Senin, 18 Juni 2012

Sapu Tangan Fang Yin


Bulan kemarin aku mengikuti lomba review puisi “Sapu Tangan Fang Yin”. Tapi sepertinya aku belum beruntung. Dan ini mungkin terjadi juga karena tulisanku rasanya lebih mirip cerpen daripada review puisi J
Namun kegagalan ini tak lantas membuatku sedih dan menyerah. Aku akan terus berusaha dan belajar bagaimana menulis dengan baik.
Ini dia hasil review yang aku tulis dari puisi “Sapu Tangan Fang Yin”

Sapu Tangan Fang Yin

Kerusuhan Mei 1998 telah menjadi peristiwa tragis dan pedih bagi masyarakat tionghoa di Indonesia. Bagaimana tidak, pada waktu itu mereka menjadi korban dan sasaran amukan massa. Mereka dicari untuk dianiaya, diperkosa, dan dibunuh. Setiap pintu rumah-rumah keturunan tionghoa dibuka paksa, barang-barang didalamnya dijarah, penghuninya disiksa habis-habisan. Tak ada belas kasihan sedikit pun bagi mereka. Hal ini dilakukan karena adanya selisih paham antara kaum pribumi dengan kaum etnis tionghoa. Semboyan “bhineka tunggal ika” tak lagi dihiraukan. Tak ada lagi rasa persatuan dan kesatuan. Rasa persatuan hanya dimiliki oleh sesama pribumi saja. Dan bagi masyarakat tionghoa pantas mati. Suasana begitu mencekam. Nyawa-nyawa melayang, para orang tua kehilangan anak-anak mereka, para pemuda berjuang menuntut runtuhnya rezim Soeharto.
Terdengar teriakan massa, “ Kejar Cina, Bunuh Cina!” Perselisihan tak bisa dihindari lagi dan para tionghoa yang tak tahu menahu perihal dunia perpolitikan terkena imbasnya. Mereka terusir dari negara mereka sendiri. Indonesia berjalan tanpa pemerintahan, hukum ditelantarkan. Aparat keamanan yang seharusnya menjaga stabilitas keamanan justru tak tahu berada dimana. Suasana semakin tak terkendali dan mengancam eksistensi etnis tionghoa di Indonesia.
Tak heran jika pada peristiwa itu banyak keturunan tionghoa yang memilih menyelamatkan diri ke luar negeri. Peristiwa itu telah membuat gadis-gadis tionghoa kehilangan keperawananannya karena ulah-ulah manusia tak bermoral yang tak punya hati nurani dan rasa manusiawi lagi. Fang Yin adalah salah satu dari sekian banyak gadis tionghoa yang menjadi korban perilaku asusila. Dia diperkosa oleh gerombolan pria tak dikenal yang memasuki rumahnya dengan paksa. Kehormatannya direnggut, rambutnya dijambak, pakaiannya dikoyak, tubuhnya dipukuli hingga memar, dan wajahnya ditampar berkali-kali. Fang Yin menjerit memohon ampun. Namun tak ada yang peduli. Mereka hanya tertawa dan tertawa menyaksikan penderitaan gadis itu. Fang Yin terus meronta dan menjerit hingga tak sadarkan diri.
Fang Yin membuka matanya perlahan. Dilihatnya dinding-dinding putih rumah sakit. Di sana sudah ada orang tuanya, Kho, dan sahabatnya, Rina, yang menungguinya siuman. Kho memberikan Fang Yin sapu tangan untuk menghapus airmata diwajahnya. Fang Yin yang masih kebingungan dan tak tahu apa yang baru saja terjadi mengambil sapu tangan itu dan menghapus airmata diwajahnya. Ayah dan ibunya memeluknya sambil menangis. Rina membelai-belai tangannya untuk memberikan kekuatan. Fang Yin berusaha mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Mengapa ia bisa terbaring di rumah sakit, dan mengapa orang tuanya menangis. Perlahan ia mulai mengingat dan rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya. Terbayang lagi olehnya peristiwa pemerkosaan yang baru dialaminya. Dia pun menjerit-jerit ketakutan sampai terdengar oleh seisi rumah sakit. “Tolong, tolong, ampun…” jeritnya.
“Papi apa salah saya? Kenapa saya diperkosa? Apa salah saya, Papi?” tangis Fang Yin pilu. Ayahnya tak mampu berkata-kata. Dipeluknya anak kesayangannya dengan erat dan dibelainya penuh kasih. Tak tega rasanya melihat penderitaan anaknya seperti itu. Kho menyaksikan kejadian itu dengan sikap dingin. Itulah terakhir kali Fang Yin melihat mantan kekasihnya. Karena sejak hari itu Kho menghilang dari kehidupannya. Seminggu setelah kejadian itu, Fang Yin dan keluarga pindah ke Amerika, tepatnya di Los Angeles. Di sana, ayahnya selalu bercerita tentang sejarah-sejarah kemerdekaan Indonesia, tentang kerabat kakek buyutnya yang juga salah seorang pejuang kemerdekaan, dan semua cerita-cerita tentang negeri mereka, agar tumbuh kembali rasa cinta anaknya pada Indonesia. Walaupun mereka sudah meninggalkan Indonesia, namun ayahnya selalu mengingatkannya untuk tidak melupakan Indonesia. Seberapa jauh pun mereka pergi, Indonesia akan tetap dihati. Indonesia adalah identitas mereka. Ayahnya berharap suatu hari nanti mereka dapat kembali ke sana. Namun ia sudah terlanjur membenci Indonesia. Hatinya begitu keras menolak. Baginya hukum di sana tidak bisa melindunginya. Apalagi setiap mengingat Indonesia, selalu terbayang peristiwa pemerkosaan yang ia alami. Sungguh kejadian yang sangat memilukan. Karena kejadian itu jugalah ia ditinggalkan oleh kekasih yang sangat dicintainya. Dan satu-satunya jalan untuk melupakan semuanya adalah dengan melarikan diri keluar negeri dan menjalani kehidupan baru dengan tenang. Namun seberapa jauh pun ia melangkah, luka traumatis masa lalu tak akan mudah untuk dilupakan. Bayang-bayang kelam masa lalu terus saja membayanginya.
Bahkan setelah 13 tahun berlalu pun, ia masih belum mampu menjejakkan kakinya kembali ke Indonesia. Tanah kelahiran yang dicintainya, tempat ia menghabiskan masa kecil bersama keluarga dan teman-temannya adalah tempat yang sama yang telah menghancurkan seluruh mimpi indahnya. Dan ketika ayahnya memutuskan untuk kembali ke Indonesia pun, ia tetap teguh dengan pendiriannya. Ia bahkan telah pindah warga negara, menjadi Amerika. Ia benci dengan masyarakat Indonesia yang rasis dan mengucilkan etnis tionghoa. Apa salah keturunan tionghoa hingga disiksa sedemikian kejam, hingga harus meninggalkan negaranya sendiri demi menyelamatkan diri. Para keturunan tionghoa yang tidak tahu menahu akan dunia perpolitikan harus terkena imbasnya. Berusaha menyelamatkan diri dan keluarga dengan mengungsi ke negeri orang. Bukan karena tak cinta Indonesia, bukan karena tak punya rasa nasionalis, tetapi karena keadaanlah yang memaksa. Bertahun-tahun ia hidup dalam sakit hati masa lalu, benci pada Indonesia, benci pada kekerasannya.
Di pandanginya lagi sapu tangan ditangannya. Benda terakhir yang diberikan oleh mantan kekasihnya. Sapu tangan yang telah ia simpan bertahun-tahun, yang selalu setia menemaninya di saat-saat terberat dalam hidupnya. Sapu tangan itu jugalah yang menghapus setiap tetes airmata kepedihan yang ia rasakan pada waktu itu. Malam-malam kedatangannya di Los Angeles yang dipenuhi dengan airmata. Tiada hari tanpa kesedihan dan diliputi ketakutan.
Fang Yin kembali terbayang bagaimana perjuangannya setahun yang lalu untuk bisa sembuh dari trauma masa lalu. Hal ini tak lepas dari peran psikolognya yang terus menemani dan menyemangatinya. Dia terus mencoba mengulang-ulang mantra yang diberikan oleh psikolognya, dan mencoba memahami makna dibalik kata-kata : “Terimalah kenyataan apa adanya! Berdamailah dengan masa lalu.” Dia mencoba untuk memahami dan mengerti kekuatan dibalik kata-kata tersebut. Kata-kata yang mampu melunakkan hatinya untuk bisa menerima kenyataan dan berdamai dengan masa lalu. Meski rasanya sangat sulit, namun dendam dan rasa benci tak akan mampu menghapus peristiwa itu dari ingatan. Karena kenangan dan masa lalu adalah bagian dari perjalanan hidup manusia. Menyimpan dendam dan rasa benci terhadap masa lalu tidak akan membuat semuanya menjadi mudah. Perasaan itu akan terus menggerogotinya, dan sewaktu-waktu dapat membinasakannya. Hidup dalam rasa benci dan dendam tidak akan membuatnya bahagia. Karena yang dibutuhkan manusia untuk dapat hidup bahagia adalah ketenangan dan kedamaian hati. Masa lalu bukan untuk dilupakan tetapi untuk diingat dan dijadikan sebagai guru. Guru yang mengajarkan manusia tentang pahit manis kehidupan. Seperti kata pepatah, “Pengalaman adalah guru yang paling berharga.”
Beberapa bulan kemudian, ia mulai bisa merasakan khasiat dari mantra tersebut. Ia nyaris sembuh, dan akan lengkap kesembuhannya apabila ia ikhlas menerima masa lalu. Sejak saat itu, ia pun mulai mencari tahu tentang Indonesia. Karena sekeras apapun hatinya menolak Indonesia, nasihat ayahnya sudah begitu dalam mengakar. Walau bagaimanapun juga, banyak hari yang telah ia habiskan di sana, banyak kenangan yang telah ia bingkai. Tak akan semudah itu menghilangkan Indonesia dari hidupnya. Karena Indonesia adalah bagian dari hidupnya. Kerinduan yang tak terbendung pada tanah kelahirannya telah meruntuhkan tembok-tembok kebencian dalam dirinya. Dia mencoba bersahabat dengan masa lalu.
Dia ambil sapu tangan yang sejak tadi dipandanginya, dan dibakar. Masa lalu harus segera dikubur dalam-dalam. Apalagi jika kekasih yang dulu dicintai telah menikah dengan sahabatnya semasa kuliah dulu, Rina. Api menyala membakar satu-satunya kenangan yang menjadi saksi bisu perjuangan Fang Yin menjalani kehidupan yang penuh derita. Sapu tangan terbakar, masa lalu terbakar, derita panjang terbakar, cinta pada Kho terbakar, dan cemburu pada Rina pun lenyap terbakar. Juga kebenciannya pada Indonesia, terbakar sudah. Sapu tangan berubah menjadi abu, dan Fang Yin merasa seperti terlahir kembali, menjadi  perempuan baru. Siap melangkah untuk menyongsong masa depan tanpa bayang-bayang masa lalu lagi. Senyum merekah di bibir indahnya. Tak ada lagi dendam. Tak ada lagi rasa benci. Kini ia mulai bisa merasakan ketenangan dan kedamaian hati itu.

Tidak ada komentar: