan anak-anak mereka, para pemuda berjuang menuntut runtuhnya rezim
Soeharto.
Terdengar teriakan massa, “ Kejar Cina, Bunuh Cina!” Perselisihan
tak bisa dihindari lagi dan para tionghoa yang tak tahu menahu perihal dunia
perpolitikan terkena imbasnya. Mereka terusir dari negara mereka sendiri. Indonesia
berjalan tanpa pemerintahan, hukum ditelantarkan. Aparat keamanan yang seharusnya
menjaga stabilitas keamanan justru tak tahu berada dimana. Suasana semakin tak
terkendali dan mengancam eksistensi etnis tionghoa di Indonesia.
Tak heran jika pada peristiwa itu banyak keturunan tionghoa
yang memilih menyelamatkan diri ke luar negeri. Peristiwa itu telah membuat
gadis-gadis tionghoa kehilangan keperawananannya karena ulah-ulah manusia tak
bermoral yang tak punya hati nurani dan rasa manusiawi lagi. Fang Yin adalah
salah satu dari sekian banyak gadis tionghoa yang menjadi korban perilaku
asusila. Dia diperkosa oleh gerombolan pria tak dikenal yang memasuki rumahnya
dengan paksa. Kehormatannya direnggut, rambutnya dijambak, pakaiannya dikoyak,
tubuhnya dipukuli hingga memar, dan wajahnya ditampar berkali-kali. Fang Yin
menjerit memohon ampun. Namun tak ada yang peduli. Mereka hanya tertawa dan
tertawa menyaksikan penderitaan gadis itu. Fang Yin terus meronta dan menjerit
hingga tak sadarkan diri.
Fang Yin membuka matanya perlahan. Dilihatnya
dinding-dinding putih rumah sakit. Di sana sudah ada orang tuanya, Kho, dan
sahabatnya, Rina, yang menungguinya siuman. Kho memberikan Fang Yin sapu tangan
untuk menghapus airmata diwajahnya. Fang Yin yang masih kebingungan dan tak
tahu apa yang baru saja terjadi mengambil sapu tangan itu dan menghapus airmata
diwajahnya. Ayah dan ibunya memeluknya sambil menangis. Rina membelai-belai
tangannya untuk memberikan kekuatan. Fang Yin berusaha mengingat-ingat apa yang
telah terjadi. Mengapa ia bisa terbaring di rumah sakit, dan mengapa orang
tuanya menangis. Perlahan ia mulai mengingat dan rasa sakit menjalar di seluruh
tubuhnya. Terbayang lagi olehnya peristiwa pemerkosaan yang baru dialaminya.
Dia pun menjerit-jerit ketakutan sampai terdengar oleh seisi rumah sakit.
“Tolong, tolong, ampun…” jeritnya.
“Papi apa salah saya? Kenapa saya diperkosa? Apa salah saya,
Papi?” tangis Fang Yin pilu. Ayahnya tak mampu berkata-kata. Dipeluknya anak
kesayangannya dengan erat dan dibelainya penuh kasih. Tak tega rasanya melihat
penderitaan anaknya seperti itu. Kho menyaksikan kejadian itu dengan sikap
dingin. Itulah terakhir kali Fang Yin melihat mantan kekasihnya. Karena sejak
hari itu Kho menghilang dari kehidupannya. Seminggu setelah kejadian itu, Fang
Yin dan keluarga pindah ke Amerika, tepatnya di Los Angeles. Di sana, ayahnya
selalu bercerita tentang sejarah-sejarah kemerdekaan Indonesia, tentang kerabat
kakek buyutnya yang juga salah seorang pejuang kemerdekaan, dan semua
cerita-cerita tentang negeri mereka, agar tumbuh kembali rasa cinta anaknya pada
Indonesia. Walaupun mereka sudah meninggalkan Indonesia, namun ayahnya selalu
mengingatkannya untuk tidak melupakan Indonesia. Seberapa jauh pun mereka
pergi, Indonesia akan tetap dihati. Indonesia adalah identitas mereka. Ayahnya
berharap suatu hari nanti mereka dapat kembali ke sana. Namun ia sudah
terlanjur membenci Indonesia. Hatinya begitu keras menolak. Baginya hukum di sana
tidak bisa melindunginya. Apalagi setiap mengingat Indonesia, selalu terbayang
peristiwa pemerkosaan yang ia alami. Sungguh kejadian yang sangat memilukan.
Karena kejadian itu jugalah ia ditinggalkan oleh kekasih yang sangat
dicintainya. Dan satu-satunya jalan untuk melupakan semuanya adalah dengan
melarikan diri keluar negeri dan menjalani kehidupan baru dengan tenang. Namun
seberapa jauh pun ia melangkah, luka traumatis masa lalu tak akan mudah untuk
dilupakan. Bayang-bayang kelam masa lalu terus saja membayanginya.
Bahkan setelah 13 tahun berlalu pun, ia masih belum mampu menjejakkan
kakinya kembali ke Indonesia. Tanah kelahiran yang dicintainya, tempat ia
menghabiskan masa kecil bersama keluarga dan teman-temannya adalah tempat yang
sama yang telah menghancurkan seluruh mimpi indahnya. Dan ketika ayahnya
memutuskan untuk kembali ke Indonesia pun, ia tetap teguh dengan pendiriannya.
Ia bahkan telah pindah warga negara, menjadi Amerika. Ia benci dengan
masyarakat Indonesia yang rasis dan mengucilkan etnis tionghoa. Apa salah
keturunan tionghoa hingga disiksa sedemikian kejam, hingga harus meninggalkan
negaranya sendiri demi menyelamatkan diri. Para keturunan tionghoa yang tidak
tahu menahu akan dunia perpolitikan harus terkena imbasnya. Berusaha
menyelamatkan diri dan keluarga dengan mengungsi ke negeri orang. Bukan karena
tak cinta Indonesia, bukan karena tak punya rasa nasionalis, tetapi karena keadaanlah
yang memaksa. Bertahun-tahun ia hidup dalam sakit hati masa lalu, benci pada
Indonesia, benci pada kekerasannya.
Di pandanginya lagi sapu tangan ditangannya. Benda terakhir
yang diberikan oleh mantan kekasihnya. Sapu tangan yang telah ia simpan bertahun-tahun,
yang selalu setia menemaninya di saat-saat terberat dalam hidupnya. Sapu tangan
itu jugalah yang menghapus setiap tetes airmata kepedihan yang ia rasakan pada
waktu itu. Malam-malam kedatangannya di Los Angeles yang dipenuhi dengan
airmata. Tiada hari tanpa kesedihan dan diliputi ketakutan.
Fang Yin kembali terbayang bagaimana perjuangannya setahun
yang lalu untuk bisa sembuh dari trauma masa lalu. Hal ini tak lepas dari peran
psikolognya yang terus menemani dan menyemangatinya. Dia terus mencoba mengulang-ulang
mantra yang diberikan oleh psikolognya, dan mencoba memahami makna dibalik
kata-kata : “Terimalah kenyataan apa adanya! Berdamailah dengan masa lalu.” Dia
mencoba untuk memahami dan mengerti kekuatan dibalik kata-kata tersebut. Kata-kata
yang mampu melunakkan hatinya untuk bisa menerima kenyataan dan berdamai dengan
masa lalu. Meski rasanya sangat sulit, namun dendam dan rasa benci tak akan
mampu menghapus peristiwa itu dari ingatan. Karena kenangan dan masa lalu
adalah bagian dari perjalanan hidup manusia. Menyimpan dendam dan rasa benci
terhadap masa lalu tidak akan membuat semuanya menjadi mudah. Perasaan itu akan
terus menggerogotinya, dan sewaktu-waktu dapat membinasakannya. Hidup dalam
rasa benci dan dendam tidak akan membuatnya bahagia. Karena yang dibutuhkan
manusia untuk dapat hidup bahagia adalah ketenangan dan kedamaian hati. Masa
lalu bukan untuk dilupakan tetapi untuk diingat dan dijadikan sebagai guru.
Guru yang mengajarkan manusia tentang pahit manis kehidupan. Seperti kata
pepatah, “Pengalaman adalah guru yang paling berharga.”
Beberapa bulan kemudian, ia mulai bisa merasakan khasiat
dari mantra tersebut. Ia nyaris sembuh, dan akan lengkap kesembuhannya apabila ia
ikhlas menerima masa lalu. Sejak saat itu, ia pun mulai mencari tahu tentang
Indonesia. Karena sekeras apapun hatinya menolak Indonesia, nasihat ayahnya
sudah begitu dalam mengakar. Walau bagaimanapun juga, banyak hari yang telah ia
habiskan di sana, banyak kenangan yang telah ia bingkai. Tak akan semudah itu
menghilangkan Indonesia dari hidupnya. Karena Indonesia adalah bagian dari
hidupnya. Kerinduan yang tak terbendung pada tanah kelahirannya telah
meruntuhkan tembok-tembok kebencian dalam dirinya. Dia mencoba bersahabat
dengan masa lalu.
Dia ambil sapu tangan yang sejak tadi dipandanginya, dan
dibakar. Masa lalu harus segera dikubur dalam-dalam. Apalagi jika kekasih yang
dulu dicintai telah menikah dengan sahabatnya semasa kuliah dulu, Rina. Api
menyala membakar satu-satunya kenangan yang menjadi saksi bisu perjuangan Fang
Yin menjalani kehidupan yang penuh derita. Sapu tangan terbakar, masa lalu
terbakar, derita panjang terbakar, cinta pada Kho terbakar, dan cemburu pada
Rina pun lenyap terbakar. Juga kebenciannya pada Indonesia, terbakar sudah. Sapu
tangan berubah menjadi abu, dan Fang Yin merasa seperti terlahir kembali,
menjadi perempuan baru. Siap melangkah
untuk menyongsong masa depan tanpa bayang-bayang masa lalu lagi. Senyum merekah
di bibir indahnya. Tak ada lagi dendam. Tak ada lagi rasa benci. Kini ia mulai
bisa merasakan ketenangan dan kedamaian hati itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar